Hoax, Bodoh, dan Kemanusiaan.
Radhar Panca Dahana melalui tulisannya, Dusta dan Kebenaran Sastra mempertanyakan apa yang sebenarnya bisa dilakukan oleh karya sastra, apa yang mendorong seseorang tetap berkarya, menikmati, dan mengapresiasi, lalu nilai apa yang ditawarkannya? Semua pertanyaan itu ia tuang dalam sebuah buku; Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra. Diterbitkan Indonesiatera, Magelang, pada 2001.
Menjawab pertanyaan pertama dan kedua, Radhar mengutip dua pandangan. Pertama, pandangan pesimistis. Seperti Plato, setidaknya, yang menganggap kegiatan menciptakan karya seni atau sastra sebagai keisengan, mimesis yang menjauhkan manusia dari kenyataan. Kedua, pandangan optimistis. Seperti Horatius yang percaya bahwa sastra atau karya seni punya fungsi menggerakkan (movere). Arief Budiman menyatakan novel uncle's Tom Cabin dan Max Havelar memainkan peran tertentu dalam pergolakan sosial yang terjadi di Amerika dan Indonesia masa lalu. Kemudian Hebbel yang percaya sastra pernah memberi arti yang begitu penting pada progresi sebuah masyarakat, terutama pada masa Romawi, Eropa Tengah abad ke-18-19 dan pada masa 50 dan 60an.
Terkait nilai, Radhar menjelaskan tentang pandangan bahwa karya sastra menjadi meditasi pribadi dan dinikmati sendiri. Kemudian pandangan bahwa karya sastra sebagai teks yang mewakili emosi dan pikiran segolongan masyarakat. Seperti Lowenthal yang menganggap Dostojevsky menjadi corong bahkan ideologi dari irasionalitas kelas menengah Jerman abad ke-19. Bakhtin yang meyakini di setiap tanda yang dimuat sebuah karya sastra bersembunyi sebuah ideologi. Kemudian Radhar Panca Dahana menambahkan, karya sastra menyimpan makna yang tak hanya bisa dirasakan, namun mampu menggerakan (movere), walau ditingkat pribadi sekalipun. Artinya, ada satu hal penting, yang diyakini, atau dianggap "benar".
Pertanyaan selanjutnya adalah; kebenaran apa yang pernah dan mampu diwakili oleh sebuah karya sastra? Radhar pun menjawab dengan tegas: dusta. Ia mengutip Vincent Crummels, tokoh dalam karya Charles Dickens, Nicholas Nickleby. "Art is not truth, art is a lie." dilanjutkan kemudian: "that reveals the truth". Ya, Sastra adalah sebuah dusta, namun dusta yang menjadi prosedur unik untuk menyingkap kebenaran. Sebab karya sastra adalah semesta yang menghimpun tak hanya "kesadaran akal", namun juga "kesadaran batin" dan "kesadaran badan".
Diantara karya sastra terdapat puisi. Cecep Syamsul Hari dalam tulisannya di Majalah Horison yang berjudul Puisi Di Dunia Serba Luka, pada Maret 2002 pun ikut bertanya soal Apakah kita masih dapat mempercayai puisi? Cecep menjawabnya dengan mengatakan bahwa puisi tidak semata-mata mengandung ruang soliter, ia juga mengandung ruang sesama, sebuah ruang baca. Puisi pada hakikatnya ditulis untuk disampaikan.
Ada dua hal yang ditekankan Cecep. Pertama, Ruang kreatif, dimana seorang seseorang membuat puisi yang ia sebut sebagai ruang kontemplatif. Kedua, Ruang sesama atau ruang baca, dimana orang lain yang menerima dan membaca puisi tersebut. Ruang ini ia sebut sebagai ruang komunikatif. Cecep menegaskan, dalam ruang sesama atau ruang baca, persoalan puisi adalah persoalan sampai atau tidak sampai.
Membaca dua tulisan, karya Radhar Panca Dahana dan Cecep Syamsul Hari, tersebut, membuat saya seperti menatap gawai. Terlebih soal benar dan ruang komunikatif. Karena sepertinya, hoax dan penyebarannya terkait kemampuan seseorang dalam menerima informasi. Meski tidak sama, bahkan tidak relevan menyandingkan, antara hoax dan karya sastra, tapi ada keisengan dalam diri saya yang mengatakan; hoax punya cara unik yang justeru akan mengantarkan seseorang pada kebenaran. Dan ini tergantung bagaimana sikap seseorang setelah menerima informasi.
Ini seperti dua hal yang bertentangan tapi saling menguatkan. Dua hal yang berbeda tapi saling mendukung. Seperti dusta dan kebenaran, miskin dan kaya, dan lain-lain. Dusta menguatkan nilai positif kebenaran. Miskin menguatkan eksistensi kaya. Pun sebaliknya. Keduanya, entah itu positif atau negatif tak bisa dihilangkan. Termasuk tidak bisa ditolak. Ini seperti sunnatullah. Menyangkal salah satunya sama saja mengingkari ketentuan alam. Menolak fitrah. Maka tepatlah, Bhineka Tunggal Ika dijadikan semboyan negara tercinta ini.
Begitu juga hoax. Banjir informasi yang termasuk di dalamnya adalah hoax membuat seseorang dituntut (terpaksa atau tidak) untuk memeriksa kembali, recheck, suatu informasi yang ia terima. Misalnya, mengecek sumber informasi tersebut dan mencari informasi yang serupa dari sumber yang lain. Dari proses ini saja, setidaknya, dari satu hoax, seseorang dibuat (mau atau tidak, terpaksa atau tidak) menerima tambahan informasi. Tentunya itu membuatnya semakin banyak mendapat informasi.
Di titik ini, saya seperti melihat proses seseorang menjadi 'alim. Banyak informasi, banyak pengetahuan, banyak ilmu. Yang perlu diingat, di atas 'alim ada hakim. Orang yang bijaksana. Orang yang bersikap bijak ke sana. Ke luar dirinya. Orang yang bijak, ketika meyakini sebuah kebenaran, tidak akan memaksa orang untuk mengikuti apa yang diyakininya. Inilah akhlak. Inilah adab. Dan ketika seseorang sudah beradab, meski dengan pandangan kebenaran yang berbeda-beda, maka terbentuklah sebuah peradaban.
Jika itu terjadi di Indonesia, maka sila ketiga setidaknya bisa terwujud. Menjadi manusia yang beradab. Meski itu mesti mewujudkan terlebih dahulu manusia yang memiliki Kemanusiaan, manusia yang adil. Dan semua itu berawal dari sebuah hoax. Dari hal yang negatif. Dari hal yang bodoh dan tolol. Malah Dami N. toda dalam tulisannya di Majalah Sinar Harapan, Hamba-Hamba Kebudayaan mengatakan Menjadi Tolol, adalah kepintaran kita terbesar, dan kita pun menjadi manusiawi karenanya!
Bodoh dan tololnya, selain karena keisengan, tulisan ini pun berangkat dari kebodohan dan ketololan penulis menyikapi seseorang yang mengatakan penulis bodoh, tolol, dan belum dewasa. Ya Allah, maafkan hambamu yang belajar agar tidak bodoh dan tolol ini karena membuat tulisan bodoh dan tolol karena kebodohan dan ketololan. Semoga ini bisa membuka ruang agar saya bisa menjadi manusia. Manusiawi.
allahu a'lam bisshowab.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar