Rumus Bahagia

(Catatan refleksi pengajian Al-Nashoihu Al-Diniyyah yang diampu KH. Muhammad Abdul Mujib Pimpinan Pondok Pesantren As-Sa'adah Depok)

Amal sholih bisa membuat seseorang masuk neraka. Seorang ahli ibadah nyaris mengalaminya. Ya, diceritakan seorang hamba yang beribadah lima ratus tahun hampir masuk neraka.

Singkat cerita, itu terjadi di hari pembalasan. Ketika ia diperintahkan masuk surga dan Allah menyebut itu sebagai rahmat-Nya. Hamba tersebut sedikit protes. Sebab ia merasa pantas masuk surga karena amal ibadahnya yang banyak.

Allah pun ingin bercanda. Main hitung-hitungan. Hamba tersebut diperintah untuk menghitung nikmat yang ia dapat selama hidup di dunia. Cukup satu saja: nikmat penglihatan.

Ternyata nikmat penglihatan yang ia dapat selama di dunia mampu menenggelamkan alias menutup semua ibadahnya selama lima ratus tahun.

Hamba tersebut lupa, bahwa rahmat dan fadhilah Allah lah yang membuatnya masuk surga. Bukan amal ibadah dan kebaikannya selama di surga. Meskipun setiap detik ia berbuat baik dan beramal solih.

Kok bisa? Ya, itu bisa terjadi, jika hamba tersebut menyandarkan bahwa amal baiknya (amal sholih) yang membuatnya bisa masuk surga. Sesekali tidak demikian. Sebab hanya Allah lah yang mampu membuat seseorang masuk surga atau tidak. Tentu saja dengan rahmat dan fadhilah-Nya.

"Wa lau laa fadhlullahi 'alaikum wa rohmatuhu maa zakaa minkum min ahadin abadan walaakinnalloha yuzakki man yasyaa-u wallahu waasi'un 'alim".

Jadi, jika ada yang berkoar-koar pasti masuk surga karena melakukan ini dan itu. Atau diam-diam meyakini akan masuk surga karena merasa amal ibadahnya bejibun, dekati dan bisiki ia ayat di atas. Khawatir ia terpeleset.

Ya, amal sholih bisa seperti kulit pisang yang dibuang sembarang. Bisa membuat seseorang terpeleset. Jatuh. Luka. Sakit. Bahkan berdarah, jika saat jatuh kepalanya membentur batu runcing.

Dalam kitab Al-Nashoihu Al-Diniyyah dikatakan orang seperti itu adalah orang yang berani kepada Allah. Tentu saja ini hal gawat. Sebab, lawan kata berani adalah takut. Dan takut adalah salah satu pengertian dari taqwa. Bisa dikatakan, orang yang demikian itu malah tidak bertaqwa. Meskipun banyak amal sholihnya. Ngeri, bukan?

Selain berani, orang yang meskipun bersungguh-sungguh dalam beramal sholih namun bersandar kepada amalnya tersebut, misalnya akan membuatnya masuk surga, dikatakan juga sebagai orang yang "'ujub binafsihi". Bahasa milenialnya, mungkin, narsis yang berlebihan.

Ya narsis. Sebuah istilah yang diambil dari nama tokoh dalam mitologi yunani, Narcisus. Ia yang saban waktu selalu melihat sungai hanya untuk melihat keelokan wajahnya. Hingga konon, ia pun mati lantaran terlalu lama memandang wajahnya sendiri.

Nah, orang-orang yang melihat dan bersandar kepada kebaikan dan amal sholihnya bisa dikategorikan "ujub binafsihi". Dan sifat ini mengarah kepada sombong. Satu sifat yang paling dibenci Allah. Tentu ingat bagaimana iblis diusir dari surga, bukan?

",Ujub binafsihi" pun sepertinya menentang ayat yang sering dibaca: "Allahusshomad". Ya, Allah. Hanya Allah tempat bersandar. Tempat bergantung. Dan tempat segala-galanya. Tiada yang lain.

Bahkan, yang menentukan seseorang masuk surga atau neraka pun hanya Allah. Bukan amal ibadah. Bukan amal sholih. Bukan kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang di dunia. Karena sesungguhnya semua kebaikan dan amal sholih yang dilakukan seseorang, hakikatnya semua itu karena keutamaan (fadhlun) dan kasih sayang (rahmat) Allah.

Dan berhagialah seseorang jika dalam hidupnya ia mudah berbuat baik dan beramal sholih. Karena hakikatnya, Allah lah yang membantu dan memudahkannya berlaku dan berbuat demikian. Dan sebaik-baiknya seorang mukmin adalah ia yang terus memperbaiki dan memperbagus perbuatan (amal) dan ibadahnya.

Perbuatan bisa dikatakan sebagai akhlak. Akhlak terkait dengan adab. Hingga ada perkataan yang mengatakan: adab itu lebih baik dan lebih penting dari syariah. Ini tidak bicara soal jurusan kuliah di UIN Ciputat, ya.

Nah, orang-orang yang terus berusaha memperbaiki, memperbagus, serta memperindah adabnya, maka bisa dikatakan ialah sebaik-baiknya mukmin. Bahkan bisa dikatakan sebagai al-mu'min al-bashir biddini al-rosikhu". Seorang mukmin yang penuh kehati-hatian dalam agama (dan beragama).

Eit, perlu dicatat, dalam Kitab yang diampu Kiayi Muhammad Abdul Mujib pimpinan Pondok Pesantren As-sa'adah Depok ini, menerangkan tentang "mu'min al-bashir biddiini al-roosikhu fil ilmi wal yaqin". Ya, ada kata "ilmu" dan "yaqin".

Terkait akhlak dan adab, ada landasan yang mesti dijaga, yaitu: ilmu dan keyakinan. Seperti ada keseimbangan yang mesti dijaga antara ilmu dan keyakinan. Jika bicara keseimbangan, maka menyentuh juga soal idealisme. Sebab idealisme, sederhanya, konsep keseimbangan, bukan?

Bisa dikatakan, dalam beragama, selain keyakinan, seseorang pun mesti berilmu. Termasuk dalam berakhlak dan beradab, seseorang selain berilmu mesti diiringi keyakinan. Misalnya, konsep tentang barokah alias berkah. Misalnya nasi satu piring bisa untuk makan tiga orang dan semuanya kenyang.

Termasuk barokah dalam berakhlak. Misalnya akhlak dan adab seorang santri kepada kiayi. Ketika sang Kiayi menyuruh makan, namun santri menolak karena meyakini Kiayinya lah yang harus makan terlebih dahulu. Di satu sisi, si santri tidak patuh pada perintah kiayi. Di sisi lain, ada adab dan akhlak yang dijaga. Malah diyakini mendatangkan barokah.

Contoh lain, kiayi Mujib bercerita tentang Khalifah Abu Bakar yang tidak menuruti perintah untuk menjadi imam shalat ketika Rosul sakit. Secara syariah, ini bisa masuk kategori salah. Bahkan dosa. Tapi, secara adab dan akhlak, belum tentu. Abu Bakar menolak menjadi imam karena akhlak beliau kepada Rosul. Abu Bakar merasa tidak pantas menjadi imam shalat selama Rosul masih ada. Ya, inilah adab. Inilah akhlak.

Hal seperti Ini (memperbaiki amal dan ibadah, memperbagus akhlak, menyandarkan segalanya hanya kepada Allah) seperti yang dilakukan dan dicontohkan para nabi, ulama sholih al-salaf (mereka yang hidup sebelum tahun 300 Hijriah) dan ulama kholaf (mereka yang hidup setelah tahun 300 H). Bahkan Nabi bersabda: "lan yadkhula ahadun aljannata bi 'amalihi, qooluu wa laa anta yaa rosulallahi, qoola wa laa anaa illa an yata'ammadaniya Allahu birohmatihi.

Ya, Bahkan Nabi pun belum tentu masuk surga karena 'Amal ibadah yang dikerjakan. Padahal diceritakan Rosulullah sangat bersungguh-sungguh dalam beramal sholih hingga akhir. Dan bahkan, dikisahkan kedua kaki beliau bengkak lantaran terlalu lama shalat malam. Ya, amal Ibadah pun belum tentu membuat Nabi masuk surga.

Eit, tunggu dulu. Jangan panas dulu. Coba baca kelanjutan haditsnya. Titik tekannya di situ. Yaitu: "illa an yata'ammadaniya Allahu birohmatihi". Rosul masuk surga karena limpahan rahmat Allah. Ya, Rahmat Allah.

Jika disederhanakan, rumus bahagia yang mesti dijaga, yaitu: pertama, terus memperbaiki amal (ibadah dan akhlak) karena hakikatnya Allahlah yang membantu dan memudahkan untuk seseorang berlaku, berbuat, dan bersikap demikian. Lalu kedua, bersandar hanya kepada Allah.

Allahu A'lam bisshowab.

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)