Menjadi Manusia; Utuh dan Berdaulat?

Di bengkel mobil, seorang mekanik berpakaian kotor penuh noda oli dan tanah menegaskan kepada Kulub dan Kia, "sebelum jalan, sebaiknya mobil perlu dipanaskan. Biar olinya rata ke setiap sisi mesin, agar ketika dibawa jalan, mobil telah siap. Ibarat kata, mobilnya utuh sebagai mobil".

Di taman Kota BSD, Kulub dan Kia bertemu seorang instruktur senam. Ia menegaskan sebelum berolah raga mesti melakukan pemanasan. Biar otot dan tubuh tidak kaget. Biar ketika olahraga, tubuh bisa utuh mengolah raganya.

Di sebuah warung makan, seorang pelayan berteriak; ayam, ayam, ayam. Para pegawai warung makan tersebut paham betul, pelayan itu "latahan". Jika dikagetkan, akan spontan mengeluarkan kata-kata. Mengikuti kata-kata orang yang mengagetkannya. Tak jarang alat vital manusia disebutkannya pula.

Di Kompas, pada Minggu 30 September 2001, Harry Roesli bercerita begitu lucu. Tentang tiga teroris lokal; Ojo, Buto, dan Momo yang ingin dikenal sebagai teroris internasional. Namun mereka urung membajak pesawat internasional karena ingin membuktikan bahwa ucapan pilot pesawat tersebut keliru. Pilot itu mengatakan bahwa mereka lahir dari bangsa peniru, bangsa latah, bangsa yang kagetan.

Di tahun 399 SM, seorang laki-laki berusia 70 tahun bernama Sokrates berdiri di
hadapan majelis pengadilan. Di pengadilan Athena tersebut ada 500 orang anggota majelis. 220 suara menyatakan Sokrates tidak bersalah, namun 280 suara menyatakannya bersalah dan mesti dijatuhi hukuman mati. Socrates menghadapi tuduhan “tidak mau mengakui Tuhan yang ditetapkan negara dengan memperkenalkan tuhan lain yang baru kepada para pemuda lalu merusak pikiran para pemuda”.

Tuduhan itu diajukan oleh tiga orang. Pertama, Anytus (seorang politikus) yang sebenarnya tidak suka melihat Sokrates mengritik lembaga pemerintahan demokrasi di Athena. Kedua, Meletus (pengikut Anytus) yang sebenarnya hanya ingin menguji sampai sejauh mana kemampuannya dalam berdialog dengan Socrates. Dan ketiga, Lycon (orator, demagouge alias penghasut) yang menganggap Sokrates adalah sebuah ancaman besar bagi keberlangsungan demokrasi, yang membutuhkan keahliannya sebagai penghasut. Dan akhirnya, Sokrates lebih memilih untuk menerima hukuman mati dengan meminum racun hemlock dari mangkuk yang telah disiapkan untuknya. Ia mati dengan membawa keyakinan bahwa yang dilakukannya kepada para pemuda Athena adalah hal yang baik dan benar.

Di Universitas California di Barkeley, pada Oktober-November 1983 Michel Foucault membahas tentang parrhesia di dalam sebuah seminar yang bertema “Discourse and Truth: The Problematization of the Parrhesia”. Foucault yang lahir di Poitiers, pada 15 Oktober 1926, menjelaskan tentang parrhesia yang merupakan hal dasar dan menjadi ciri khas utama demokrasi Athena. Kata parrhesia berasal dari kata Yunani "pan" artinya semua dan "rhesis" artinya ucapan. Secara harafiah parrhesia adalah mengatakan semuanya atau mengatakan dengan bebas atau mengatakan dengan berani.

Foucault menjelaskan bahwa parrhesia adalah tindakan berbicara bebas tentang kebenaran dengan polos dan jujur, melakukan kritik terhadap diri sendiri dan orang lain, untuk menolong dan mengembangkan diri sendiri dan orang lain. Seorang parrhesiast adalah pribadi yang memiliki kualitas kebajikan moral yang sangat penting dan dibutuhkan bagi kehidupan politis dalam sebuah negara. Seorang parrhesiast adalah individu yang merupakan bagian dari suatu masyarakat dan yang melaksanakan perannya secara tepat di dalamnya. Foucault menunjuk Sokrates sebagai contoh seorang parrhesiast.

Di tanggal 23 Juli 2001,tepat pada malam pukul 20.50 WIB, seorang presiden keluar istana mengenakan kaos dan celana pendek. Melambaikan tangan kepada para pendukungnya yang datang dari berbagai daerah dan sudah siap mati untuk membela sang presiden. Sang presiden mengatakan tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. Padahal bisa saja ia mengerahkan massa pendukungnya. Padahal Mahfud MD menilai pelengseran sang presiden tidak sesuai konstitusi. Namun sang presiden lebih memilih melepas jabatannya daripada melakukan tindakan-tindakan yang melanggar Pancasila dan azas pluralisme. Presiden itu bernama KH. Abdurrahman Wahid alias Gusdur.

Di beberapa tempat, Emha Ainun Najib berkali-kali menegaskan agar setiap orang menjadi pribadi yang berdaulat atas diri sendiri. Itu sering ia sampaikan pada ribuan jamaah pengajiannya yang dikenal dengan jamaah maiyah. Nama pengajiannya berbeda-beda di tiap tempat. Misalnya; Kenduri Cinta (Jakarta) Mocopat Syafaat (Jogja), Padhang Mbulan (Jombang), Gambang Syafaat (Semarang), Bangbang Wetan (Surabaya), Paparandang Ate (Mandar) Maiyah Baradah (Sidoarjo), Obro Ilahi (Malang, Hongkong, Bali) Juguran Syafaat (Banyumas Raya) dan Maneges Qudroh (Magelang).

Di tulisan ini, akhirnya penulis bertanya pada diri sendiri. Sudahkan ia menjadi pribadi yang utuh, yang siap jalan seperti mobil? Sudahkan ia menjadi parrhesiast seperti Socrates yang lebih memilih minum racun hemlock? Sudahkah ia menjadi seorang Gusdur yang memilih melepas jabatannya demi sebuah kebenaran dan kebaikan yang lebih besar? Sudahkah ia menjadi pribadi berdaulat seperti nasihat CakNun?

Kalau pun belum, setidaknya ada proses. Sudahkan penulis berproses menjadi semua itu? Atau memang masih dalam tahap pemanasan? Atau memang hanya manusia latah dan kagetan seperti pelayan rumah makan tadi? Atau malah membuktikan ucapan pilot kepada "Ojo", "Buto", dan "Momo", bahwa ia ia lahir dari bangsa yang latah dan kagetan?

Malah bisa jadi pesimis: bisakah menjadi atau berproses menjadi manusia; utuh dan berdaulat? Mampukah?

Jangan-jangan kita memang belum siap dan kaget menjadi manusia?

Allahu a'lamu bisshowab

Pondok Labu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)