Kekerasan Dalam Sastra

Toleransi beragama di Indonesia kembali ternoda. Beberapa hari yang lalu, sekelompok masa bergamis (menggunakan baju gamis) menyerang umat kristiani yang tengah melakukan ibadah di salah satu gereja di Jogjakarta. Penyerangan tersebut, belakangan, berlatar belakang lantaran gereja tersebut merupakan sebuah rumah yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah (gereja). Sungguh hal ini begitu mencoreng kedamaian dan agama damai yang melekat pada Islam. Sebab mereka yang menyerang mengenakan gamis yang identik dengan pakaian umat Islam. mereka (para penyerang) adalah kelompok yang mengatasnamakan islam tapi tidak berislam. Saya tidak ingin menyoroti lebih jauh kejadian tersebut lewat sudut pandang ideologis atau agama, saya ingin melihatnya dari sudut pandang sastra.
Kelompok (orang-orang bergamis) yang menyerang umat kristiani yang sedang beribadah adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal sastra. Mungkin mereka tahu atau setidaknya pernah tahu tentang sastra. Tapi mereka menolak kehadiran sastra di dada mereka. selain agama, sastra juga menolak keras kekerasan apalagi intimidasi suatu kelompok atas kelompok lainnya. Sebab sastra mengajarkan dan menawarkan khazanah kebajikan, kelemah lembutan, dan kehalus-pekaan perasaan.
Jika seseorang atau kelompok lebih mengenal sastra dalam diri mereka, maka kekerasan, atas dasar dan mengatasnamakan apapun, tidak akan terjadi. Sastra mengasah kepekaan dan kehalusan rasa. Kepekaan dan kehalusan rasa ini yang pada akhirnya mengajarkan tentang toleransi, menghargai dan menghormati pendapat, keyakinan, serta ideologis orang lain.
Dalam sejarah sastra Indonesia, pernah terjadi konflik antara Lekra dan Manifesto Kebudayaan, yang kemudian disingkat menjadi Manikebu, walau singkatan ini ada sebagian yang bilang cemoohan kelompok lekra untuk kelompok Manifesto kebudayaan, karena manikebu diarti-artikan sebagai “Maninya kebo”.
Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat) adalah organisasi yang berdiri pada tanggal 17 agustus 1950 di Jakarta. Lekra yang diidentikkan dengan PKI ini dibubarkan oleh rezim Orde Baru atas dasar TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, yang berisi tentang pelarangan komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Yang kemudian, undang-undang ini diusulkan Presiden ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) untuk dicabut, walau pada akhirnya pada sidang tahunan MPR tahun 2003 yang diketuai Amien Rais tetap mempertahankan undang-undang tersebut. Sastrawan yang disebut-sebut dalam anggota Lekra ini di antaranya adalah Pramoedya Ananta Toer.  
Sedangkan Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pencetus utama Manifes Kebudayaan adalah HB Jassin, Wiratmo Soekito dan Trisno Soemardjo.  manifesto kebudayaan dideklarasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1963. Di antara sastrawan yang masuk ke dalam anggota Manikebu antara lain; W.S. Rendra, Arifin C. Noor, Supardi Djokodamono, S. Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, Mochtar Lubis, H.B. Jassin, Taufik Ismail, dan lain-lain.
Manifesto Politik berisi sebagai berikut;
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
                Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai kodratnya. Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan dan sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta 17 Agustus 1963”.
Sedangkan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya "Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia", menulis sebuah deklarasi, yang sepertinya ingin menandingi Manifesto Kebudayaan, yang isinya sebagai berikut;
Pernjataan Sasterawan Surabaja.
Ikrar:
                Setia dan berdasarkan itu semua, demi untuk melandjutkan, memadjukan, mengembangkan dan meluaskannja, maka kami sasterawan Surabaja jang bertanda tangan di bawah ini dengan berdasarkan Pantjasila sebagai falsafah negara, dan berdasarkan pada Manifesto Politik Republik Indonesia serta Djalannja Revolusi Kita sebagai jang telah digariskan oleh Presiden Republik Indonesia, dengan chikmat dan tanpa reserve berikrar pada hatinurani kami, pada rakjat dan revolusi sebagai berikut:
1. Mendjadikan terus revolusi dan rakjat sebagai sentral kerdja kami.
2. Mendjadikan karja2 kami sebagai penerdjemahan revolusi dan hati nurani rakjat.
3. Siap sedia mengerahkan seluruh bakat jang ada pada kami untuk mengambil bagian dalam melaksanakan Triprogram Pemerintah dan Trikomando Rakjat dewasa ini.
Untuk melaksanakan semua jang kami ikrarkan ini setjara maksimum dan efisiensi, maka kami para sasterawan menganggap perlu untuk memperoleh sjarat-sjarat mutlaknja, jaitu:
1. Kebebasan demokratis untuk menjatakan isihati pikiran sedjalan dengan iklim demokrasi terpimpin.
2. Fasiliteit2 untuk pekerdjaan sasterawan, misalnja djaminan dalam hal penerbitan, penjebaran dan pemintasan karja2 mereka pada rakjat.
Untuk mentjiptakan sjarat-sjarat mutlak tersebut akan lebih lantjar apabila disertai tindakan tindakan:
1. Menjingkirkan pelaksana2 jang pada hakekatnja anti Manipol
2. Melaksanakan kegotongrojongan jang kreatip untuk meluruskan pelaksanaan Manipol dengan segala konsekwensinja, termasuk melawan atau melenjapkan agresi dan hak hidup dari kebudajaan imperealis dalam segala bentuknja termasuk djuga filsafat dan sasteranja jang dekaden.
Surabaja, 26 Mei 1962”
Konflik antar kedua kubu ini –bisa dikatakan- bermula ketika pada tahun 1962 “Lentera” Harian Bintang Timur yang merupakan sebuah media cetak Lekra menuduh bahwa karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah plagiat dari karya pengarang Arab, Manfaluthi. Hb Jassin, pimpinan Majalah Sastra yang merupakan media Manikebu, membela Hamka dari tuduhan tersebut.
Konflik yang terjadi dalam dunia sastra Indonesia lebih terasa nuansa politis ketimbang nuansa sastranya. Hal ini dikarenakan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Mei 1964 menyatakan bahwa Manikebu adalah ilegal dan beranggapan bahwa orang-orang Manikebu ragu akan revolusi dan manifesto kebudayaan menyaingi manifesto politik. Hal ini bisa dirasakan dan dibuktikan dari kedua deklarasi di atas, antara Manifesto Kebudayaan dan Pernyataan Sastrawan Surabaya.
Apakah ada unsur politis yang mendalangi kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia, seperti konflik yang terjadi dalam sejarah sastra Indonesia?. Apapun yang melatarbelakangi kekerasan di negeri ini, sastra dengan tegas menolaknya.
Belum lama, hal kontroversial pun terjadi di dunia sastra Indonesia yang menyangkut dimasukkannya nama Denny JA kedalam buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Buku yang ditulis oleh Jamal D. Rahman Dkk itu memang syarat dengan kontroversi. Hal ini disadari betul oleh Tim 8 (para penulis) yang kemudian mereka singgung hal ini  di kedua terakhir paragraf pada kata pengantar buku tersebut. Kontroversi buku ini menimbulkan 2 kelompok yang berbeda. Pertama, kelompok yang setuju dan mendukung dimasukkannya nama Denny JA ke dalam buku 33 Tokoh Sastra paling berpengaruh di Indonesia. Kedua, kelompok yang menolak hal tersebut.
Betapa hebat perbedaan pendapat, betapa kerasnya pro dan kontra yang terjadi, betapa sengit adu argumen di media cetak, media sosial (facebook, twitter, dll), publik –sastrawan, pemerhati, pengkritikus, penikmat- sastra tidak sampai melahirkan insiden kekerasan apalagi sampai mengalirkan darah. Semua mengemukakan pendapatnya lewat karya tulis kembali dengan argumentasi, landasan pemikiran, sudut pandang, perspektif, pertimbangan dan kriteria  masing-masing. Walau sempat dikabarkan bahwa banyak seniman dan sastrawan Lekra yang dipenjara bahkan hilang ketika masa Orde Baru, namun lagi-lagi (perlu ditekankan di sini) semua itu bernuansa politis.
Begitulah sastra, mengajarkan perbedaan pendapat, keyakinan serta ideologis dengan argumentasi logis dan tenang. Walau keadaan panas, sastra –puisi, cerpen, novel- tetap memberikan solusi alternatif yang dingin. Bahkan melahirkan kembali pandangan baru. Jika kelompok-kelompok yang ada di Indonesia bisa belajar dari sastra, maka kasus kekerasan atas dasar dan atas nama apapun perlahan akan hilang dari bumi Indonesia yang damai ini. kepekaan rasa rakyat Indonesia akan lebih terasah lagi. maka selain mengaji sesuai dengan kepercayaan masing-masing, marilah kita mengaji sastra di hati masing-masing.
Sastra memang bukan kitab suci yang wajib dibaca dan dikaji. Sastra adalah kitab alternatif untuk menundukkan jiwa-jiwa hamba. Tanpa ingin menyamakan posisi dan kedudukan kitab suci suatu agama, maka sastra adalah bahasa universal tentang kedamaian untuk semua keyakinan, suku, ras, ideologis, agama, dan bangsa, terutama bangsa Indonesia.

Sawangan, Mei 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)