Azan dan segala pertanyaan tentangnya (bag. 1)
Seberapa sering saya mendengar azan? Jika dalam sehari saya mendengar azan 5 kali, maka dalam setahun saya mendengar 1.825 kali. Yah, dikurangi seratus lah, karena pingsan, kuping saya tertutup congek yang tebal, atau saya tengah tersesat di hutan. Jadi, sekitar 1.725 kali saya mendengar azan dalam setahun. Jika saat ini saya berusia 17 tahun. Berarti sudah 29.325 kali, kuping saya mendengar azan. Sungguh, jumlah yang tak sedikit.
Jumlah sebanyak itu apakah berbanding lurus dengan semakin dekatnya saya pada Allah? Sungguh saya malu untuk menjawabnya.
Sahabat saya, Kulub, menegaskan arti azan sebagai panggilan. Seruan. Semacam pengumuman. Seperti pemberitahuan. Tapi yang tak biasa. Ia istimewa. Begitu istimewa.
Azan bukan sekadar pengingat masuknya waktu salat. Azan adalah panggilan gaib nan ajaib yang ajib. Panggilan cinta Allah kepada makhluk-Nya. Seperti puisi dan sajak cinta yang saya buat untuk merayu dan meluluhkan hati perempuan. Kok bisa?
Selain waktu, azan sangat lengket dengan salat wajib. Ia tak bisa dipisahkan. Dimana ada azan di situ ada salat. Nah, salat yang bisa diartikan sebagai wujud interaksi saling memanggil, menyapa, dan berkomunikasi antara Allah dan hambanya, maka azan adalah kalimat pembuka. Seperti kata halo yang diucap ketika seseorang menelpon.
Selain itu, salat yang bisa diartikan pula sebagai bentuk gerak dan ungkapan cinta, maka azan menjadi pengingat masuknya waktu bercinta antara Tuhan dan makhluk-Nya.
Saya teringat ketika pertama kali mimpi basah. Mulai ada rasa suka kepada perempuan. Sungguh, setiap saat "bawaannya" selalu ingin dekat dan selalu ingin lihat perempuan yang saya suka. Ada kebahagiaan dan kesenangan dalam diri saya ketika berinteraksi dengannya. Ada getaran-getaran di dada ketika saya hendak menemuinya.
Seperti itu pula, seharusnya, saya ketika mendengar azan. Seharusnya ada getaran di dada. Sebab mau menemui Allah yang saya cinta. Tapi kenapa, sepertinya azan berlalu begitu saja, dan saya seperti tak merasakan apapun?
Jangan-jangan saya tidak benar-benar mencintai Allah? Jangan-jangan cinta saya hanya di mulut saja? Hingga tak ada getaran dan rasa yang "sedap-sedap enyoy" ketika mendengar azan? Atau saya memang melihat segala berdasar kepentingan fisik dan kesenangan lahiriyah saja?
Seperti ketika belajar puasa. Saya begitu bersemangat menanti azan magrib tiba. Lantaran puasa bagi saya adalah penjara yang mengekang keinginan untuk makan. Dan azan magrib adalah waktu pembebasan. Hari kemerdekaan. Karenanya layak disambut dengan gembira.
Apakah kehadiran azan hanya sebatas penting atau tidak? Butuh atau tidak? Sebab ia hanya suara bernada yang dilantangkan dengan pengeras suara di masjid kampung saya? Apakah karena ia hanya suara yang terdengar lima kali dalam sehari semalam, bukan batu yang jika dilemparkan dengan kencang ke telinga, bisa membuat saya baru merasa kehadirannya?
Apakah saya baru bisa menyadari hadirnya azan jika ia berbentuk nyata seperti mushaf Al-Quran? Mushaf yang saya anggap dan yakini adalah al-quran yang suci. Padahal Al-Quran adalah tak berhingganya makna dan nilai tuntunan dan ajaran kata-kata Allah kepada Nabi Muhammad. Padahal Al-Quran pum adalah suara Allah yang diterima nabi Muhammad lewat telinga terlebih dahulu. Sama seperti azan, yang wujudnya adalah suara.
Apakah segala sesuatu memang mesti diwujudkan menjadi benda yang bisa dilihat mata terlebih dahulu? Kalau begitu, bagaimana dengan allah dan malaikat yang tak terlihat mata? Pun bagaimana dengan nabi Muhammad yang saat ini tidak lagi terlihat wujud fisiknya?
Apakah ini tanda bahwa keimanan saya sebatas mata dan hal-hal yang terlihat saja? Apakah ini karena saya terbiasa dengan kata "percaya kalau sudah melihat langsung"?
Saya percaya bahwa rumah itu yang memiliki tembok, pintu, jendela, kamar-kamar, dapur, kamar mandi, lalu atap setelah saya melihat semuanya. Lalu bagaimana saya melihat kenyamanan, keamanan, kehangatan, dan kegembiraan tinggal di rumah? Padahal rumah menyimpan semua itu.
Padahal rumah menyimpan sistem pendidikan pertama bagi manusia? Ataukah pendidikan yang saya terima sebatas mengajari materi-materi?
Pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia materialistis yang memandang segala sesuatu dari wujud materinya. Dan akhirnya yang dilihat hanya ijazah. Tak peduli kemampuan dan perkembangan berpikir, bersikap, berkarya, dan berkreatifitasnya.
Parahnya lagi, bahwa materi yang dimaksud adalah harta benda. Termasuk uang. Hingga yang menjadi tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan seseorang adalah seberapa banyak uang dan harta benda yang dimiliki. Hingga semua yang tak berwujud materi menjadi tak berharga? Termasuk azan?
Ataukah saya memang tuli, meskipun telinga berfungsi? Atau jangan-jangan, saya adalah robot dan mesin-mesin yang bergerak tanpa jiwa?
Mata saya melihat, tapi hakikatnya tidak melihat. Telinga saya mendengar, pun hakikatnya tidak mendengar. " lahum a'yunun la yubshiruuna biha. Wa lahum adzaanun laa yasma'uuna biha. Wa lahum quluubun la yafqohuuna biha. Ulaaika kalan'am bal hum adhollu". Tidak. Saya bukan robot. Pun bukan binatang. Sebab saya punya akal. Saya bisa berpikir.
Lalu kenapa azan berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak? Jejak yang membuat saya semakin dekat kepada Allah. Apakah karena saya lebih sering memikirkan materi apa yang akan saya punya dan bagaimana mendapatkannya?
Kepala saya sering pusing tujuh keliling jika tak punya uang. Apakah kebahagiaan saya memang sebatas harta? Hingga saya lupa dan pelit bersedekah? Hingga malas berbagi?
Apakah ini karena akal saya mengatakan harta yang dibagi akan berkurang? Seperti rumus matematika, 10 - 10 = 0. Apakah karena hitung-hitungan seperti ini hingga saya lebih sering menggunakan hitungan matematis?
Saya seperti terikat rumus-rumus; tambah, kurang, bagi, dan kali. Padahal selain ilmu pasti, matematika juga mengajarkan alur berpikir yang terkadang aneh. Meski menggunakan rumus yang berbeda, hasilnya bisa sama.
Keanehan itu tidakkah dianggap sebagai keajaiban? Keajaiban yang terkadang tak perlu diwujudkan. Keajaiban yang terkadang hanya perlu dinikmati dan disyukuri.
Kenapa saya mempertanyakan semua ini?
Pondok Labu.
Komentar
Posting Komentar