"Jaros", Penjara, dan Kebebasan

Kitalah Yang Membuat Penjara

Seorang teman bercerita kepada Kulub tentang suntuk dan jenuhnya ia yang tak kemana-mana. Lebih dari seminggu ia tidak kelyar rumah. Aktifitasnya hanya berputar dari kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan paling jauh teras rumah. Ia ingin keluar. Ia ingin bebas. Pergi kemana-mana. Tapi tak bisa.

Alasannya ia tak punya uang untuk kemana-mana. Ya, kemampuannya untuk bergerak dan pergi kemana-mana dibatasi oleh ada atau tidaknya uang di kantongnya. Kulub yang datang menemuinya, dengan senang mendengarkan. Lalu tertawa setelah mendengar semua keluh kesahnya. 

Temannya kesal melihat Kulub tertawa. Sepertinya, ia berpikir Kulub menertawakan penderitaan dan kesengsaraannya. Namun, perlahan kekesalan itu berubah. Setelah Kulub bercerita tentang pikiran yang memenjarakan. Tentang penjara yang dibuat sendiri oleh pikiran manusia.

Diselingi suara kendaraan yang lewat, teriakan anak-anak yang tengah bermain, dan teriakan pedagang menawarkan dagangan. Sambil ngopi di teras rumah. Kulub bercerita tentang dirinya ketika "nyantri" di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura. Kala itu, ia dan teman-temannya menyebut pesantren tempatnya belajar dengan penjara suci. Meski suci tetap sebagai penjara.

Meski tak ada pagar tinggi yang mengelilingi area pesantren, Kulub dan teman-temannya tetap merasa mereka sedang berada di penjara. Ada peraturan yang begitu ketat, sangat ketat, yang mengikat para santri. Semua kegiatan santri diatur begitu rapi dari menit ke menit. Dan itu ditandai dengan suara lonceng. Suara bel. Para santri menyebutnya jaros.

Selain jaros, para santri pun menyebutnya dengan "tengko". Singkatan teng komando. Teng yang diambil dari suara lonceng dan bel yang terbuat dari besi besar seukuran bocah tujuh tahun. Lonceng yang berada di dekat pohon mangga besar di depan masjid. Sementara kata komando, karena ketika lonceng atau bel, alias "jaros" itu berdentang dan bergema ke seluruh area pondok, seperti suara seorang jendral yang memberi perintah. Mau tidak mau, suka atau tidak, seluruh santri mesti patuh dan mengikutinya.

Awalnya temannya Kulub belum mengerti apa kaitan kesengsaraannya dengan cerita Kulub tentang "jaros". Kulub pun melanjutkan ceritanya.

Tak sedikit santri, termasuk Kulub yang punya rasa dan keinginan memberontak. Itu karena kejenuhan dan kebosanan akan kegiatan dan aktifitas Pondok yang selalu seperti itu. Terus menerus.

Dimulai ketika lonceng berdentang pada jam setengah tiga pagi. Tanda seluruh santri harus bangun dari tidur dan bergegas ke masjid untuk salat tahajud hingga subuh. Usai subuh loceng kembali berbunyi tanda pengajian kitab "al-turast" alias kitab kuning alias kitab gundul alias kitab klasik karya ulama-ulama dimulai dan berakhir ketika "jaros" kembali berdentang di jam enam. Itu sekaligus sebagai tanda masuknya waktu untuk para santri untuk mengisi waktu luang hingga jam tujuh kurang lima belas menit.

Waktu 45 menit itu, berisi beberapa pilihan. Ada yang berolahraga, mencuci pakaian, mandi, sarapan, dan kegiatan lain, yang semuanya mesti berhenti di jam setengah tujuh. Karena lima belas menit selanjutnya adalah persiapan untuk masuk kelas. Jika ada yang terlambat dua detik saja. Ustadz bagian pengajaran sudah menyambut dengan rotan atau kayu di tangan. Santri yang terlambat, bersiap-siap berdiri di bawah matahari pagi Madura. Setelahnya, mereka yang terlambat mesti mempersiapkan betis menerima sabetan dari ustadz. Seluruh santri terus menerus mesti melakukan semua kegiatan yang waktunya seakan ditentukan dan ditandai oleh "jaros".

Semua kegiatan itulah yang dianggap sebagai penjara oleh pikiran santri yang terbatas kala itu. Dan belakangan, Kulub menyadari bahwa menganggap pesantren sebagai penjara, sebagai tempat yang mengungkung kebebasan para santri, adalah produk pikiran para santri sendiri. Justeru sebaliknya, Pesantren memberikan gambaran tentang penjara yang sesungguhnya, yaitu pikiran diri sendiri. Ya, pikiran kitalah yang memenjarakan diri kita sendiri. Kita sendiri yang membuat penjara untuk diri kita sendiri.

Selain itu, pesantren sebenarnya memberikan gambaran tentang keterbatasan manusia. Terutama keterbatasan indera dan fisik manusia. Indera yang membatasi penglihatan bahwa peraturan pesantren adalah penjara. Bahwa bunyi "jaros" yang terdengar telinga adalah penjara. Seakan tempat menentukan kebebasan seseorang atau tidak.

Padahal pesantren ingin memberi gambaran bahwa dalam diri setiap santri, setiap orang, ada hal yang tidak bisa terpenjara oleh apapun kecuali dirinya sendiri, di manapun dan kapanpun. Yaitu, akal dan nurani. Dimensi yang tak kasat mata. Yang tidak bisa disentuh oleh indera dan tubuh manusia. Dua dimensi yang sebenarnya menuntun fisik manusia pada keluasan dan kebebasan hidup. Dan Allah Yang Maha Segala memberikan kehidupan yang luas dan bebas yang hanya dibatasi oleh Kemahaluasan-Nya dalam dimensi pikiran dan batin manusia.

Rumus Merdeka

Seluruh kegiatan, termasuk pergantian dari satu ke kegiatan lain, para santri di Pondok Pesantren Al-Amien ditandai dengan bunyi "Jaros". Bel atau lonceng yang terbuat dari besi itulah yang seakan menjadi pengabar dan pemberitahu tentang aktifitas santri sehari-hari.

Suara yang tak bisa dilihat, hanya bisa didengar itulah yang kemudian menjelma menjadi kegiatan nyata para santri. Suara yang ternyata memiliki kekuatan, setidaknya menggiring para santri (pun seseorang) untuk melakukan sesuatu. Karena suara tak terlihat dalam wujud nyata, maka tak ada yang bisa mengungkung, memenjarakan, bahkan membatasi suara, selain pemilik suara.

Suara-suara yang dimaksud tentu saja bukan suara dari fisik (mulut) seseorang. Tapi suara yang lebih dalam. Suara yang berasal dari pikiran dan hati manusia. Inilah suara yang tak bisa terpenjara oleh apapun dan oleh siapapun. Kecuali Tuhan dan manusia yang bersangkutan. Kenapa Tuhan? Karena Dialah sumber segala. Menciptakan Nur Muhammad, awal mula segala penciptaan lainnya.

Seperti awal penerimaan Wahyu. Nabi Muhammad mendengar wahyu pertama berbentuk suara; "iqra!". Lalu kemudian menjadi bentuk pengetahuan dan kebenaran bagi manusia. Dan ini berada dalam diri manusia masing-masing. Karena itu, kebenaran hanya berada pada diri masing-masing. Dan karena itu pula, ketika kebenaran itu yang diwujudkan pada dunia nyata hanya akan menimbulkan banyak perbedaan. Bahkan tak jarang memunculkan perdebatan. Dan itu tidak akan selesai. Setiap orang akan meyakini dan mempertahankan kebenarannya masing-masing. Lalu bagaimana agar kebenaran itu bisa diwujudkan pada dunia nyata?

Pertimbangan pertama adalah prinsip keindahan. Ini terkait cahaya Allah. Nur Muhammad, yang pada hakikatnya adalah keindahan. Karenanya, ketika ingin mewujudkan kebenaran itu, pertimbangan keindahan mesti didahulukan. Apakah yang kita ucapkan kepada orang lain itu indah? Tidak melukai, tidak menjelek-jelekan, tidak menyakiti, tidak mengolok-olok, tidak merendahkan, dan tidak menjahati orang lain? Pun sikap dan perilaku kita, apakah indah? Ketika pertimbangan keindahan yang dipakai, maka faktor kebaikanlah yang mengemuka. Apakah yang kita lakukan dan ucapkan itu baik bagi orang lain?

Inilah kemerdekaan. Inilah kebebasan. Bersikap, berucap, dan berperilaku atas dasar suara kebenaran dalam diri, lalu diwujudkan dengan pertimbangan keindahan dan kebaikan bagi seluruh alam.

Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)