Cabe-Cabean (Resistensi Perempuan Terhadap Konstruksi Sosial dan Patriaki)

Adakah dari anda –perempuan- yang mau dipanggil serta dijuluki cabe-cabean, jablai, lonte atau pelacur? Kenapa hanya para perempuan yang mendapat panggilan seperti itu, lantas kenapa laki-laki yang menggunakan “jasa” para perempuan tidak serta merta mendapat julukan yang sama?
Ketika remaja putri tidak mau dipanggil cabe-cabean, karena menganggap mereka bukan ‘cewe bayaran’ yang suka “mangkal” dan menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan atau bahkan lokalisasi prostitusi, maka usaha untuk mencapai kebebasan sebagai manusia perempuan pun sedang terjadi. Begitu pula ketika mereka memiliki hak untuk memilih, dan menetukan mau atau tidaknya mereka jalan atau kencan dengan seseorang (laki-laki) maka kesetaraan pun sedang terjadi. Tawar menawar dengan laki-laki yang ia kehendaki pun sebuah pengejawantahan keadilan antara perempuan dan laki-laki.  
Pada awalnya, cabe-cabean adalah julukan yang diberikan sekumpulan laki-laki untuk perempuan yang bisa dijadikan taruhan sekaligus hadiah bagi pemenang dalam balap motor liar. Sifat cabe yang “hot” digunakan untuk (kalau boleh dikatakan) mendiskriminasi perempuan yang mencoba masuk ke dunia laki-laki. Maka tersirat “pelecehan” terhadap perempuan dari kata cabe-cabean tersebut. Seperti ada penolakan akan eksistensi perempuan di tengah kawanan laki-laki hingga mereka (perempuan) mendapat julukan cabe-cabean yang mengandung makna negatif.
Terlepas dari makna negatif, kehadiran seorang perempuan di ruang-ruang publik, terutama yang selama ini menjadi pandangan kolektif (konstruksi sosial),  yang didominasi laki-laki seakan menjadi hal yang tidak wajar bahkan menyalahi aturan. Hal inilah yang secara primordial secara intens dibahas dalam diskursus feminisme.
Diskursus feminisme menyorot kepada ruang-ruang perempuan berperan. Ruang tersebut bisa dibagi menjadi dua, yaitu ruang pribadi (private domain) dan ruang publik (public domain). Perempuan selama ini dipandang hanya bisa berperan pada ruang-ruang pribadi saja, hingga ada adagium yang mengatakan bahwa peran perempuan itu hanya di dapur, sumur dan kasur. Karena pandangan kolektif seperti itu (perempuan hanya di ruang pribadi) hingga akses untuk menyentuh ruang publik bagi para perempuan pun (seakan) dibatasi.
Sebagai manusia, perempuan juga berhak mendapatkan status manusia baik di ruang privasi maupun di ruang publik. Seorang perempuan ketika mencoba masuk ke ruang publik, sebenarnya ia berusaha untuk mendapatkan haknya sebagai manusia. Ketika perempuan mendapat julukan apapun dari ruang publik yang selama ini terus didominasi oleh laki-laki, maka sangat wajar jika ia menolak hal tersebut. Sebagai contoh perempuan (remaja putri) yang tidak mau dipanggil cabe-cabean. Maka esensinya sebenarnya ia sudah melakukan suatu usaha besar untuk terlepas dari konstruksi patriarkis laki-laki hingga muncullah istilah baru yaitu tomat-tomatan, terong-terongan yang merujuk kepada laki-laki yang suka dengan cabe-cabean.
Penolakan remaja putri dipanggil cabe-cabean adalah bentuk resistensi mereka terhadap konstruksi patriarkis. Konstruksi patriarkis yang selama ini berusaha membangun pandangan bahwa perempuan itu di bawah laki-laki. Peran mereka (perempuan) berada di nomor dua setelah laki-laki. Gerakan feminis muncul untuk melakukan perlawanan atas ini, termasuk pada kasus remaja putri yang menolak dipanggil cabe-cabean, kemampuan mereka untuk memilih antara mau dan tidak terhadap laki-laki yang memintanya, tawar menawar yang terjadi jika si lelaki memaksa untuk ditemani, merupakan bentuk eksistensi perempuan yang (sebenarnya) bisa menyentuh ranah dan ruang publik. Disadari atau tidak semua yang dilakukan remaja putri itu adalah proses “menjadi perempuan”.
Konsep ‘menjadi perempuan’ adalah konsep yang dicetuskan oleh Simone de Beauvoir. Dalam bukunya The Second Sex dengan frasa yang (mungkin) sampai sekarang seringkali dikutip, ‘seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan: dia menjadi perempuan’ (one is not born woman: one becomes one). Hal ini bisa ditafsirkan dengan pernyataan bahwa menjadi ‘seorang perempuan’ atau ‘feminin’ bukanlah atribut alami. Walau seseorang memiliki tubuh -secara biologis ataupun anatomis- perempuan, hal tersebut tidak serta merta menjadikan ia seseorang perempuan. Sebaliknya, seseorang (seringkali) menjadi perempuan melalui proses inisiasi di dalam sebuah identitas yang dikonstruksi secara sosial. Konstruksi sosial inilah yang (seringkali) menjadi celah dan ruang untuk laki-laki memainkan dominasinya. Ketika seorang remaja putri berusaha untuk menutup celah itu, misalnya dengan masuk ke genk motor (ruang publik), memilih dengan siapa (laki-laki) yang ia mau untuk ditemani, tawar menawar harga ketika ada yang memintanya untuk kencan, pun penolakan atas label-label dan julukan kepada mereka, adalah bentuk perjuangan mereka terhadap kesetaraan dan keadilan.
“Satu gambar bisa melahirkan seribu penafsiran”. Begitu pula dengan frasa ‘menjadi perempuan’, yang bisa memunculkan beragam interpretasi. Hal yang menjadi bahan multi tafsir dari frasa ‘menjadi perempuan’ terletak pada kata kerja ‘menjadi’. Kata kerja ‘menjadi’ merupakan konsep ambigu karena di dalamnya tersirat makna pasif sekaligus aktif.
Makna pasif yang terdapat pada frasa ‘menjadi perempuan’ bisa ditafsirkan bahwa seseorang menjadi perempuan karena adanya paksaan yang tidak dapat dilawan. Perempuan seakan-akan dipaksa untuk menuruti norma tentang feminitas yang (mungkin) bukan pilihan mereka. Seperti remaja putri yang mencoba masuk dan menyentuh genk motor (ruang publik) lantas diberi julukan dan panggilan cabe-cabean. Ada pemaksaan dari kaum laki-laki (para pembalap dan anggota genk motor, misalnya) untuk para remaja putri agar menerima julukan yang diberi, padahal remaja putri itu tidak menerima panggilan tersebut. Di sinilah letak makna pasif ‘menjadi perempuan’. Perempuan yang ‘dipaksa’ untuk menerima konstruksi sosial patriarkis.
Sedangkan makna aktif pada ‘menjadi perempuan’, tersirat pada interpretasi yang menyatakan bahwa ‘menjadi perempuan’ adalah kemauan dalam pembentukan identitas gender seseorang. Beauvior sendiri menyatakan bahwa perempuan seringkali terlibat dalam opresi mereka, memilih untuk mengadopsi karakteristik ‘feminin’ karena terdapat keuntungan –seperti perlindungan laki-laki- yang diberikan kepada mereka atau karena harga yang harus dibayar untuk menolak terlalu mahal. Kemauan serta keuntungan-keuntungan yang didapatkan perempuan inilah yang (sering) digunakan oleh para perempuan untuk (secara tidak langsung, sadar atau tidak) menyatakan diri sebagai perempuan serta unuk ‘menjadi perempuan’.
Seperti halnya remaja putri yang mau keluar malam, mau gonta ganti pasangan, mau melakukan tawar menawar dengan laki-laki yang memintanya, mau bergelut dengan dunia yang mereka mau, serta kemauan-kemauan lain adalah kemauan yang menandakan maunya mereka ‘menjadi perempuan’ yang setara dengan laki-laki, karena bisa merambah ruang publik. Begitu juga dengan keuntungan-keuntungan yang mereka (remaja putri) dapatkan, misalnya; uang dari proses tawar menawar, rasa senang karena bisa keliling dan jalan-jalan dengan laki-laki pilihan, dan keuntungan-keuntungan lain yang didapatkan adalah bentuk keuntungan yang (mungkin) bisa mereka dapatkan.
Menurut tradisi Foucouldian, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan kekuasan dalam setiap tindakan labelling merupakan penamaan atas fenomena-fenomena yang terdapat dalam sebuah kebudayaan. Menurut Bisri Effendi, budayawan sekaligus peneliti senior LIPI, kebudayaan itu dibagi menjadi 2, ada kebudayaan yang baik dan ada kebudayaan yang jahat. Kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang tidak merugikan orang lain dalam implikasinya, sebaliknya, kebudayaan yang jahat adalah kebudayaan yang merugikan orang lain. Melihat fenomena remaja putri yang mendapat label cabe-cabean menyiratkan bahkan menyuratkan akan kebudayaan Indonesia yang bertambah.
Kebudayaan adalah cara hidup, cara pandang, proses kreatifitas manusia untuk melahirkan suatu pola hidup, pandangan serta produk yang baru. Semua yang dihasilkan dari cara-cara tersebut dinamakan produk budaya. Budaya dan produk budaya adalah hal yang berbeda walau keduanya saling terkait dan mempengaruhi. Perihal budaya remaja putri yang demikian baik atau jahat dalam implikasinya (walau disini terkesan pragmatis), semuanya dikembalikan kepada ‘mata Anda’ hendak dari mana memandangnya. Yang ingin ditekankan adalah, cara pandang remaja putri yang demikian adalah sebuah budaya. Tentang produk budaya yang dihasilkan dari budaya tersebut adalah persoalan yang berbeda.
Jadi masihkah kita menutup mata untuk remaja putri yang mencoba mendapatkan eksistensi mereka di ruang publik padahal itu upaya mereka untuk ‘menjadi perempuan’? Apakah kita akan terus memberi label kepada mereka yang sebenarnya mereka pun bisa memberi label kepada kita? Masihkah perlawanan mereka terhadap konstruksi sosial dan patriarki, yang seringkali menyudutkan bahkan mengintimidasi mereka, kita redam bahkan kita hancurkan? Bukankah mereka hanya berupaya dan berusaha untuk mengoptimalkan potensi mereka sebagai manusia? Ya, mereka adalah manusia yang harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.
Mari lepaskan konstruksi sosial yang suka melabeli seseorang dengan pandangan negatif saja sebab ada hal positif yang masih bisa kita gunakan. Sebab labeling atas dasar pandangan negatif itulah benteng yang seringkali menghalangi manusia menjadi manusia. Ya, labael cabe-cabean adalah benteng pemisah antara manusia dengan manusianya. dengan kata lain, menilai atau melabeli seseorang dengan kata atau frasa apapun boleh dan sah-sah saja. setidaknya dari pelabelan itu, seseorang bisa diketahui dan diidentifikasi, bisa menjadi pembeda dirinya dengan yang lain, asal saja pelabelan tersebut tidak merugikan orang lain termasuk remaja putri dalam hal yang disebut dan dibahas. Sebab jika sudah merugikan orang lain disitulah proses kehancuran manusia sedang terjadi. Di bulan puasa yang suci ini, mari kita lebih mensucikan diri kita dengan lebih memanusiakan manusia.


10 Romadhon 1435 H bertepatan dengan 9 Juli 2014 M.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)