Kampanye Puisi Dan Politik

Pemilu sangat akrab dengan uang dan janji-janji. Perlahan, janji-janji menjadi tradisi pada setiap kampanye pemilihan pemimpin di negeri ini. perlahan, rakyat pun mulai faham lantas bosan dengan yang diucapkan di panggung-panggung kampanye politik. Apakah memang kampanye itu harus melulu dan identik dengan “koar-koar” dan hanya menghasilkan janji-janji? Janji-janji yang entah ditepati atau tidak ketika sudah terpilih. Ketika rakyat sudah bosan dengan janji-janji maka yang mereka harapkan pada pesta demokrasi di negeri ini adalah pemberian materi (uang) dari setiap calon yang akan dipilih. uang adalah impian dan bayangan pertama ketika musim kampanye tiba. Apakah ini akan menjadi tradisi?
Kenapa para politisi tidak belajar atau bercermin kepada puisi? Kenapa harus puisi?. Kampanye itu sama dengan deklarasi atau pembacaan puisi. Para penyair yang membacakan puisi mempunyai karakter masing-masing yang hal ini tidak menimbulkan kesan merendahkan, menjelekkan, mengintimidasi, bahkan memfitnah para penyair lain. Sepertinya belum pernah terjadi seorang penyair dilaporkan ke polisi lantaran pembacaan puisinya mengandung unsur-unsur negatif di atas. Beda halnya dengan kampanye politik dalam pemilu, banyak sekali hal-hal negatif dan kurang baik yang terjadi. Laporan tentang pencemaran nama baik, fitnah dan hal-hal buruk lain banyak diterima aparat kepolisian. Lalu akan seperti apa jadinya nanti, jika para calon pemimpin negeri ini memulai masa-masa kepemimpinan mereka dengan hal seperti ini?. bahkan –lebih ironis- mereka belum tentu jadi dan terpilih menjadi pemimpin negeri ini.
Jika dalam negeri puisi kita mengenal beberapa tokoh yang suka membaca puisi. Ada almarhum Hamid Djabbar yang begitu atraktif dalam pembacaan puisinya, ada Agus R Sarjono yang menyelipkan humor-humor segar, ada Jamal D. Rahman yang begitu syahdu dan mencoba menyentuh kalbu, ada Mustofa Bisri dengan gaya simpel dan “slengeannya” yang khas, ada Sujiwo Tedjo dengan gaya nyentrik dan nyelenehnya, ada Taufik Ismail yang penuh kewibaannya, ada Sutardji Calzoum Bachri dengan karakter mantra dan puisi cepatnya, dan masih banyak lagi para sastrawan dan penyair yang membacakan puisi tanpa menjelekkan bahkan merendahkan sastrawan dan penyair yang lain.
Kenapa para politisi tidak belajar dan bercermin kepada para penyair? Apakah kreatifitas para politisi sudah hilang, hingga yang ada di benak mereka hanya janji-janji dan materi (uang)? alangkah indah negeri ini, jika para calon pemimpin dengan juru kampanye mereka penuh dengan daya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi. Sepertinya masa-masa kampanye akan terlepas dari kampanye-kampanye yang menyudutkan, menjelekkan, bahkan memfitnah lawan politik, atau yang biasa dikenal dengan istilah “black Campaigne”.
Kampanye yang menggunakan jurus dan rumus pembacaan puisi bisa dipastikan akan jauh dari kampanye hitam. Sebab dalam puisi tidak ada janji-janji. Dalam puisi hanya ada pesan –moral dan mendalam- bagi para pendengar. Bahkan kalaupun ada unsur-unsur dalam puisi yang mencoba menyinggung lawan politik, puisi mencoba membuat mereka (lawan politik) tidak marah dan tersinggung. Begitulah puisi mengajarkan tentang kelembutan terhadap lawan.
Puisi mencoba menyentuh aspek batin terdalam bagi setiap penikmatnya. Jika hal ini bisa digunakan oleh para juru kampanye, bayang-bayang dan harapan kelam masyarakat tentang janji-janji dan uang, sepertinya bisa dikikis dan diredam. Sebab masyarkat tidak disentuh dengan janji-janji dan materi, masyarakat disentuh nurani dan batinnya. Logika simpelnya, jika masyarakat disentuh dengan janji dan materi kepatuhan dan ketaatan mereka hanya sebatas banyaknya uang yang diberi dan janji-janji yang ditepati. Walhasil, jika uang yang diberi habis dan janji-janji tidak kunjung ditepati masyarakat akan goyah kepatuhan dan ketaatannya. Berbeda jika nurani, batin dan rasa mereka yang disentuh, akan ada cinta yang timbul di hati masyarakat. Jika sudah ada cinta kepada pemimpin yang akan dipilih, tanpa ada iming-iming uang dan janji pun masyarakat akan serta merta mendukung dan memilih orang yang dicinta.
Pembacaan puisi mencoba menimbulkan kesan yang mendalam di benak pendengar. Jika boleh disandingkan dengan bahsa politik saat ini, puisi mencoba memberikan citra dan gambaran yang positif. Pun jika hal ini bisa ditiru oleh para juru kampanye, sepertinya akan lebih mengena dan membekas di hati masyarakat ketimbang janji-janji dan uang. kita bisa mencontoh kepada Gusdur. Walau beliau sudah meninggal dunia sekitar 3 tahun yang lalu, namun pengikut beliau masih setia mengikuti ajaran-ajaran bahkan pemikiran beliau, terbukti dengan adanya Gudurian di berbagai daerah. Gusdurian adalah komunitas para pecinta Gusdur.
Cinta salah satu pengikat luar biasa antara satu orang dengan lainnya. Jika calon pemimpin sudah bisa menimbulkan cinta di hati masyarakat, bisa dipastikan tanpa “koar-koar” janji dan uang pun, rakyat akan mendukung. Sebab masyarakat sudah bosan dengan janji-janji yang tidak pernah ditepati. Masyarakat sudah bosan kampanye saling menjelekkan dan merendahkan antar pasang calon pemimpin. Sebab masyarakat ingin bukti. Karena saya, anda, dan mungkin mereka adalah masyarakat yang akan memilih pemimpin bangsa, maka kami ingin anda –calon pemimpin bangsa- menumbuhkan cinta di hati kami. Kami tidak ingin lagi ada kampanye hitam yang saling menjelekkan di sana sini.
Pencitraan bukan dengan menjelekkan lawan. Pencitraan harus penuh dengan cinta dan senyuman. Senyum optimis untuk bersama-sama memajukan Indonesia. Indonesia tercinta. Ya, kami cinta Indonesia.

2014. 

Komentar

  1. sepertinya calon presiden yang berbadan gemuk juga sudah pernah membuat puisi, bahkan membacanya di depan khalayak, sambil menunggangi kudanya itu. menurut sampean gimana kak?. hew...

    BalasHapus
  2. L Noevita: bukan sosok namun lebih kepada penjiwaannya.... he...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)