Epistimologi dan Sinar Ilahi: Mencari pengetahuan yang benar. (bag.1)

Kulub berkali-kali mengatakan pada Kia, apakah keputusan mereka untuk menikah bulan ini adalah keputusan yang tepat dan benar? Apakah semua yang mereka lakukan itu benar? Bahkan, mempertanyakan itu benar atau tidak adalah benar? Apakah apa yang mereka anggap benar selama ini benar?

Seperti pernikahan yang biasa saja, hanya mengundang keluarga dan sahabat dekat. Tidak perlu resepsi megah dan mewah. Bulan madu sambil umroh. Dan hal-hal lain. Semua itu Kulub ungkap ketika mereka mampir di warung makan setelah mendatangi teman yang akan mendekorasi rumah Kia sebagai tempat akad nikah. Lazimnya manusia, Kia hanya mengatakan agar yakin. "Bismillah, Kak," tegas Kia. Kulub terdiam sambil merokok lalu teringat dengan Kang Jalal lantaran Kia menyenggol soal benar, yakin, dan Allah.

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Alternatif, cetakan IX, yang diterbitkan Mizan, Bandung, November, 1998, bercerita tentang seorang profesor yang sedang naik namanya dan tiba-tiba dilanda keresahan. Ia memutuskan meninggalkan karir. Mengasingkan diri. Menyedekahkan seluruh harta, kecuali sedikit saja untuk keperluannya dan keluarganya. Ia mencari hal lain yang didamba yaitu mendapat jawab atas tanya; cara apakah yang dapat ditempuh hingga sampai pada pengetahuan yang benar?

Kang Jalal bercerita proses yang dilakukan profesor tersebut. Pertama, sang profesor menduga pengetahuan yang benar hanya didapat lewat pencerapan indera. Yang benar ialah yang dapat dilihat, didengar, atau diraba. Sayangnya, dengan segera juga ia menemukan persepsi indera juga tidak dapat sepenuhnya dipercaya. Ia bertanya: atas dasar apa harus mempercayai keterangan persepsi indera?

Profesor itu pun menemukan kekeliruan indera dibetulkan oleh akal. Kemudian ia pun mencurahkan harapannya pada akal. Lagi-lagi, segera ia pun bertanya, apakah kepercayaan pada akal akan mengalami hal yang sama pada persepsi indera? Ia pun mengatakan, barangkali di balik pemahaman akal ada hakim lain, yang bila menampakkan diri, dapat menunjukkan kesalahan akal dalam menetapkan keputusan, seperti ketika akal muncul memperlihatkan kekeliruan inderawi.

Berbulan-bulan, profesor ini merenung. Dan hampir-hampir putus asa. Ternyata, ia menemukan pemecahan masalah tidak datang lewat berpikir dan merenung. Profesor tersebut mengatakan; "penyelesaian masalahku tidaklah datang karena pembuktian yang sistematis dan argumentasi yang dikemukakan, tetapi karena cahaya yang dimasukkan Allah Ta'ala ke dalam dadaku. Cahaya itu merupakan kunci menuju bagian pengetahuan yang lebih besar. Cahaya itu sendiri bukanlah ungkapan kebenaran."

Kebenaran harus dicari. Tetapi kini ia telah menemukan keterbatasan akal. The Concept of Man in Islam, in the writing of Al-Ghazzali, buku karya Ali Issa Othman yang diterbitkan di Cairo: Daar al-maareef, 1960 dikutip Kang Jalal. Ia menyatakan; "dia (profesor tersebut) telah menguras kekuatan intelektualnya. Namun berakhir dalam keputusasaan. Dan sentuhan gaib Tuhan menyelamatkannya. Dorongan mendadak keimanan ini tampak olehnya berasal dari pencerahan ilahi sebagai suatu cahaya pembawa harapan. Baginya, hal itu berarti bahwa ilham dan wahyu ilahi adalah riil. Terlebih-lebih, hal itu berarti bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran bergantung sekali pada sesuatu yang berada di luar nalar dan aturan-aturan penalaran. Sesuatu yang lebih tinggi dari nalar sebagai alat penghubung dengan kenyataan mesti ada pada manusia. Dan meskipun aktivasinya bergantung pada bunga api ilahi, toh ia sendiri memampukan pencari yang gigih mencapai pengetahuan tentang kenyataan dan tentang Tuhan.

Profesor itu bernama; Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Yang meresahkannya adalah masalah epistimologi, bagian dari filsafat yang membahas tentang asal usul pengetahuan manusia. Kemudian yang mengobatinya adalah "sentuhan ilahi" atau "sinar ilahi".

Kulub menegaskan pada Kia. "Oke, Deh, sayang. Kalau gitu, kita mesti terus deketin Allah agar cahanya-Nya menerangi langkah-langkah dan mengantarkan kita bahwa semua yang kita anggap dan lakukan adalah benar. Tentu saja sambil terus mendayagunakan panca indera dan akal kita dalam bersikap dan melakukan sesuatu. Termasuk pernikahan kita".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)