Tak Habis Membaca Misteri Puisi (Sebuah apresiasi terhadap puisi Rubaiyat Matahari)
Puisi adalah misteri yang tak habis
untuk dikaji. Ia seperti candu yang menimbulkan ekstasi tersendiri bagi para
pembaca, pengkritik, pemerhati, bahkan untuk penyairnya sendiri. lantaran puisi
menimbulkan “ketagihan” untuk terus dikaji maka puisi tak pernah mati. Puisi
adalah keabadian dalam dimensinya sendiri.
Walau puisi masih erat dengan
kesendirian, ia bisa menelusup ke berbagai sisi kehidupan. Hal itu bisa dilihat
dari berbagai tema yang dibicarakan puisi. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa
puisi itu representasi dari berbagai dimensi kehidupan, baik dimensi spritual
maupun emosional manusia. Hingga tak jarang puisi bisa menarik sisi lahir dan
batin manusia. Salah satu puisi yang menarik –dan mungkin tak habis untuk
dikaji- adalah puisi yang berjudul Rubaiyat Matahari.
Rubaiyat Matahari
1
Dengan bismillah berdarah di rahim
sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang
hari
Karena dari november-desember
selalu lahir matahari
2
Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah sepi di jemari awan
Membakar cintaku hingga degup
bintang gemintang
3
Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku menyala
Menantang matahari di lubuk semesta
4
Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di
ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam
kobaran api
5
Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan
Darahku bergaram darahmu bergaram
Menyeduh asin doa di cangkir
kehidupan
6
Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur
gelombang
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan
bintang-gemintang
7
Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak
senja
Antara pohon dan ikan kita adalah
cemara
Mendekap cakrawala di dasar
samudera
8
Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi
9
Di relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela
Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita
10
Dari pintu ke pintu ketukanku
kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di
reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak tamat-tamat membaca cinta di
aliflammim puisi
2002-2003
Interpretasi Bentuk
Puisi Rubaiyat Matahari dibagi menjadi
sepuluh bagian sesuai dengan angka yang tertera. Walau penyair seperti ingin
membagi tiap bagian dalam puisinya, tapi pembagian tersebut tidak menghilangkan
kesatuan isi atau utuhnya puisi, sebab tiap bagian jelas berhubungan bahkan
menjadi penegas dan penjelas bagian-bagian yang lain.
Bentuk puisi di atas menggunakan ritme
sajak dengan memakai pola abab bahkan
aaaa. Dan penyair terlihat sangat
menekankan ritme sajak dalam puisinya ini, ini bisa dilihat dari keseluruhan
puisi Rubaiyat Matahari.
Selain itu ada juga unsur nada yang
ingin diterapkan penyair dalam puisinya ini. Nada, ketukan irama akan terasa
ketika puisi dibaca. Namun sangat disayangkan hanya bagian ketiga saja yang
memiliki metrum yang sama pada tiap barisnya. Bagian yang lain sepertinya
kurang menjadi perhatian penyair dalam menghitung jumlah ketukan pada tiap
barisnya. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut; bagian pertama, ketukan nada baris pertama berjumlah 13,
baris kedua berjumlah 14, baris ketiga 13 dan baris keempat 20. Bagian kedua,
baris pertama berjumlah 11, baris kedua berjumlah 12, baris ketiga berjumlah
11, dan baris keempat berjumlah 15. Bagian ketiga, baris pertama berjumlah 12,
baris kedua berjumlah 13, baris ketiga 12, baris keempat berjumlah 13. Bagian
keempat, baris pertama berjumlah 10, baris kedua berjumlah 14, baris ketiga
berjumlah 9, baris keempat berjumlah 16. Bagian kelima, baris pertama berjumlah
9, baris kedua berjumlah 9, baris ketiga berjumlah 12, baris keempat berjumlah
14. Bagian keenam, baris pertama berjumlah 12, baris kedua berjumlah 16, baris
ketiga berjumlah 12, baris keempat berjumlah 15. Bagian ketujuh, baris pertama
berjumlah 10, baris kedua berjumlah 13, baris ketiga berjumlah 16, baris
keempat berjumlah 13. Bagian kedelapan, baris pertama berjumlah 13, baris kedua
berjumlah 9, baris ketiga berjumlah 14, baris keempat berjumlah 12. Bagian
kesembilan, baris pertama berjumlah 12, baris kedua berjumlah 12, baris ketiga
berjumlah 9, baris keempat berjumlah 11. Bagian kesepuluh, baris pertama
berjumlah 14, baris kedua berjumlah 18, baris ketiga berjumlah 13, dan baris
terakhir berjumlah 18 ketukan. Namun semua ketukan yang tidak sama jumlahnya
tersebut akan memudar dengan sendirinya jika pembaca mengikuti alur persajakan
pada tiap bagiannya. Pembaca sepertinya ingin diajak untuk mengikuti alur sajak
pada tiap barisnya. Disini, terlihat jelas kepiawaian dan kecerdasan penyair
dalam menciptakan puisi ini.
Interpretasi Isi Dan Makna
Ada ungkapan bahwa satu kalimat bisa
menimbulkan ribuan makna, begitupula dengan puisi, satu puisi bisa menimbulkan
ribuan makna dan interpretasi. Setidaknya interpretasi dibawah ini bisa menjadi
bagian dari ribuan interpretasi tersebut.
“Dengan bismillah berdarah di rahim
sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang
hari
Karena dari november-desember
selalu lahir januari”
Jamal D. Rahman penyair kelahiran
Lenteng Timur, sumenep madura, 14 Desember 1967, memulai “Rubaiyat Matahari”
dengan mengedepankan sisi religiusitasnya. Hal ini tidak mengherankan sebab
penyair merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura.
Terlihat pendidikan pesantrennya sangat mempengaruhi syair-syair yang
diciptakannya, salah satunya di “Rubaiyat Matahari”.
Puisi ini seperti menjadi sebuah
refleksi pengalaman batin seorang hamba di hadapan Tuhannya. Dari judul yang
digunakan seperti mengacu dan terpengaruh oleh seorang penyair sufi, Jalaluddin
Rumi, yang juga menciptakan syair yang diberinya nama Rubaiyat. Syair yang
terdiri dari empat baris pada tiap paragrafnya. Pada rubaiyat matahari ini pun
terdiri dari sepuluh bagian yang masing-masing bagian tersiri dari empat baris.
Lalu adakah hubungan antara rubaiyat matahari Jamal dengan syair rubaiyat
rumi?. Hal ini menimbulkan ambiguitas dalam menjawabnya. Tapi setidaknya ada
satu sisi yang memiliki hubungan antara keduanya, yaitu sisi religiusitas. Sisi
kesadaran eksistensi seorang hamba sebagai ciptaan Tuhan.
“Dengan
bismillah”
Jamal mengedepankan keberadaan Tuhan (existence of God) pada syairnya yang
notebene refleksi dan representasi dari dirinya. Menyediakan ruang pada
persoalan teologi
sebagai kerangka dan acuan berfikir –berkarya-, berarti menyediakan ruang pada
rasio kita bahwa Tuhan ikut berperan, berkehendak, -dan mengintervensi, segala
hal pada hidup manusia. Walau, sebagai manusia, akal kita tidak akan pernah
sampai pada maksud yang sebenarnya dari tindakan, kehendak bahkan
intervensi-Nya.
Pada abad ke-19, di barat muncul sebuah
aliran filsafat yang mempunyai perhatian pada hakikat realitas alam. Jika boleh
penciptaan puisi dimasukan pada realitas alam, maka puisi termasuk pada
pembahasan aliran ini.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang
diketahui, yang faktual dan positif. Segala persoalan dan uraian yang berada di
luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan dan karena itu
metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif hanyalah segala yang
tampak, segala yang menjadi gejala.
Lebih lanjut, Herbert Spencer, seorang
filsuf dari aliran ini, berpendapat bahwa segala keterangan tentang dunia ini,
baik itu yang bersifat religius atau metafisik, keduanya menimbulkan hal-hal
yang secara batiniah saling bertentangan. Keduanya ingin memberikan penjelasan
tentang asal mula segala sesuatu. Padahal manusia tidak dapat mengetahui hal
itu.
Oleh karenanya, menurut Spencer, kita
harus mengesampingkan saja “hal-hal yang tidak dikenal” itu (the great unknowable), dan hanya
menyibukkan diri dengan hal-hal yang mungkin bagi kita. Yang harus kita ketahui
adalah apa yang menjadi penampakan saja, gejala-gejala yang telah kita kenal
atau apa yang disajikan pada kita (Spencer, suatu sistem Filsafat Sintesis,
1862-1896). Menurut aliran positivis ini, Tuhan tidak ada dalam suatu gejala
alam.
Sepertinya Jamal ingin mendobrak dan
meruntuhkan teori Spencer dengan apa-apa yang disebut Spencer menyibukkan
hal-hal yang mungkin, jamal menempatkan kemungkinan ini pada posisi Tuhan dalam
hidupnya. Kemungkinan yang didasari atas keyakinannya pada Tuhan. Kemungkinan
yang pasti dalam subjektifitas pribadi manusia –Jamal- sangat mungkin
menempatkan Tuhan pada –apapun- pekerjaan manusia, termasuk berkarya –mencipta puisi-.
Hingga Jamal menempatkan sisi religiusitas (Tuhan) nya pada kalimat pembuka
puisinya ini.
“Berdarah
di rahim sunyi”
Darah identik dengan luka. Sepertinya penyair
ingin menggambarkan tentang keadaan yang luka, dan ini juga terlihat dari kata
selanjutnya “sunyi”. Luka dan sunyi memiliki hubungan yang dekat. Sunyi identik
dengan keadaan sepi, kesendirian, keterasingan bahkan kesedihan. Darah juga
bisa menjadi simbol kehidupan manusia, bukankah ketika darah mengalir di dalam
tubuh manusia itu menampakkan kehidupan?.
Rahim sunyi yang digunakan jamal pada
kalimat awalnya ini bisa juga diinterpretasikan pada proses perenungan,
tafakur, kontemplasi bahkan dzikirnya. Sebab keadaan sunyi ini merupakan
keadaan kondusif bagi seseorang –penyair- untuk merenung dan memikirkan segala
sesuatu lantas dituangkannya lewat puisi. Apakah puisi ini ditulis Jamal ketika
keadaan sunyi lewat perenungannya? Lalu apa yang coba direnungkan oleh jamal? Ini
dijelaskan pada kalimat berikutnya.
“Kueja
namamu”
Melihat kata yang digunakan, mengeja.
Ini bisa diasosiasikan dengan seseorang yang masih belajar, lantaran ia belum
lancar membaca. Maka ia mengeja setiap kata-kata. Ada kesadaran spritual dan
logis bahwa sebagai makhluk ciptaan, Jamal sadar bahwa dirinya masih belum tahu
apa-apa dan masih terus “mengeja”. Namun di sisi lain, ini menampakkan tentang
pengetahuan yang dimilikinya, bukankah ada ucapan ketika seseorang itu semakin
tahu maka ia akan mengatakan ia semakin tidak tahu bahkan tidak tahu apa-apa.
Jamal sadar akan eksistensi ketahuannya, bahwa ia tidak tahu dan masih terus
mengeja dan belajar.
Seperti Tuhan yang mengajarkan Adam,
manusia pertama di bumi, tentang nama-nama. Maka jamal pun mencoba mengeja
(mempelajari) nama-nama. Nama-nama bisa berarti segala sesuatu yang ada di
dunia ini. Bukankah segala sesuatu di dunia ini memiliki nama, bahkan ilmu
pengetahuan sendiri itupun adalah sebuah nama. Nama merupakan simbol dan
representasi dari semua. Simbol bisa menjadi kenyataan pada ketidaknyataan
sekaligus ketidaknyataan pada kenyataan.
Tokoh kamu yang memiliki nama ini
ambigu. Bisa siapa saja. Bisa makhluk (manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda)
bahkan Pencipta makhluk (Tuhan). Namun dari kalimat “mengeja namamu”, sosok dan
tokoh “kamu” yang diceritakan di sini bisa jadi merupakan sosok yang –sangat-
berarti pagi penyair (Jamal). Dilihat dari penulisannya yang tidak menggunakan
huruf kapital maka ini –mungkin- adalah sosok makhluk. Makhluk yang sangat
berarti bagi Jamal.
“Rubaiyat
matahari”
Rubaiyat secara etimologi merupakan
infiltrasi atau kata terapan yang diambil dari bahasa Arab. Al-Roobi’ah yang berarti empat. Dan ini
jelas terlihat dari jumlah baris dari puisinya ini yang berjumlah empat pada
tiap bait.
Sedang dari kata matahari ini bisa
diasosiasikan dan diinterpretasikan dengan simbol waktu, seperti datangnya
pagi, bergantinya hari, datangnya malam dan sebagainya. Bisa juga berarti
sumber kehidupan dan cahaya bahkan matahari bisa diartikan sebagai kekuatan
yang dahsyat.
Lalu siapa tokoh “kamu” yang dimaksud?. Ini
dijelaskan pada kalimat berikutnya.
“Kau
dengar aku menangis sepanjang hari”.
Dari kalimat ini bisa diinterpretasikan
pada sosok yang intens mengetahui tokoh “aku” yang setiap hari bisa tahu “aku”
menangis bahkan hingga menangis sepanjang hari. Tokoh “kamu” bisa istri, anak
atau siapapun, namun lagi-lagi merupakan sosok yang berarti bagi “aku” dan ini
diperjelas dengan kalimat “sepanjang hari”.
Kata menangis yang digunakan terkait
pada kalimat pembuka puisi di atas; darah dan sunyi. Namun, kata tangis pun
bersifat ambigu. Sebab, tangis bisa berarti sedih yang sudah lumrah bagi mayoritas
orang, bisa juga berarti bahagia, karena ada beberapa orang yang saking dan
begitu bahagianya menyebabkan orang tersebut menangis.
“karena
dari november-desember selalu lahir januari”.
Yang bisa berarti perputaran waktu dalam
setahun. Dan ini merupakan kenyataan. Bahwa setelah bulan november dan desember
adalah bulan januari. Ini kenyataan, namun juga merupakan simbol. Simbol yang
menyimpan kata dan makna lain. Kata dan makna lain tersebut bisa saja tentang
perputaran waktu.
Sepertinya Jamal mencoba mendeskripsikan
luka, rasa sedih, kesendirian, bahkan keterasingannya, namun semua rasa itu ia
sandar dan kembalikan kepada Tuhannya. Dan Jamal mencoba pula untuk
menggambarkan proses perenungan hidupnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hingga
ia mengikutsertakan bahkan mendahulukan Tuhan dalam kegiatan dan aktifitasnya.
Jamal mencoba mendeskripsikan luka,
sedih, kesendirian dan keterasingannya kepada tokoh “kamu”. tokoh yang sangat
berarti baginya. Apakah ini semacam rayuan jamal terhadap “kamu” yang sangat
berarti baginya? Ataukah ini penegasan Jamal bahwa tokoh “kamu” benar-benar
berarti baginya?
“Engkaulah
sepi di jemari hujan
Kabar
semilir dari degup gelombang
Engkaulah
api di jemari awan
Membakar
cintaku hingga degup bintang-gemintang”
Dalam filsafat ilmu, segala bentuk
pengetahuan manusia pada dasarnya bersumber dan berkembang dari tiga pertanyaan
dasar. Apa yang ingin diketahui? (ontologi), bagaimana cara memperoleh
pengetahuan? (epistimologi), dan apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
(aksiologi).
Pada bagian kedua puisi ini secara
ontologi penyair sudah mengetahui tentang “kamu” melalui pernyataan “engkaulah sepi di jemari hujan/ engkaulah
api di di jemari awan”. Secara epistimologi penyair mendapatkan pengetahuan
itu dari “kabar semilir dari degup
gelombang”. Penyair mendapat pengetahuan dari sebuah “kabar”. Kabar yang
bisa berarti informasi dan segala aktifitas yang berkaitan dengan pengetahuan
seperti belajar ataupun dari pengalaman. Sementara dari segi aksiologi,
penyairpun menyadari dan mendapatkan nilai dari proses (bahkan hasil)
pengetahuannya untuk “membakar cintaku
hingga degup bintang gemintang”.
Tokoh “kamu” pada puisi ini dilambangkan
dengan sepi ketika hujan. Jamal memang salah satu penyair yang terkenal kuat
dalam permainan metafora. Metafora adalah bahasa atau lambang yang ambigu.
Perlu penafsiran –mendalam- untuk memahaminya.
Apakah jemari hujan melahirkan sepi?.
Jawabannya bisa iya dan tidak. Jika kita
analogikan suasana ketika turun hujan, suasana sepertinya didominasi oleh riuh
dan gaduhnya air hujan. Kemana manusia? Mereka bersembunyi dan berteduh.
Meninggalkan ruang yang lengang untuk hujan bermain dalam sepi. Sepi dari
aktifitas manusia.
Ketika hujan asik bermain di tengah sepi
ada kabar semilir yang disampaikan sebuah kekuatan. Bisa kekuatan cinta, rindu
ataupun kekuatan lain. Kekuatan itu yang memberi kabar tentang tokoh “kamu”
yang digambarkan penyair sebagai sepi ketika hujan.
Pertanyaan selanjutnya adalah; ada apa
dibalik sepinya hujan?.
Selain sepi, tokoh “kamu” juga
digambarkan dengan api di jemari awan. Dilihat dari kata-kata yang digunakan;
sepi di jemari hujan, dan api di jemari awan. Ini semua berhubungan dengan
langit. Sepertinya penyair ingin menggambarkan sosok yang tinggi. Namun
kelihaian penyair untuk menimbulkan tanya pada para pembaca. Sebab tokoh kamu
yang digambarkan itu hanya di jawab dengan sepi dan api.
Jika berhungan dengan langit, maka tokoh
kamu adalah tokoh yang diagung-agungkan,
dipuja, dan tinggi, sekaligus masih misteri dan teka-teki. Namun dari semua
misteri itu sepertinya penyair ingin menceritakan tentang rasa cintanya pada
tokoh “kamu”. Ini terlihat dari petikan kalimat berikut;
“Membakar
cintaku hingga degup bintang-gemintang”.
Bait ini sepertinya ingin menggambarkan
tentang cinta berikut dengan gelombang (efek) yang ditimbulkannya. Efek cinta
dan rindu terhadap tokoh yang masih misteri, lantaran hanya dilambangkan dengan
sepi dan api. Sepi dan api jika bersentuhan langsung memang akan dekat sekali
dengan rasa sakit dan luka. Sepi melahirkan kesendirian dan api melahirkan
panas dan luka bakar. Kadang, cinta memang bisa menimbulkan hal-hal yang
digambarkan penyair, yaitu luka. Luka karena cinta. Bisa karena cinta yang
tidak sampai. Bisa pula karena kerinduan yang dalam akan sosok yang dicintainya
lantaran tidak bertemu-dalam jangaka waktu yang lama.
Di sisi lain, penyair mencoba
menggambarkan kekuatan cintanya pada tokoh “kamu” lewat kata sepi dan api.
Kata-kata yang digunakan menggambarkan dan melambangkan kekuatan, kedahsyatan.
Lihat saja: sepi, jemari, hujan, gelombang, api, awan, membakar, bintang
gemintang.
Sepertinya penyair ingin menggambarkan
tentang rasa rindu yang mendalam (kuat) dalam dirinya pada sosok kamu yang
dicintainya atau mungkin juga penyair ingin menegaskan kepada tokoh “kamu” yang
diajaknya berbicara, betapa ia adalah sosok yang masih misteri dan teka-teki.
Misteri dan teka-teki adalah hal yang
menimbulkan tanya dan penasaran. Ada jawaban yang masih dicari, ada tanya yang
belum selesai dijawab. Sosok kamu sepertinya adalah sosok yang sulit dimengerti
dan difahami, namuan
penyair menangkapnya (mempersonifikasinya) sebagai sosok sepi dan api.
Kemungkinan yang lain, penyair ingin
mencoba mendeskripsikan tentang efek yang bisa ditimbulkan dari rindu dan
cinta, dari sosok yang masih misteri dan sulit difahami.
Pertanyaannya adalah apakah cinta memang
–selalu- hal yang misteri dan menimbulkan rasa yang begitu dahsyat pada hati
dan diri manusia?
“Atas
sepi perahuku bercahaya
Membawa
matahari ke jantung madura
Atas
bara api cintaku membara
Menantang
matahari di lubuk semesta”
Dalam Rubaiyat Matahari ini penyair
kadang mengulang beberapa kata, namun pengulangan tersebut bukan pemborosan
dalam penggunaan kata melainkan penegasan dan penguatan terhadap kalimat dalam
puisi ini, seperti pada bagian ke dua “engkaulah
sepi di jemari hujan dan engkaulah
api di jemari awan”. Di sisi lain, hal ini memperlihatkan kepiawaian dan
kecerdasan penyair (Jamal) dalam mencipta puisi, sebab ia tidak terjebak dalam
pengulangan kata yang itu-itu saja.
Pada bagian kedua ini penyair
menggunakan kata sepi. Sepi bisa digambarkan sebagai suasana yang tidak ramai
dan gaduh. Tidak ada orang lain. Hening. Sendiri. suasana seperti ini sangat
tepat untuk dijadikan waktu untuk meditasi, merenung. Dalam perenungan itu
biasanya seseorang menanyakan dan bertanya tentang sesuatu. Dalam keadaan
hening itu jawaban biasanya akan lahir dari apa yang kita tanyakan. Jawaban
diri sendiri atas pertanyaan diri sendiri. karena tidak ada unsur-unsur
penggangu dalam mencari jawaban atas perenungan. Pertanyaannya, apakah memang
sepi yang –selalu dan bisa- melahirkan puisi? Apakah memang perenungan itu
selalu dalam keadaan sepi dan hening?
Penyair menemukan sesuatu atas proses
“sepi’nya tersebut pada perahu yang bercahaya. Apakah penyair ketika menulis
ini sedang berada di perairan, laut, sungai, atau danau? Sepertinya tidak. Kata
perahu yang digunakan penyair adalah metafor yang melambangkan sebuah
kendaraan, alat perjalanan, kendaraan yang digunakan untuk mempercepat sampai
ke tujuan.
Jika dihubungkan dengan kata-kata
sebelumnya, sepertinya kalimat ini bisa diartikan sebagai hasil dari sebuah
perenungan dan “sepinya” penyair. Lantaran proses perenungannya, pencarian
jawaban atas pertanyaan tentang hidupnya, penyair menemukan jawaban yang
membuatnya lebih bercahaya, lebih tahu. Dengan kata lain, karena perenungan dan
pemikiran akan hidupnya maka perjalanan (perahu) hidup itu akan bercahaya. Terarah.
Bukankah sesuatu yang bercahaya itu membuat segala sesuatu yang berada di dekatnya
menjadi terlihat dan jelas? Ini sama seperti yang dikatakan Descartes bahwa
hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang sia-sia. Jika diubah, hidup yang
dipikirkan adalah hidup yang tidak sia-sia, bermanfaat.
Ada penggambaran tentang proses hidup.
Tentang jalan dan tujuan hidup. Yang semuanya itu harus direnungkan dan dipikirkan
(dikritisi). Yang pada akhirnya membuat hidup itu bermanfaat. Dengan adanya
tujuan yang jelas. Jalan hidup yang jelas. Semuanya itu akan melahirkan
manfaat, seperti yang dikatakan dalam syair arab; manusia yang terbaik adalah
manusia yang bermanfaat untuk orang lain.
Ada tujuan hidup yang tidak egois. Tidak
mementingkan diri sendiri. walau diawali dari kesendirian dalam proses “sepi”,
perenungan. Tapi penyair mencoba menjelaskan tentang makna hidup yang harus
bermanfaat. Menjadi cahaya. Cahaya yang bukan untuk dirinya sendiri. karena
sifat cahaya akan menyinari segala sesuatu yang berada di sekitarnya.
Perahu yang digunakan penyair dalam
puisinya ini, seperti yang dijelaskan si atas, bisa dianalogikan sebagai alat,
jalan, atau media dalam menempuh dan menjalani kehidupan. Alat yang digunakan
dalam menempuh kehidupan itu, penyair harapkan adalah alat yang bisa membawa
“matahari”.
Ada penegasan kembali tentang alat hidup
yang digunakan. Jika matahari yang diangkut, dibawa, maka kendaraan (alat) yang
digunakan adalah sesuatu yang luar biasa kuat. Ada metafor yang ingin
melambangkan tentang ketabahan, kesungguhan, kesabaran, kekuatan, yang semuanya
itu menjadi modal dalam mengarungi kehidupan. Bukankah segala sesuatu yang
berada dekat dengan matahari bisa terbakar? Namun yang diambil disini adalah
sifat dan karakter mataharinya.
Penyair mencoba menggambarkan kehidupan
itu seperti perantauan. Pengembaraan. Dan memang seperti itulah hidup. Dari
tiada menjadi ada, lahir kemudian tumbuh dan suatu saat nanti akan kembali
menjadi tidak ada, secara wujud. Ini digambarkan penyair lewat kata jantung
madura.
Jamal D rahaman adalah penyair kelahiran
Madura. Madura adalah tanah kelahirannya. Tempat asalnya. Dari ketiadaannya, di
Maduralah, awal adanya. Hingga ia menggambarkan tempat kembali dengan tanah
kelahirannya, Madura.
Ada ajakan perenungan tentang hidup
sebagai pengembaraan dan perjalanan merantau. Tentang bagaimana manusia harus
sadar diri tentang asalnya, penciptaannya, ketiadaannya, dan lain sebagainya.
Dan semuanya itu akan kembali pada satu titik yang disebut ketiadaan. Namun
sebelum kembali pada ketiadaan tersebut, penyair mengajak untuk menjadikan
hidup kita penuh cahaya. Bermanfaat untuk orang lain.
Kenapa kata madura yang digunakan? Bisa
jadi ini melambangkan tentang metode dakwah dan pendekatan emosional manusia
yang dimulai dari orang-orang terdekat; orang tua dan keluarga terdekat di
tempat kita dilahirkan.
Dari bait ini masih ada sukuisme.
Fanatik kesukuan yang dimiliki penyair. Hal ini sangat wajar. Secara
primordial, kebanggaan akan suku, terutama tanah kelahiran, memang menjadi
kebanggaan tersendiri bagi anggota suku tersebut. Walau di sisi lain, hal
tersebut akan mengikis rasa nasionalisme bernegaranya. Namun yang perlu dicatat,
penyair tidak lupa akan tanah kelahirannya. Walau ia –kini dan entah sampai kapan-
sedang merantau. Sepeti burung yang pergi terbang ketika pagi hari dan akan
kembali ke sarangnya ketika sore hari. Ini semua bisa disebabkan oleh cinta. Cinta
penyair –yang dijelaskan di atas- terhadap tokoh “kamu” yang masih misteri.
Rasa cinta ini disinggung lagi pada kalimat berikut;
“Atas
bara api cintaku menyala”.
Cinta penyair yang menyala, berkobar dan
membakar seperti api. Namun cintanya pada bait ini sepertinya lebih mengarah
pada cintanya akan tanah kelahiran, keluarga dan orang tua. Hal ini jika
dihubungkan dengan kalimat sebelumnya.
Namun disamping itu mengingatkan akan proses hidupnya sebagai makhluk
yang sedang merantau. Berjuang
mendapatkan cita-cita. Menjadi pribadi yang bermanfaat untuk semua, terutama
orang-orang terdekat.
Perjuangan memang butuh pengorbanan.
Termasuk dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Penyair menyadari hal
ini, hingga ia;
“Menantang
matahari di lubuk semesta”.
Ada penggambaran akan perjuangan. Berani
dan terkesan nekat, karena menantang matahari. Bukankah jika kita mendekati
matahari maka tubuh kita akan terbakar karena saking panasnya matahari. Namun
penyair bukan seorang yang berani untuk berjuang dalam menjalani kehidupan atas
dasar nekat. Perjuangan hidupnya didasari atas dasar perenungan, pemikiran,
cinta, yang semuanya itu membuat penyair siap menjalani hidup sekalipun harus
menghadapi ujian, menantang matahari. Ini bukan kenekatan tapi ini hidup yang
penuh perhitungan matang.
Ujian dan rintangan bukan lagi menjadi
persoalan jika manusia yang bersangkutan sudah siap dan matang akan tujuan
hidupnya. Penyair dalam hal ini ingin mengetuk pintu kesadaran manusia akan
proses dan tujuan hidupnya, yaitu bermanfaat. Dan jikapun proses itu berat
lantaran harus menantang matahari, semuanya itu dianggap sebagai pengorbanan
yang memang harus dilaksanakan. Bukankah perjuangan –meraih sesuatu- itu butuh
pengorbanan?
Pertanyaannya, apakah untuk mendapatkan
sesuatu itu harus berkorban terlebih dahulu? Berkorban itu identik dengan
kehilangan dan menyerahkan sesuatu yang dimiliki, bisa harta, tenaga, waktu,
pikiran, bahkan nyawa. Adakah perjuangan yang tidak membutuhkan pengorbanan?
Di sini, penyair mencoba menyentuh aspek
psikologis manusia. Tentang kesiapan diri, kesadaran diri, cita-cita,
optimisme, pantang menyerah dan sifat positif lainnya.
Kesiapan diri maksudnya mempersiapkan
apa saja yang dibutuhkan untuk menjalani hidup. Dalam hal ini ada unsur
pengorganisasian, yaitu planning.
Rencana yang matang. Sementara Kesadaran diri, maksudnya sadar akan hakikat
hidup dan posisi sebagai makhluk (manusia). Sedangkan cita-cita adalah tujuan
hidup. Orang yang mempunyai tujuan dalam perjalanannya akan terarah, sebab ia
akan fokus pada jalan yang mengantarnya menuju tempat tujuan. Sikap pantang
menyerah, maksudnya dalam hidup itu selalu ada cobaan dan ujian. Seperti dalam
ajaran Islam, bahwa Tuhan akan selalu menguji hamba-Nya ketika sudah mengatakan
beriman. Hal ini dimaksudkan sampai sejauh mana kualitas keimanan hamba tersebut.
Begitu juga dalam hidup, ketika ada ujian (masalah) maka kualitas hidup orang
tersebut akan diuji, apakah akan bertambah baik atau bertambah buruk.
Seorang Sosiolog pernah mengatakan bahwa
hidup adalah perpindahan dari satu ujian (masalah) ke ujian (masalah) yang
lain. Yang diperlukan adalah mental juara. Mental untuk membuat kualitas hidup
menjadi lebih baik. Namun jangan pernah takut dengan ujian (masalah) yang
datang, sebab Tuhan tidak menguji hamba diluar batas kemampuan hamba tersebut.
Jadi, ketika ada masalah, maka sebenarnya manusia yang bersangkutan mampu untuk
mengatasi dan menyelesaikannya. Proses penyelesaiainnya inilah yang nantinya
akan membawa manusia pada kualitas yang lebih baik, lebih dewasa dalam berfikir
dan bertindak, yang pada akhirnya menjadi bijaksana, penuh hikmah. Bermanfaat
untuk orang lain.
Penyair menyadari ini dengan
ditegaskannya lewat kata “menantang matahari”. Walau matahari sekalipun yang
ditantang, ada kesadaran dalam diri penyair sebagai manusia, untuk menghadapi
tantangan, menyelesaikan ujian dan permasalahan.
“Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladangladang sunyi
Aku
bakar langit temaram
Bersiasat
dengan bayangmu dalam kobaran api”.
Laut
memang sering menjadi tema dalam penulisan puisi, termasuk dalam “Rubaiyat Matahari”. Bagi jamal yang
kelahiran pulau Madura nuansa serta budaya Madura sepertinya sangat mempengaruhi proses penciptaan
puisinya. Lihat saja dari bait di atas,
kata-kata seperti laut dan garam, semua itu sangat dekat dengan keadaan
alam Madura. Keadaan alam, budaya tempat kelahiran memang –baik langsung
ataupun tidak- mempengaruhi seorang
penyair dalam penciptaan puisinya.
Dilihat
dari kata yang digunakan; laut, lagi-lagi, penyair menyuguhkan sesuatu yang misteri.
Bukankah laut merupakan
salah satu wujud dari misteri? Namun seperti diterangkan pada bait sebelumnya. Kata laut yang digunakan
penyair sepertinya ingin mengarahkan pembaca pada sebuah perjalanan,
perjalanan hidup. Bukankah
pernah ada ungkapan yang mengatakan bahwa hidup itu seperti mengarungi lautan?
“Aku
peras laut jadi garam”.
Ada
ungkapan logis dari kalimat ini. Garam memang terbuat dari air laut yang
mengalami proses pengeringan di tambak-tambak hingga menghasilkan butiran-butiran garam. Jamal yang merupakan
keturunan Madura, dan dekat sekali dengan hal ini, memahami hal itu.
Interpretasi
yang lain adalah ada penggambaran tentang proses dari sesuatu menjadi sesuatu, mengolah bahan menjadi bahan,
atau mungkin dari tiada
menjadi ada. Dari yang abstrak dan misteri menjadi nyata dan real.
Penggambaran tentang mimpi,
cita-cita yang tidak hanya ada dalam bayang apalagi angan-angan.
Bukankah beda antara mimpi
dan angan-angan? Penyair sadar apa yang ia ucapkan. Peras laut menjadi garam. Proses yang dilakukannya dalam memeras
laut adalah proses dan langkah nyata. Logis, karena ketika laut (air laut)
diproses –lewat media tambak dan pengeringan oleh sinar dan panas matahari- pada
akhirnya akan menghasilkan butiran-butiran garam. Penggambaran yang logis antara tujuan yang jelas dengan apa yang dilakukan dan
penggunaan bahan-bahan apa
saja yang diperlukan
sudah jelas pula. Hal ini merupakan satu indikator
tentang konkritnya sebuah proses.
Kata
peras yang digunakan adalah indikasi tentang sebuah proses yang membutuhkan tenaga
dan potensi
manusia. Jika dianalogikan,
ketika
pakaian basah
diperas, hal
tersebut adalah proses
untuk mempercepat keringnya pakaian tersebut agar bisa digunakan kembali.
Proses percepatan itu sama halnya dengan efisiensi dan efektivitas. Efektivitas dan efisiensi dalam kerja seseorang terutama
dalam mencapai tujuan, cita-cita dan mimpinya, membutuhkan pendayagunaan
potensi yang ada dalam dirinya, terutama otak dan tenaga.
Jika
melihat sekilas –tanpa melihat lebih dalam lagi-
“memeras laut” adalah hal yang masih abstrak.
Namun metafora –yang
abstrak- ini bisa menyatakan bahwa hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin.
Seperti Napoleon Bonaparte yang mengatakan bahwa “segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin.” Ini seperti paham relativitas.
Selain
kerja otak dan fisik, penyair juga menyentuh aspek psikologis manusia.
Ada rasa optimis yang ingin
ditanamkan pada dirinya, yaitu tokoh “aku”. Jika dari sudut pandang teori pendidikan, ada 3 ranah
yang menjadi lingkup ranah pendidikan pada diri manusia, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Aspek kognitif adalah aspek
logika dan pemikiran manusia. Afektif adalah sikap dan rasa manusia, sedang psikomotorik adalah ruang gerak (pergerakan) manusia.
Manusia
yang menggunakan seluruh potensinya secara optimal maka apapun akan menjadi mungkin. Seperti dalam bahasa inggrisnya, impossible, jika dipisah menjadi I’m possible yang berarti saya itu mungkin.
Ketidakpastian
harus diiringi dengan optimis. Optimis itu memuat nilai-nilai keyakinan,
pantang menyerah dan penananaman jiwa pemenang dalam menghadapi masa depan yang
masih misteri. Ya, masa depan adalah hal misteri. Kepastian hanya milik masa lalu, sedang ketidakpastian itu milik masa depan. Tapi bukan tidak
ada kemungkinan untuk merubah masa depan setidaknya seperti yang kita inginkan,
harapkan, cita-citakan, dan
impikan
lewat proses “perubahan” saat ini.
“Mengasinkan
hidupmu di ladang-ladang sunyi”
Proses
kerja di atas (otak, otot serta optimisme) jika dianalogikan dengan proses
memasak adalah bahan-bahan, bumbu yang dibutuhkan dalam memasak. Bumbu-bumbu
yang diperlukan agar menghasilkan masakan, makanan yang lezat untuk dikonsumsi.
Penyair
menggunakan “mengasinkan hidup” bisa diinterpretasikan sebagai membumbui hidup
yang pada akhirnya akan menghasilkan hidup yang “lezat” dan di sini adalah hidup yang bermanfaat. Jika
hidup itu adalah perjalanan, pengembaraan, maka penyair mempercayai ada kehidupan setelah
kehidupan di dunia ini. Dan seperti ajaran serta keyakinan penyair yang sangat
kental dengan ajaran agama (pesantren) maka hidup yang dimaksud adalah akhirat.
Lalu kapan kata manfaat itu
bisa digunakan jika manfaat itu –hanya- bisa dirasakan setelah kehidupan di dunia ini?
Di
sinilah letak pemahaman (pengetahuan) penyair. Manfaat itu harus diupayakan terealisasi baik di dunia ini (proses) dan akhirat. Walau
penyair ingin menekankan bahwa proses kehidupan ini untuk kehidupan yang lezat dan nikmat nanti di akhirat. Ada penggambaran
idealisme (keseimbangan) di dalamnya, antara dunia dan akhirat.
“Di
ladang-ladang sunyi”
Penggambaran
tentang kehidupan individual manusia. Ruang privasi. Ruang yang memberikan kemerdekaan dan
hak penuh pada diri manusia untuk berbuat apa saja terhadap dirinya. Ada
keseimbangan antara subjektivitas dan objektivitas sekaligus.
Dalam ajaran Islam, jika
seseorang meninggal dunia maka dirinya sendirilah yang menanggung semua akibat
dari perbuatannya di dunia.
“Mengasinkan
hidupmu di ladang-ladang sunyi”
Pada
kalimat ini penyair ingin menekankan tentang proses perenungan
dan pemikiran akan hidup. Hidup ibarat memasak. Perenungan dan pemikiran adalah bumbu sekaligus proses pengolahannya, yang
sekali lagi, pada akhirnya menjadikan hidup menjadi lezat, nikmat dan penuh manfaat.
“Aku
bakar langit temaram.”
Lagi-lagi
ada proses abstraksi, ketidakmungkinan menuju proses kemungkinan dan nyata.
Dari kata yang digunakan; laut pada kalimat sebelumnya, dan pada kalimat ini, kata yang digunakan adalah
langit. Kedua kata tersebut mengandung sifat yang hampir sama, yaitu misteri. Keduanya sama-sama misteri, wujudnya luas
bahkan mungkin tidak terbatas.
Langit
temaram adalah suasana ketika langit tidak begitu terang dan juga tidak gelap.
Temaram berada antara terang
dan gelap. Ada penggambaran tentang yang belum jelas, samar, agar diperjelas.
Sesuatu yang belum jelas, remang, dan belum diketahui –dikuasai- secara jelas (sepertinya penyair hendak mengatakan) agar hal itu dipelajari terus menerus agar dikuasai
dan menjadi jelas. Di sini, ada penekanan tentang proses belajar yang terus
menerus.
Dari
kalimat membakar langit temaram, penyair mencoba untuk menghilangkan temaram,
ketidakjelasan, ketidakpastian, menjadi terang, jelas dan mungkin. Dan proses
kejelasan, menjadi terang ini diperkuat dengan kata yang digunakan, yaitu; api.
Kata api berkonotasi dan dekat dengan cahaya, penerang.
Ingin
diperjelas disini, penyair bukan ingin menghilangkan sesuatu tapi memperjelas
sesuatu, walau kata yang dipakai adalah bakar, yang jika ditelusuri pembakaran adalah proses membakar sesuatu yang pada akhirnya
menjadikan sesuatu
yang dibakar itu menjadi abu, dan lama-kelamaan menghilang. Tidak, penyair
tidak ingin menghilangkan tapi memperjelas.
Yang ingin dihilangkan adalah remang, dan ketidakjelasan itu.
“Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api”
Kata
siasat dekat sekali dengan taktik, kecerdasan dan kecerdikan. Lagi-lagi ini adalah penggambaran tentang proses hidup
yang diiringi perenungan, pemikiran, pembelajaran terus menerus, yang pada
akhirnya dapat
menimbulkan sikap bijak, atau pengambilan hikmah dari
tiap kejadian.
Tokoh
“kamu” adalah tokoh yang masih misteri(us) bisa siapa dan apa saja. Namun tokoh
kamu ini adalah tokoh yang mempunyai peran vital, berpengaruh dan mempunyai arti bagi penyair.
Kata bayang ini jika
dianalogikan adalah penggambaran ketika seseorang jatuh cinta.
Ketika
seseorang jatuh cinta maka orang yang dicintainya akan terus hadir walau hanya
dalam bentuk bayang dan gambaran dalam fikiran.
Dalam
kobaran api bisa berarti hal yang menggebu-gebu. Perasaan yang sungguh-sungguh, fundamental, bahkan mungkin esensial. Bisa juga kalimat di atas
berarti karena saking terpengaruh dan selalu terbayang dengan sosok “kamu” maka tokoh “aku” terus mencari cara –entah – untuk menghindar atau terus mempertahankan bayang tokoh “kamu”. Menghindar karena kobaran api yang panas dan membakar
realitas-realitas
yang hadir atau mempertahankan bayang itu sendiri. Ada dilema pada kejadian ini.
“Batu karam perahu karam
Tenggelam
di rahang lautan
Darahku
bergaram darahmu bergaram
Menyduh
asin doa di cangkir kehidupan”
Sikap
optimis yang terlalu (berlebihan) bisa menyebabkan seseorang menjadi ambisius. Pribadi yang keras, tegas karena sudah mengetahui
tujuan hidup tidak serta merta akan lurus dan lancar dalam
perjalanannya. Ia akan mengalami
kegoyahan.
Pribadi
dan hidup bahkan jalannya akan mengalami dengan apa yang
disebut kegoyahan
(ujian).
Penyair ingin mengingatkan
tentang salah satu fitrah manusia, yaitu sikap ketika menghadapi perubahan.
Ketika menghadapi sesuatu
yang berbeda dan berubah, manusia ada yang siap ada yang
tidak, ada yang menerima dan berusaha menyesuaikan diri, ada yang tidak.
Seperti iman pada diri sseorang yang kadang naik kadang
turun. Penggambaran tentang posisi manusia yang elastis dan
tidak stagnan.
Manusia
tetaplah manusia, walau ia makhluk yang paling sempurna
tetap merupakan makhluk yang terbatas dan tempatnya salah dan lupa. Ada pesan tentang kesadaran diri. Diri yang sadar, sadar
akan manusia dalam dirinya. Namun yang terpenting adalah ada potensi luar biasa pada diri
manusia.
Ketika
manusia berada dalam keadaan goyah, maka manusia harus sadar.
Sadar untuk bangun dan
bangkit. Tidak terpuruk.
Tetap melanjutkan hidup.
Ketika manusia sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas, tempat salah dan lupa, ketika manusia goyah, penyair
mencoba mengingatkan bahwa manusia bisa jatuh dan tenggelam, terpuruk dan menyesal.
Namun penyair mengingatkan pula bahwa
manusia tersebut tidak jatuh ke dasar lautan.
Manusia (yang
jatuh) hanya berada di
rahang lautan. Bukankah rahang itu masih berada di area mulut, yang
bisa saja terbuka, kapanpun dan dimanapun, dan ini memberikan jalan untuk
manusia keluar dari mulut itu.
Ada
pesan “jangan terpuruk” ketika berada dalam kesalahan, goyah, masalah, ujian
dan sebagainya. Bukankah ketika kita ada masalah, diibaratkan dengan 1
pintu kebahagiaan tertutup, masih ada pintu-pintu lain yang –masih bisa-
terbuka. Pintu kebahagiaan.
“Darahku
bergaram darahmu bergaram.”
Darah
itu aliran kehidupan. Jika penyair mengatakan darah bergaram, maka seperti yang
dijelaskan diatas, ada proses sebelum menjadi garam. Atau mungkin ini
penggambaran tentang hidup yang sudah digarami, dibumbui, hingga ia menjadi hidup
yang lezat dan nikmat. Penyair menyatakan darahnya sebagai
tokoh “aku” juga darah tokoh “kamu” sudah bergaram. Hidup mereka (tokoh aku dan
kamu) dibumbui. Dibumbui untuk apa? Analogi tersebut bisa kita kembalikan pada
masakan. Masakan yang dibumbui bertujuan untuk membuatnya jadi masakan yang
layak dan pastinya enak, lezat untuk dimakan. Walau mungkin rasanya beda. Sebab
rasa itu masalah subjektif dan relatif. subjektif karena rasa segala sesuatu
tergantung dan kembali kepada yang merasakan (pelaku). Tokoh aku dan kamu bisa
jadi merasakan hidup yang yang dibumbui namun mereka merasakan hal tersebut
dengan rasa yang berbeda. Subjektifitas terhadap rasa. namun esensi dari hal
ini adalah bahwa hidup setiap orang (tokoh kamu dan aku) selalu dibumbui baik
itu dengan masalah, ujian, dan kejadian-kejadian lain yang semuanya itu
merupakan bagian dari pembumbuan hidup.
Untuk apa proses pembumbuan tersebut? Penyair
menjawab itu pada kalimat berikutnya, yaitu; menyeduh asin doa di cangkir
kehidupan. Ada sisi religiusitas, metafisik dan bersifat ketuhanan lagi yang
disentuh penyair. Kata doa yang digunakan cukup mempertegas hal ini.
Menyeduh asin doa. Dari kata yang
digunakan, lagi dan lagi, penyair mempertegas bahwa kehidupan itu adalah sebuah
proses. Proses adalah membuat, mengerjakan sesuatu untuk menjadikan sesuatu.
Penyair menggunakan kalimat menyeduh asin doa, untuk mempertegas kedudukan,
posisi dan eksistensi dirinya (existence of human) terhadap eksistensi
Tuhan (Existence of God).
Doa itu harapan. Keinginan yang
diucapkan seorang hamba pada Tuhannya. Ada keyakinan yang mendalam pada diri
penyair akan “intervensi” Tuhan pada dirinya. Ada kesadaran akan keterbatasan sebagai makhluk. Dan ini terlihat dari doa-doa yang diucapkan.
Kenapa penyair menggunakan kata asin
untuk menyandangkannya pada kata doa? Kenapa tidak manis, rasa yang disukai
hampir kebanyakan orang? Kenapa tidak pahit? Sepertinya penyair ingin
menempatkan posisi doa itu pada rasa asin karena mengikuti kata-kata yang
digunakan pada bait sebelumnya. Ada konsistensi pada syair ini. Konsistensi
penyair yang menyatakan bahwa hidup adalah proses “pembumbuan” agar
menghasilkan hidup yang “lezat”. Hanya penyair tidak menegaskan tentang kapan
hidup bisa dikatakan atau dirasakan “lezat” itu, apakah ketika hidup di dunia
ini atau kehidupan setelah di dunia ini (akhirat)?
Apakah rasa doa itu memang asin?
Bukankah setiap doa seorang hamba itu pasti akan dikabulkan Tuhannya? Bukankah
ketika doa seorang hamba dikabulkan akan menimbulkan rasa senang, dan rasa
senang itu jika dianalogikan dengan rasa adalah dengan rasa manis, dan kebalikan
dari itu adalah rasa pahit? Penyair begitu memperhitungkan kata-kata yang
digunakan. Dia tidak menggunakan kata manis, karena, sadar atau tidak, doa itu
ada yang langsung dikabulkan ada yang tidak. Posisi kesadaran akan proses dan
waktu dikabulkannya doa seorang hamba itulah yang akhirnya membuat penyair
menggunakan kata asin. Dia tidak menggunakan kata pahit karena dia meyakini
bahwa doanya pasti terkabul. Tidak juga menggunakan kata manis, karena dia juga
sadar bahwa doanya tidak langsung terkabul.
Dengan kata lain, penyair ingin
menggambarkan bahwa doa-doa yang diucapkan seorang hamba adalah tabungan
seorang hamba. Yang kapan saja bisa digunakan untuk memberinya tenaga, semangat
bahkan nafas yang lebih dalam proses kehidupan ini.
“Karena
laut menyimpan teka-teki
Di
puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Karena
layar hanya selembar sepi
Di
puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang”
Penyair menyadari tentang kemisteriusan
dan ketaka-tekian laut, hingga ia menyatakan dan menegaskan tentang hal ini
pada bait selanjutnya “karena laut
menyimpan teka-teki”. Ya, memang laut menyimpan begitu banyak teka-teki.
Sebagai manusia yang terbatas penglihatannya, maka apa-apa yang dilihatnya pada
laut hanya yang tampak saja (seperti ombak dan air laut pada permukaannya).
Kedalaman dan apa-apa yang ada di dalam laut, mata kasat manusia tidak bisa
melihatnya. Laut sering menjadi tema dalam penciptaan puisi, terutama puisi
Indonesia. Disinilah sepertinya kelebihan seorang penyair, melihat sesuatu yang
masih misteri dan coba diungkapkan dan gambarkan tentang kemisteriusan tersebut
lewat kacamata penyair lewat puisi-puisinya.
Ketika penyair menyadari bahwa laut adalah
misteri dan penuh teka-teki, maka penyair penggunakan laut tersebut untuk
merenung. Menggunakan daya fikir dan kreasinya untuk menjawab dan menggunakan
teka-teki tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dan pada Rubaiyat Matahari
ini, penyair menggunakan kemisteriusan tersebut untuk merenungi salah satu
unsur yang ada pada laut, yaitu debur gelombang.
Debur gelombang juga memiliki
interpretasi yang beragam. Gelombang bisa berarti sebagai kekuatan yang
dahsyat, irama –atau bahkan musik- yang dilahirkan laut, bisa juga berarti
segala hal yang membuat manusia terombang ambing (dalam hal ini; masalah, ujian
hidup), dan sepertinya hal terakhir inilah yang ingin direnungi oleh penyair.
Setiap kejadian dan fenomena yang dialami.
Setiap fenomena (kejadian alam, atau
kejadian yang dialami manusia pada kehidupannya) adalah bahan perenungan bagi
seorang penyair. Perenungan atas kemisteriusan (eksistensi, kausalitas dan
sebagainya) yang mengejawantahkan jawaban penyair atas semua fenomena misteri
lewat puisinya.
Semua perenungan itu bisa dikatakan
pragmatis, karena memang mencari jawaban tentang keterkaitan fenomena-fenomena
misteri yang penuh teka-teki dengan kehidupan yang dialami. Perenungan penyair
pada Rubaiyat Matahari ini dikaitkan dengan puncak suara tokoh “kamu”. Tokoh
kamu yang juga misteri, tidak jelas siapa. Hanya bisa diinterpretasikan sebagai
tokoh atau sosok yang berpengaruh bagi penyair, bisa orang yang disayangi dan
dicintai, bisa juga sebaliknya. Karena pengaruh itu bisa pengaruh baik, bisa
juga pengaruh buruk.
Pada kalimat berikutnya lagi-lagi
penyair masih menggunakan kata yang berhubungan dengan laut. Penyair
menggunakan kata layar. Layar yang identik dengan perahu. Layar yang menjadi
pusat kekuatan perahu untuk bergerak di lautan. Kekuatan untuk mengarungi
lautan. Lautan yang bisa digambarkan sebagai proses perjalanan kehidupan.
Kenapa layar yang digunakan penyair
hanya selembar sepi. Sepi yang identik dengan sendiri, kesendirian. Bukankah di
kehidupan ini kita tidak sendiri? ada orang lain –yang mungkin- bisa membantu
atau menemani “pelayaran” kita? Sepertinya penyair ingin menegaskan posisi
pribadi manusia sebagai individu yang bertanggung jawab pada hidupnya sendiri. Namun
sepi bagi penyair bukan sikap egois tidak peduli dengan orang lain bahkan tidak
memperdulikan eksistensi yang lain, sepi bagi penyair adalah proses perenungan.
Lagi-lagi, penyair sepertinya ingin mengedepankan proses perenungan akan hidup.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa
perenungan ini atau apa manfaat perenungan ini? Hal ini dijawab penyair lewat
kalimat berikutnya, “dipuncak doamu
kukibarkan bintang gemintang”. Perenungan ini untuk mengibarkan bintang
gemintang. Bintang gemintang yang mengandung cahaya. Cahaya yang terang dan
indah. Bukankah bintang itu identik sebagai sesuatu yang indah dan penghias
malam. Dan keindahan itu dikibarkan penyair pada puncak doa. Puncak doa ketika
doa –mungkin- sudah terkabulkan.
“Pohon
cemara ikan cemara
Menggelombang
biru di riak-riak senja
Antara
pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap
cakrawala di dasar samudera”
Pada bait ini penyair mengawali
kalimatnya dengan pohon cemara. Pohon yang memiliki bentuk yang khas. Seperti
bentuk segitiga yang menjulang tinggi. Pohon yang sering digunakan umat
kristiani pada perayaan natal. Pohon cemara yang bisa dikatakan lambang dan
simbol kebahagiaan, keceriaan.
Apakah ada kaitan antara kata cemara dan
bahagia? Entahlah, namun seringkali kata cemara yang notabene adalah nama pohon
sering digunakan untuk menyatakan kebahagiaan, seperti keluarga cemara yang
berarti keluarga yang bahagia. Dan kali ini kebahagiaan (kata cemara)
disandangkan penyair dengan ikan. Apakah ada ikan cemara? Atau ini hanya ingin
menggambarkan tentang ikan yang bahagia?
Tidak ada definisi yang tepat ketika
menginterpretasikan sebuah hal atau fenomena. Begitu pula dengan kata cemara
terutama ikan cemara ini. Namun sepertinya penyair ingin menggambarkan tentang
sebuah rasa bahagia. Dan sepertinya ini ada kaitannya dengan bait sebelumnya “mengibarkan bintang-gemintang”.
Ketika bahagia datang, maka kehidupan
akan terlihat dan terasa indah. Apakah hal ini berkaitan dengan warna biru yang
dikatakan penulis pada kalimat berikutnya, “menggelombang
biru di riak-riak senja”.
Warna biru identik dengan sesuatu yang
bersifat luas dan tenang. Sepertinya ketenangan ini yang ingin digambarkan
penyair ketika seseorang merasa bahagia, sebab bahagia itu bisa menimbulkan
ketenangan dalam hidup manusia. Atau mungkin penyair malah ingin menenekankan
aspek ketenangan itu sendiri. ketenangan yang bergelombang, memenuhi rasa pada
diri manusia.
Jika memang ketenangan itu yang ingin
digambarkan penyair, maka tepatlah kata yang digunakan penyair selanjutnya;
riak-riak senja. Karena senja identik dengan suasana damai dan tenang. Ketika
hiruk pikuk dan panasnya siang akan berakhir maka senjalah yang menjadi tanda
kelahiran hal tersebut. Bisa dikatakan, ketika senja lahir maka hiruk pikuk dan
panas siang akan berakhir.
Lalu di manakah posisi manusia ketika
ketenangan itu ada? Penyair menjawabnya pada kalimat berikut; “antara pohon dan ikan kita adalah cemara”.
Posisi manusia hanya sebagai cemara. Cemara simbol bahagia. Bahagia yang
melahirkan damai dan tenang. Maksudnya, penyair ingin menggambarkan bahwa
kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan itu berada antara pohon dan ikan. Ini
berarti bahwa kebahagiaan manusia itu masih relatif dan tidak tetap, karena
masih berada di antara dua hal, ikan dan pohon. Jika goyang sedikit maka kebahagiaan
itu milik ikan atau mungkin milik pohon. Kebahagiaan memang tidak abadi, dan
itu relativitas pada diri manusia. Bagaimana manusia menyikapi segala fenomena
bahagia itu. atau bagaimana manusia bisa membuat bahagia segala fenomena yang
dialaminya. Ini tergantung dan kembali pada sudut pandang manusia yang
bersangkutan.
Semua kebahagiaan digambarkan penyair
berfungsi untuk mendekap cakrawala di dasar samudera. Entah, ada kaitannya atau
tidak antara hal yang misteri dengan bahagia. Sebab kata yang digunakan penyair
(cakrawala dan samudera) adalah kata-kata yang misteri, mengandung teka-teki. Ataukah
ini penjelas dan penegas dari proses perenungannya itu. perenungan akan hal-hal
yang misteri dan teka-teki. Apakah penyair ingin menggambarkan tentang kebahagiaan
seorang penyair adalah ketika sudah mendapatkan jawaban dari proses
perenungannya. Entahlah.
“Di
rahang rahasia rinduku abadi
Sampai
runtuh seluruh sepi
Rinduku
adalah ketabahan matahari
Menerima
sepi di relung puisi”
Seorang penyair memang kadang menjadi
seorang yang termarjinalkan. Entah oleh keadaan atau mungkin zaman. Penyair
seperti berada dalam ketiadaan. Wujudnya ada namun seperti tidak ada. Hal ini
terasa benar pada bait ini. Penyair menggambarkan tentang keadaan sepi dan
tabahnya penyair dengan puisi-puisinya.
Karena penyair sering bergulat (dalam
perenungannya) dengan hal-hal yang bersifat misteri. Misteri yang masih
teka-teki. Teka-teki yang belum terjawab secara pasti. Maka hal ini
mempengaruhi penyair dalam proses penciptaan puisi. Begitu juga dalam rubaiyat Matahari
ini. Kata-kata dan kalimat yang berhubungan dengan misteri digunakan untuk
mendeskripsikan tentang kerinduannya. Entah rindu akan apa. Apakah rindu pada
sosok dan tokoh “kamu” yang berpengaruh baginya, atau rindu siapa pada siapa
saja.
Rindu yang tersimpan sebagai rahasia.
Rindu yang tidak diketahui siapapun. Rindu yang akan terus tersimpan hingga
runtuh seluruh sepi. Hingga rindu itu terpenuhi dengan bertemunya sang perindu
dengan orang yang dirindui. Sepi yang hadir ketika sendiri. rindu yang makin
menggebu dalam sendiri pilu. Ya, rindu memang bisa dikatakan sebagai penyakit
yang perlu diobati. Obatnya adalah bertemu dengan orang yang dirindu. Dan jika
sudah bertemu dengan orang yang dirindu, jika sudah diobati rindu itu maka sepi
yang hadir dan menyerang sang perindu akan runtuh. Rindunya akan hilang tak
berbayang.
Rindu bisa diartikan sebagai rasa
menggebu ingin bertemu. Bertemu dengan sosok dan tokoh “kamu” yang begitu
berpengaruh. Kerinduan ini sering melahirkan kegelisahan bahkan kesal yang
mendalam. Karena ini berkaitan dengan dorongan psikologis dari dalam diri
manusia. Dorongan fitrah pada diri manusia. Dorongan alamiah yang membuat
gelisah jika tidak segera diobati rindunya. Hanya ketabahan yang bisa meredam
dan membentenginya dari kegelisahan bahkan kesedihan. Hal ini dijelaskan
penyair pada kalimat; “rinduku adalah ketabahan matahari”.
Matahari yang memiliki kekuatan luar
biasa. Matahari yang akan selalu ada dalam segala cuaca, di musim hujan
sekalipun. Walau sering ia terhalang awan mendung namun ia tetap ada sebagai
pribadi yang kuat dan berdaya. Matahari yang begitu istimewa bagi hidup
manusia, sebab ia sumber kehidupan. Sebagai sumber kehidupan, ia mempunyai
kekuatan luar biasa, sifat yang istimewa, diantaranya adalah tabah. Dan sifat
ini yang digunakan penyair untuk menggambarkan kerinduannya. Tabah dalam segala
fenomena, termasuk dalam berkarya. Menulis puisi dan segala makna di dalamnya.
Sebab puisi memang sering dipandang sebelah mata. Entah karena apa, puisi
sering dianggap hanya sebagai kata-kata indah saja. puisi dianggap sesuatu yang
hanya segelintir orang saja dapat mengerti. Puisi yang tidak mempunyai tempat
di ranah politisi. Puisi yang semakin berada di ujung sepi.
Karena keadaan puisi yang dianggap anak
tiri pada zaman hedonis dan konsumeris ini maka penyair menyadari betul akan
hal ini. Yang diterimanya hanya sepi. Tidak seperti artis pada layar televisi,
yang diidolakan dan dielu-elukan oleh masyarakat negeri ini. Bahkan
kehidupannya yang berlimpah materi. Berlawanan sekali dengan kehidupan puisi
(kebanyakan para penyair) yang seringkali jauh dari kata bergelimangan materi.
Lihat dan bandingkan saja antara “bayaran” artis sekali tampil di televisi
dengan penyair yang tampil membawakan puisi. Lihat dan bedakan saja, antara
“harga” sebuah lagu yang nyanyikan oleh artis dengan “harga” puisi yang
diapresiasi. Begitulah puisi, yang seakan menjadi anak tiri dan semakin
merasakan sepi.
“Di
relung-relung malam lambaianku menua
Juga
pandanganmu di kaca jendela
Alangkah
dalam makna senja
Menanggung
berat perpisahan kita”
Sudah fitrah dan alamiah, manusia
semakin hari menjadi semakin tua dan pada akhirnya akan meninggal dunia. Hal
ini juga disadari oleh penyair lewat kata-kata; “lambaianku menua”. Menjadi tua adalah hak mutlak dan pasti bagi
manusia. Siapapun ia, berprofesi apapun ia, semua yang bernama manusia bahkan
semua makhluk ciptaan Tuhan akan menjadi tua.
Tua, keadaan ketika tenaga tidak seperti
masa muda. Kekuatan yang mulai pudar darinya, melemah. Ketika manusia menua
maka semua potensi yang ada dalam dirinya akan melemah, tidak bekerja dengan
optimal. Gerak yang cepat menjadi lambat. Semua indera akan menurun fungsinya,
apapun bentuk dan rupanya.
Dari proses menjadi tua ini, penyair
mencoba mengingatkan tentang makna yang terdapat di dalamnya. Apakah manusia
hanya akan menjadi sekedar tua tanpa ada makna. Menua lantas mati tidak ada
bekas dan sisanya. Terkubur bersama jasadnya. Bagi seorang penyair, menjadi tua
adalah proses memberi makna. Karena ketika muda (masa-masa sebelum tua) dia
terus merenungi segala. Dan hal inilah yang didapatkan dari proses
perenungannya. Proses perenungan untuk mendapatkan makna. Makna inilah yang
akan menjadi warisannya. Walau ia sudah tiada (meninggal dunia) ada pelajaran
dan makna yang ditinggalkannya. Inilah proses “penggaraman” yang dimaksud penyair
pada bait-bait sebelumnya. Memberikan manfaat bagi manusia yang lain lewat
makna yang disampaikan pada puisi-puisinya. Kalaupun bukan makna yang diserap
manusia di sekitarnya, setidaknya proses berfikir yang disebarkan lewat puisi.
Lewat puisi penyair mengajak manusia untuk memikirkan segala. Dalam bekerja dan
beraktivitas, manusia diajak untuk selalu berfikir akan menghasilkan kerja dan
aktivitas yang luar biasa.
Melihat kata yang digunakan; malam, oleh
penyair pada Rubaiyat Matahari ini, bisa dikatakan sangat tepat. Sebab malam
identik dengan waktu istirahat. Waktu melepaskan lelah ketika sudah seharian
(ketika siang) beraktivitas dan bekerja. Waktu yang digunakan untuk tidur.
Bukankah tidur itu setengahnya mati. Orang yang sedang tidur bisa dianggap
mati, setengah mati. Sangatlah tepat penyair menggunakan kata malam yang
dihubungkannya dengan kata “menua”. Menua yang identik dengan kelemahan dan
dekatnya dengan kematian. Walau kematian masih misteri dan tidak ada seorangpun
yang tahu tentang waktunya yang pasti, namun secara alamiah orang-orang yang
sudah tua memang berada dekat dengan kematiannya.
Orang yang sudah tua, seluruh indera dan
potensi dalam dirinya akan mengalami penurunan. Dalam hal ini, penyair
menggunakan perwakilan lewat kata “pandangan”. Salah satu indera yang ada pada
manusia; mata.
Apakah kita akan mati begitu saja tanpa
meninggalkan hal-hal yang bermanfaat untuk generasi sesudah kita dengan hal-hal
yang bermakna? Begitulah kira-kira pertanyaan yang ingin disampaikan penyair
lewat bait dalam puisinya.
“Dari
pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak
lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari
rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak
tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi”
Proses menggarami kehidupan, bagi orang
yang sudah tua, melewati berbagai fase, fenomena, dan kejadian-kejadian. Semua
itu dilambangkan oleh penyair lewat kata pintu. Pintu yang menjadi tempat
masuknya seseorang atau sesuatu pada sebuah ruang atau rumah.
Pada kalimat “dari pintu ke pintu ketukanku kembali”, sepertinya penyair (yang
mungkin sudah tua) sedang berada pada sebuah nostalgia. Mencoba mengingat
apa-apa yang sudah lewat. Berada pada kenangan dari semua proses yang sudah ia
lakukan.
Penyair mencoba mengingatkan bahwa
ketika seseorang sudah berada pada masa tuanya, maka ingatan-ingatan akan masa
lalunya akan hadir. Entah dalam bentuk penyesalan atau bentuk kepuasan. Dan itu
menjadi sebuah pilihan. Pilihan ketika manusia masih muda dan bisa bergerak,
bekerja, dan beraktifitas dengan segala daya dan potensi yang ada. Potensi yang
dimilikinya. Karena ketika sudah tua, hanya mampu mengingat dan melihat apa
yang sudah dilakukannya ketika masih muda. Itupun jika, kemampuan mengingatnya
masih ada, belum pikun.
Karena waktu terus berjalan, tak peduli
bagaimana manusia mengisi hari-harinya, maka penyair menggambarkan hal itu
dengan kalimat berikutnya; “tak
lelah-lelah mencari januari di reremang pagi”. Penggambaran tentang bulan Januari
yang menjadi tanda bergantinya tahun. Berganti tahun maka betambah pula umur
dan usia seseorang. Semakin bertambah usia seseorang, secara otomatis ia akan
menua, menjadi tua, melemah dan semakin tak berdaya, yang pada akhirnya akan
meninggal dunia.
Sebagai penyair, Jamal D. Rahman,
mencoba mencari arti dan makna akan cinta lewat puisi-puisinya. Namun ia
menyadari bahwa cinta memang sulit untuk didefinisikan. Tidak ada definisi
tunggal yang mutlak dan pasti akan cinta yang bisa diterima semua manusia. Sama
halnya dengan puisi, ilmu pengetahuan dan makna kehidupan, yang tak akan habis
digali dan dipelajari walau sudah jutaan tahun dilewati.
Interpretasi Gaya
Bahasa
Puisi Rubaiyat Matahari ini
menggambarkan dengan jelas tentang kematangan penyair. Dari struktur penulisan,
penyair menggunakan gaya simile dan metafora yang hampir bersamaan. Seperti
yang dikatakan Wren dan Martin “simile is
a comparison made between two objects of different kinds which have, however,
at least one point in common”. Simile adalah adanya perbandingan antara dua
objek atau benda yang berbeda jenis namun memiliki titik kesamaan. A metaphor is an implied simile. It does
not, like the simile, state one think is like another or acts as another, but
takes that for granted and proceeds as if the two things were one. Lihat saja
dari kata-kata pada tiap baitnya. Berdarah dan menangis (pada 1), hujan, awan
dan bintang gemintang (pada 2), perahu dan madura, api dan matahari (pada 3),
laut, garam dan mengasinkan. Bakar dan kobaran api (pada 4) dan pada bait-bait
selanjutnya terasa sekali bahwa kata-kata yang dipilih dan digunakan penyair
dalam puisinya ini sangat berhubungan hingga terasa dan meninggalkan kesan
suatu kesatuan yang utuh. Ya, puisi ini utuh sebagai kesatuan dari berbagai
unsur yang membentuknya. Kata-kata yang berlainan namun memiliki titik
kesamaan, baik pada makna atau eksistensi lambang, bersatu pada puisi Rubaiyat
Matahari ini.
Selain itu, puisi ini juga bisa
dikatakan berbentuk sajak. Ini bisa dilihat dari rima akhirnya. Penyair tidak
hanya ingin menyampaikan makna, namun perantara penyampai makna yaitu puisi ini
begitu memperhatikan bentuk estetika dalam penulisannya. Dari kata-kata yang
digunakan juga terlihat begitu tepat. Diksi yang digunakan seperti telah
difikirkan kata apa saja yang bisa dipakai. Selain
berbentuk sajak, penulisan pada puisi ini juga sangat mempertimbangkan metrum atau
ketukan nada pada tiap baris dan baitnya.
Inerpretasi Kelemahan
Pertama, dari segi metrum. Jika pola
sajak yang digunakan diringi dengan metrum atau jumlah ketukan yang sama, maka
puisi ini akan lebih kuat terasa ketika dibaca. Seperti yang telah dibahas di
atas, hanya bagian ketiga yang memiliki metrum yang sama pada tiap barisnya,
sedangkan pada bagian yang lain metrum atau jumlah ketukan nadanya tidak sama.
Kedua, puisi ini untuk kalangan
siswa-siswa sekolah sepertinya akan sulit dipahami, sebab di beberapa bagian
ada kata-kata yang menggunakan metafora yang sangat kuat. Hingga untuk
memahaminya membutuhkan kerja ekstra.
Interpretasi kekuatan
Pertama, puisi ini begitu kuat
menggunakan pola sajak hingga ketika dibaca akan menimbulkan keindahan tersendiri.
Kedua, puisi ini representasi dari
kematangan penyair, sebab dari pilihan kata yang digunakan begitu kuat, padat,
sekaligus indah.
Ketiga, walau puisi ini dibagi ke
beberapa bagian, puisi ini tetap satu kesatuan puisi yang utuh. Tiap bagian saling
berhubungan bahkan menguatkan pesan dan makna yang ingin disampaikan.
Interpretasi kesimpulan
Pertama; Ada hubungan antara
penyair dengan Tuhannya. Ada ungkapan penyair pada Tuhannya. Menurut Toshihiko
Izutsu, relasi manusia dengan Tuhannya terbagi menjadi empat. Pertama, relasi Ontologis; relasi ini
menempatkan Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan manusia sebagai
representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Kedua, relasi komunikatif; relasi ini membawa Tuhan dan manusia yang
dekat satu sama lain –Tuhan tentu saja mengambil inisiatif- melalui komunikasi
timbal balik. Ketiga, relasi Tuan-hamba;
relasi ini melibatkan, Tuhan sebagai Tuan (Rabb), manusia sebagai “hamba”-Nya
(‘abd). Keempat, relasi etik; relasi
ini didasarkan perbedaan dua aspek. Tuhan yang kebaikannya tak terbatas dan
Tuhan yang murka. Di sisi manusia terdapat perbedaan antara rasa syukur di satu
pihak dan takut kepada Tuhan di sisi lain. Lalu dimanakah eksistensi hubungan
penyair dengan Tuhannya pada “Rubaiyat Matahari” ini? Sepertinya penyair
menyadari semua bentuk hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Hingga ia
menempatkan Tuhan di segala aspek kehidupan. Dan ini terlihat dari kalimat pembuka
puisi ini. “Dengan bismillah berdarah di
rahim sunyi”.
Kedua; penegasan terhadap tokoh
“kamu” yang merupakan sosok yang begitu berarti bagi penyair.
Ketiga; pendeskripsian tentang
proses hidup dan kehidupan.
Keempat.; ada doa yang dibahas dan diucap.
Ada harapan yang ingin disampaikan penyair dalam proses kehidupannya.
Kelima; kesadaran akan waktu dan usia.
Waktu yang akan terus melaju dan usia yang semakin bertambah.
Keenam; puisi ini merupakan puisi yang
mengandung misteri yang tak akan habis untuk dibahas dan dikaji.
Sawangan,
April 2014
Komentar
Posting Komentar