Merindukan Purnama.

Hampir dua tahun masyarakat di Desa Katarjah tak pernah melihat Purnama. Hingga mereka sungguh-sungguh merindukannya. Karenanya, penduduk Desa mendesak agar dicari jalan keluar agar desa mereka didatangi Purnama.

Ini bukan tanpa sebab. Ketika bulan purnama, penduduk bisa melaksanakan tradisi-tradisi desa yang turun temurun dijaga, yaitu makan bersama di lapangan. Ini bukan makan bersama biasa. Sebelumnya akan dipanjatkan doa-doa. Dan yang terpenting adalah mereka bisa membicarakan segala hal terkait pembangunan dan perkembangan desa. Urusan makanan, para penduduk akan membawa sendiri dari rumah.

Semua penduduk akan ikut di acara itu. Tak terkecuali. Dari bayi yang masih merah hingga mereka yang paling renta. Semuanya akan ikut dan mesti mengutarakan segala "unek-unek" di kumpul bulanan itu. Mulai urusan encok pinggang hingga urusan sawah dan ladang. Tak ketinggalan bagaimana mempertahankan tanah dari orang-orang serakah.

Tradisi itu hanya bisa dilaksanakan setiap malam bulan purnama. Dan anehnya, setiap bulan purnama tiba, hujan seakan menyingkir. Walau tengah musim-musimnya. Sepertinya kepercayaan tentang leluhur desa mereka yang konon keturunan pangeran Bulan Purnamalah yang menyebabkan itu.

Pangeran Bulan yang gerah dan muak dengan kerajaan Donesia yang terlalu mengagung-agungkan politik atas nama satu agama, pergi mencari tempat untuk ia menenangkan diri. Hingga tibalah ia di Desa Katarjah yang masih berupa hamparan ilalang dan hutan yang terbelah oleh sungai Rahmiturasa. Pangeran Bulan Bertemu dengan perempuan cantik, yang konon merupakan jelmaan dewi Selamat ketika Purnama tengah rekah-rekahnya di langit malam.

Singkat cerita, mereka akhirnya menikah lalu melahirkan keturunan-keturunan yang tersebar kemana-mana. Dan keturunan yang menetap di Desa Katarjah secara alamiah akan menjadi kepala desa. Meski diadakan pemilihan, penduduk desa seperti sepakat dan satu suara untuk memilih keturunan Pangeran Bulan. Termasuk kepala desa saat ini yang sayangnya, memiliki tabiat yang berbeda dengan keturunan-keturunan Pangeran Bulan sebelumnya.

Kelebihan kepala desa yang saat ini, Sawedan, adalah kemampuannya beretorika. Kata-katanya begitu manis dan terlihat intelek hingga memukau penduduk desa. Padahal, itu semua untuk menutupi kerakusannya akan kekayaan alam, terutama bahan tambang yang tertanam di tanah desa Katarjah.

Penduduk desa tak ada yang tahu, bahwa Sawedan tengah berencana membuat pabrik-pabrik yang akan mengeruk kekayaan tanah desa Bulan. Rencana itu begitu matang. Sawedan membuat skenario agar penduduk desa perlahan-lahan meninggalkan desa untuk merantau ke daerah-daerah lain. Sementara, orang-orang dan kolega bisnisnya tengah menunggu untuk datang lalu melaksanakan misi: mengeruk kekayaan tanah desa Bulan.

Walhasil sejak menjabat sebagai kepala desa, sekitar dua puluh bulan, penduduk banyak yang meninggalkan desa. Mereka terpengaruh dengan kata-kata Sawedan. Terlebih Sawedan dan timnya sering menggunakan ayat-ayat suci yang begitu fanatik dipercayai penduduk. Targetnya, dalam lima tahun, penduduk asli kampung Bulan sudah meninggalkan desa.

Penduduk yang tersisa sekarang, yang mendesak agar diadakan musyawarah, pun masih belum sadar bahwa bulan purnama yang tak pernah datang ke kampung mereka pun, seiring jadinya Sawedan menjadi kepala desa. Setelah ia berhasil menyingkirkan saingannya, Sukiba, yang sebenarnya keturunan asli Pangeran Bulan. Bahkan, Sukiba diasingkan karena strategi politik Sawedan. Kesilafan omongan Sukiba dijadikan senjata oleh Sawedan untuk menyerangnya.

Kesilafan Sukiba adalah ketika ia membicarakan soal kepercayaan dan tradisi desa Katarjah, yang dibilang perlu ada perubahan dan modifikasi agar lebih meriah dan syahdu. Sayangnya, penjelasan Sukiba dipotong dan dibuat seolah-olah ia menjelek-jelekkan kepercayaan dan tradisi desa Bulan yang sudah berlangsung turun temurun. Bahkan, ia dicap sebagai penghina dan penista hingga membuat ia diasingkan ke luar desa. Dan ini ulah Sawedan yang memang suka pencitraan.

Karena mengutamakan pencitraan, agar nama dan dirinya tetap dianggap baik, bahkan suci, Sawedan pun berencana mengumpulkan penduduk desa. Tentu saja dengan perencanaan yang matang agar penduduk tetap tak sadar dengan kejadian yang sebenarnya. Disiapkanlah kata-kata yang mampu menghipnotis penduduk desa.

"Kita mesti memanggil dan mencari orang sakti yang bisa memanggil Purnama," usul salah satu penduduk. Disusul kemudian dengan yang lain. Hingha semuanya bersuara. Karena tradisi yang ada, membuat penduduk desa terbiasa berpendapat. "Anak-anak kita rindu bermain di bawah terang bulan purnama. Kita mesti menjaga keceriaan dan kebersamaan mereka," ucap yang lain.

Semua usul ditulis oleh pengurus desa. Dan Sawedan hanya mengatakan semua usul adalah usul yang bagus. Akan ditampung dan dipikirkan bagaimana merealisasikannya. Lalu menjejali penduduk dengan kata-kata yang sebenarnya berisi doktrin agar mereka ikut teman-teman, tetangga, dan saudara yang telah lebih dulu pergi meninggalkan desa.

Sawedan menceritakan tentang cerita keberhasilan, kebahagiaan, dan kesenangan mereka di daerah lain. Penduduk yang terkenal fanatik hanya manggut-manggut. Hingga acara selesai, tak ada satupun kesepakatan tentang apa yang akan dilakukan untuk membuat bulan purnama datang kembali di tengah mereka.

Hari berganti minggu. Tak terlihat upaya untuk mendatangkan bulan purnama oleh pengurus desa. Kesibukan penduduk menutupi kegelisahan dan kerinduhan mereka akan bulan purnama. Hinga di suatu malam, mereka dikejutkan oleh kejadian tak biasa. Tiba-tiba purnama muncul di langit desa mereka. Tapi tak lama. Sekitar tujuh menit saja.

Penduduk keluar rumah dengan tergesa-gesa. Mereka hendak ke lapangan tempat biasa mereka merayakan bulan purnama. Tak ketinggalan Sawedan ikut serta memanfaatkan momentum. Ia telah menyiapkan kata-kata bahwa usahanya berhasil mendatangkan bulan purnama.

Penduduk telah berkumpul di lapangan dengan suka cita. Membawa aneka makanan. Ketika Sawedan tiba, bulan purnama kembali tertutup. Belum sempat ia bicara, penduduk mulai gelisah. Lebih dari dua jam mereka masih berkumpul di lapangan. Dan tak ada seorang pun yang menyadari Sukiba ikut kumpul bersama mereka. Tapi dengan jarak. Di balik pepohonan yang tak jauh dari lapangan.

Sawangan Baru


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)