Strategi ketiga Hanzi: Diperalat dan Memperalat

Kulub dan Kia tengah berdebar-debar. Pernikahan mereka kurang dari sebulan. Alhamdulillahnya mereka telah mencatat apa-apa saja yang dibutuhkan dan diperlukan. Ketika ada hal yang tidak sanggup mereka kerjakan berdua, mereka gunakan kemampuan orang lain. Tidak sekadar sosiologis, terkadang kemampuan orang lain memang penting utnuk digunakan. Tentu saja dalam arti positif. Entah, jika itu dilakukan dalam arti negatif.

Apa yang dilakukan Kulub dan Kia, seperti strategi 3 Hanzi. "Pinjam tangan seseorang untuk membunuh. (Bunuh dengan pisau pinjaman.) Serang dengan menggunakan kekuatan pihak lain (karena kekuatan yang minim atau tidak ingin menggunakan kekuatan sendiri). Perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok aparat musuh untuk menjadi pengkhianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri.

Strategi ini tentu dalam suasana perang saat itu. Tapi, sepertinya bisa juga dipakai untuk meraih sesuatu. Termasuk dalam atmosfer persaingan dan perlawanan. Politik misalnya. Dan jika melihat perpolitikan Indonesia kekinian, terutama di masa-masa pemilu, strategi ini benar-benar dipakai. Terlebih pada dua kubu yang tengah memperebutkan kursi orang nomor 1 di Indonesia. Bahkan, sepertinya, kubu koalisi dan opisisi pun terbentuk karena strategi ini. Untuk memperjelasnya, representasinya adalan TPN (tim pemenangan nasional) Jokowi-Ma'ruf dan BPN (badan pemenangan nasional) Prabowo-Sandi.

Dalam kampanye, keduanya menggunakan strategi yang mirip-mirip, setidaknya mendekati, strategi Hanzi yang ketiga. Ambil satu saja. Keduanya sama-sama menggunakan satu kekuatan yang dimiliki kebanyakan orang yaitu agama. Kedua kubu seperti melihat salah satu kekuatan yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah agama. Dan ini, dijadikan senjata sekaligus amunisi untuk menambah kekuatan elektoral kedua kubu.

Di kubu Prabowo-Sandi terdapat istilah-istilah yang sempat viral di media sosial. Misalnya sebutan Capres-Cawapres pilihan Ijtima’ Ulama, Capres Pembela Islam, Santri Post Islamis, Ulama Millenial dan sebagainya. Istilah-istilah itu tentu saja akan diiringi simbol-simbol agama. Ini bisa menjadi kekuatan di satu sisi, pun kelemahan di sisi lain. Jika Prabowo-Sandi terus menerus menggunakan kekuatan ini (agama dan simbol-simbolnya), maka sangat memungkinkan mereka akan terjebak pada "senjata makan tuan". Terlebih jika mereka "tertangkap" melakukan sesuatu yang malah memperlihatkan hal-hal mengingkari dan berlawan dengan agama dan simbol-simbol formalistiknya.

Sementara itu, di Kubu Jokowi-Ma'ruf, tidak hanya istilah dan simbol, Jokowi malah memilih KH. ma'ruf Amien yang notabene lekat dan dekat dengan agama itu sendiri. Tidak hanya simbol, tapi seseorang yang lekat dengan simbol tersebutlah yang dijadikan mitra.

Melihat hal tersebut, sepertinya, agama dan simbol-simbolnya masih menjadi hal yang sangat dipertimbangkan dalam gerak perpolitikan di negeri ini. Dan dari kedua calon presiden dan calon wakil presiden yang ada, seakan menunjukkan politik agama yang terjadi di negeri ini. Benturan ideologi, faham, bahkan aliran keagamaan tengah diperlihatkan dan dipertontonkan pada pemilu 2019 ini.

Dari kedua kubu, sepertinya cukup mudah mengidentifikasi ideologi islam yang bagaimana yang tengah "berperang". Para anggota kelompok-kelompok Islam sektarian tengah berusaha juga meraih kekuasaan. Sepertinya, kesadaran akan visi dan misi ideologis hanya bisa diwujudkan lewat jalur regulasi dan birokrasi membuat mereka mesti berperan dalam percaturan politik di negeri ini.

Apa visi dan misi kelompok-kelompok Islam sektarian tersebut dan bagaimana mereka mendompleng dari kedua capres dan cawapres yang ada, menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Termasuk, siapa yang digunakan (diperalat) dan siapa yang menggunakan (memperalat), apakah kelompok-kelompok Islam sektarian tersebut atau kedua capres dan cawapres yang ada? Tentu saja, karena politik sangat lekat dengan kepentingan, maka, semuanya sangat dimungkinkan.

Pertanyaan selanjutnya, kira-kira kekuatan agama yang dipakai dalam kontestasi pemilu 2019 ini akan membawa Indonesia seperti apa ke depannya? Apakah akan menjadikan Indonesia negara religius? Negara agama formal? Entahlah.

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)