Azan: dakwah, nada, dan iklan.

Azan lahir dari sebuah mimpi. Bisa dilihat di Hadits Riwayat Abud Daud nomor 499 dan At-Tirmizi nomor 189.

Diceritakan, Abdullah bin Zaid yang bermimpi didatangi seseorang lalu bertanya bagaimana untuk memberitahu orang-orang tentang datangnya waktu salat. Mimpi ini disampaikan ke Rosulullah. Lalu Umar bin Khatab mengatakan ia pun mimpi hal yang sama.  Kemudian Rosulullah membenarkan. Meminta Abdullah agar Bilal diajarkan kalimat-kalimat azan.

Ya, bahkan azan pun lahir dari sebuah hal yang abstrak. Muncul dari hal yang tak tampak. Kasat mata. Keisengan membuat saya mengatakan; Islam mengajarkan umatnya untuk melihat sesuatu secara utuh. Melihat yang zahir, pun yang batin. Pun seperti ingin bilang; segala sesuatu menyimpan hal yang tak tampak. Dan ini seperti rukun iman.

Rukun yang sederhananya diartikan sebagai dasar, asas, yang sama seperti ceker ayam, pondasi suatu bangunan. Pondasi yang tertanam di bawah. Yang akan menguatkan bangunan. Semakin dalam pondasi, semakin kuat bangunan. Setinggi apapun bangunan, ia mesti ditopang dan diimbangi pondasi yang tertanam.

Sayangnya, letak pondasi yang tertanam, berada di dalam tanah, membuat orang-orang sering tak melihatnya. Biji mata mereka lebih suka melihat kemudian menilai bangunan di atasnya dengan segala keindahan dan kemewahan arsitekturnya. Dan inilah yang sepertinya membuat manusia lupa dan hanya melihat lalu mengagumi yang tampak saja. Kemudian membuat manusia tergelincir. Terlebih yang tampak itu berupa suara, yang jelas-jelas tidak bisa dilihat mata.

Sebab mata dan segala yang dilihatnya, termasuk keindahan, pun kebenaran, bersifat sementara. Misalnya ketika saya melihat bangun baru dengan arsitektur tak biasa. Kali pertama dan kedua, saya dibuat takjub olehnya. Tapi, setelah berkali-kali, semuanya biasa saja. Tak istimewa lagi.

Namun agak berbeda dengan apa yang ditangkap telinga. Misalnya alunan musik yang kita anggap indah, enak, dan merdu. Berapa kali pun mendengarnya, ia akan selalu tampak istimewa. Karenanya, orang-orang tua sering menasihati dengan: dengarkan kata hati, bukan lihat kata hati.

Apakah ini ada kaitannya antara apa yang masuk lewat telinga akan langsung menyentuh hati? Seperti musik tadi. Lalu akan berperan kemudian untuk menguatkan.

Ilustrasinya seperti ini. Ada sesuatu yang akan masuk ke diri seseorang. Sebut saja itu Anu. Saya membayangkan seperti ini: Anu yang masuk lewat telinga, jika itu sebuah kebenaran dan keindahan, akan langsung ke hati baru kemudian ke akal. Sementara Anu yang datang lewat mata akan langsung ke akal baru kemudian ke hati. Tentu saja ini, masih perlu dipertanyakan lagi.

Edilalah, keisengan saya malah mengarah pada perbedaan antara bagaimana mata dan telinga dalam menerima sesuatu. Begini, apa-apa yang diterima mata, karena ia terlihat, maka akal langsung berperan. Akal akan merespon. Sementara, apa-apa yang diterima telinga, akan direspon negatif oleh akal. Ia akan mempertanyakan.

Seperti peristiwa wahyu pertama. Ketika malaikat Jibril mengatakan "bacalah hai Muhammad". Nabi merespon dengan "maa ana bi qori". Nabi mengatakan tidak bisa membaca. Ini jawaban akal. Jawaban logis. Lalu malaikat Jibril seperti alunan musik, dan Nabi Muhammad mendengarnya dengan hati.

Dari hal tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang perlu digaisbawahi. Pertama, selogis apapun, belum tentu benar jika terkait hal yang tak tampak. Kedua, akal lebih condong kepada hal yang tampak. Dan ia akan sering menampik hal-hal yang tak tampak. Dan hati sering tak sejalan dengan akal. Karena hati memang melihat dan menangkap hal-hal yang sering tak logis dan tak masuk akal. Di sinilah perlunya keseimbangan antara akal dan hati.

Akal itu keras, karena ia fokus pada yang nyata. Sementara hati mudah goyah dan rapuh karena ia fokus pada yang tak nyata. Karena hati berfungsi melembutkan pikiran. Dan akal berfungsi menguatkan hati.

Seperti azan. Jika azan adalah seruan, panggilan, pengumuman dan pemberitahuan, maka diperlukan hati dan akal untuk menerimanya. Tak bisa jika hanya salah satunya yang digunakan. Akan timpang. Akan rancu.

Termasuk terhadap azan. Akal mesti bekerja. Misalnya menangkap dan melihat azan secara epistimologi dan terminologi. Azan yang berasal dari bahasa arab memeliki kesamaan dengan kata-kata bahasa arab yang lain. Setidaknya, da'a, naada, dan a'lana, yang semuanya memilki kesamaan arti.

Kata da'a erat dengan kata dakwah. Naada erat dengan nidaa. Dan a'lana akan mengantarkan pada kata i'lan. Melihat bentuk, ketiganya memiliki perbedaan.

Jika melihat "ud'u ila sabili robbika bilhikamati", maka dakwah atau panggilan ini, lebih condong kepada akhlak. Perbuatan baik. Sementara nidaa, lebih condong kepada subjektif seseorang untuk menikmati. "Nidaa-an khofiyya". Nida kemudian diserap menjadi bahasa indonesia menjadi nada. Kemudian i'lan lebih kepada pemberitahuan secara umum. Ini seperti iklan dalam bahasa Indonesia.

Dari semua itu, keisengan saya mengatakan azan meliputi semuanya. Azan meliputi, dakwah, alunan nada, dan iklan.

Bersambung....

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)