Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Cabe-Cabean (Resistensi Perempuan Terhadap Konstruksi Sosial dan Patriaki)

Adakah dari anda –perempuan- yang mau dipanggil serta dijuluki cabe-cabean, jablai, lonte atau pelacur? Kenapa hanya para perempuan yang mendapat panggilan seperti itu, lantas kenapa laki-laki yang menggunakan “jasa” para perempuan tidak serta merta mendapat julukan yang sama? Ketika remaja putri tidak mau dipanggil cabe-cabean, karena menganggap mereka bukan ‘cewe bayaran’ yang suka “mangkal” dan menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan atau bahkan lokalisasi prostitusi, maka usaha untuk mencapai kebebasan sebagai manusia perempuan pun sedang terjadi. Begitu pula ketika mereka memiliki hak untuk memilih, dan menetukan mau atau tidaknya mereka jalan atau kencan dengan seseorang (laki-laki) maka kesetaraan pun sedang terjadi. Tawar menawar dengan laki-laki yang ia kehendaki pun sebuah pengejawantahan keadilan antara perempuan dan laki-laki.   Pada awalnya, cabe-cabean adalah julukan yang diberikan sekumpulan laki-laki untuk perempuan yang bisa dijadikan taruhan sekaligus hadiah...

Gus Dur (Masih) Melukis Senyum

Pengajian diawali dengan pembacaan tahlil, itu biasa. Peringatan maulid nabi dan isra mi’raj diawali dengan tahlil, itu juga biasa. Tapi acara diskusi, yang identik dengan kajian dan obrolan ilmiah, diawali dengan tahlil, itu yang tidak biasa. Hal tidak biasa itu bisa anda temui pada perkumpulan Gusdurian Depok. Sabtu (05/07) di komplek Permata Regency Depok, Gusdurian Depok memulai diskusi yang bertema “Kampanye hitam tidak sah tetapi ampuh” setelah melantunkan hadiah fatihah, dzikir dan bacaan-bacaan tawasulan lain dilaksanakan. Acara yang dimoderatori oleh Subhi Azhari, Peneliti WI (Wahid Institute), adalah acara rutin bulanan Gusdurian Depok. “Banyak yang salah kaprah tentang kampanye hitam atau black campaigne . Black campaigne itu muncul pada pergolakan politik di Amerika, yang mengedepankan isu rasis terhadap orang-orang kulit hitam. Untuk Indonesia, sepertinya, term black campaigne tidak sesuai untuk digunakan untuk mendefinisikan kampanye-kampanye yang tidak sehat....

Keberagaman Budaya (Agama) Adalah Kekuatan Indonesia

“Karena kita sudah terlalu lama memiliki Indonesia, maka rasa memiliki Indonesia sudah semakin puda”. Ucapan teman saya, seorang mahasiswa yang aktif dalam forum diskusi sosial dan keagaaman di Ciputat, serta merta menimbulkan gejolak dalam diri saya. Ada gelombang yang mengantarkan setuju dan sepakat atas ucapannya namun gelombang yang lain mengantarkan benak saya pada dimensi berbeda. Dimensi yang mempertanyakan “kenapa bisa seperti itu”. Lalu tiba-tiba analogi saya kembali pada kenangan masa kecil. Ketika saya dibelikan sepeda baru oleh orang tua, alangkah senang rasa di hati ini. sepeda itu saya mainkan setiap hari, saya cuci bahkan saya ajak ia menemani tidur di kamar tidur. Begitulah kira-kira gambaran masa kecil ketika saya memiliki sepeda yang baru. Namun lama-kelamaan sepeda baru itu, mulai luput dari perhatian saya. Kotoran-kotoran yang menempel di tubuhnya sudah jarang saya bersihkan, bahkan semakin lama sepeda itu sudah saya letakkan –kadang- di depan rumah, di belakan...

Kekerasan Dalam Sastra

Toleransi beragama di Indonesia kembali ternoda. Beberapa hari yang lalu, sekelompok masa bergamis (menggunakan baju gamis) menyerang umat kristiani yang tengah melakukan ibadah di salah satu gereja di Jogjakarta. Penyerangan tersebut, belakangan, berlatar belakang lantaran gereja tersebut merupakan sebuah rumah yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah (gereja). Sungguh hal ini begitu mencoreng kedamaian dan agama damai yang melekat pada Islam. Sebab mereka yang menyerang mengenakan gamis yang identik dengan pakaian umat Islam. mereka (para penyerang) adalah kelompok yang mengatasnamakan islam tapi tidak berislam. Saya tidak ingin menyoroti lebih jauh kejadian tersebut lewat sudut pandang ideologis atau agama, saya ingin melihatnya dari sudut pandang sastra. Kelompok (orang-orang bergamis) yang menyerang umat kristiani yang sedang beribadah adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal sastra. Mungkin mereka tahu atau setidaknya pernah tahu tentang sastra. Tapi mereka menolak kehad...

Tak Habis Membaca Misteri Puisi (Sebuah apresiasi terhadap puisi Rubaiyat Matahari)

Puisi adalah misteri yang tak habis untuk dikaji. Ia seperti candu yang menimbulkan ekstasi tersendiri bagi para pembaca, pengkritik, pemerhati, bahkan untuk penyairnya sendiri. lantaran puisi menimbulkan “ketagihan” untuk terus dikaji maka puisi tak pernah mati. Puisi adalah keabadian dalam dimensinya sendiri. Walau puisi masih erat dengan kesendirian, ia bisa menelusup ke berbagai sisi kehidupan. Hal itu bisa dilihat dari berbagai tema yang dibicarakan puisi. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa puisi itu representasi dari berbagai dimensi kehidupan, baik dimensi spritual maupun emosional manusia. Hingga tak jarang puisi bisa menarik sisi lahir dan batin manusia. Salah satu puisi yang menarik –dan mungkin tak habis untuk dikaji- adalah puisi yang berjudul Rubaiyat Matahari. Rubaiyat Matahari 1 Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi Kueja namamu di rubaiyat matahari Kau dengar aku menangis sepanjang hari Karena dari november-desember selalu lahir matahari 2 Eng...