Tak Habis Membaca Misteri Puisi (Sebuah apresiasi terhadap puisi Rubaiyat Matahari)

Puisi adalah misteri yang tak habis untuk dikaji. Ia seperti candu yang menimbulkan ekstasi tersendiri bagi para pembaca, pengkritik, pemerhati, bahkan untuk penyairnya sendiri. lantaran puisi menimbulkan “ketagihan” untuk terus dikaji maka puisi tak pernah mati. Puisi adalah keabadian dalam dimensinya sendiri.
Walau puisi masih erat dengan kesendirian, ia bisa menelusup ke berbagai sisi kehidupan. Hal itu bisa dilihat dari berbagai tema yang dibicarakan puisi. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa puisi itu representasi dari berbagai dimensi kehidupan, baik dimensi spritual maupun emosional manusia. Hingga tak jarang puisi bisa menarik sisi lahir dan batin manusia. Salah satu puisi yang menarik –dan mungkin tak habis untuk dikaji- adalah puisi yang berjudul Rubaiyat Matahari.

Rubaiyat Matahari

1
Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir matahari
2
Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah sepi di jemari awan
Membakar cintaku hingga degup bintang gemintang
3
Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku menyala
Menantang matahari di lubuk semesta
4
Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan
Darahku bergaram darahmu bergaram
Menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja
Antara pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap cakrawala di dasar samudera
8
Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi
9
Di relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela
Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita
10
Dari pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi

2002-2003

Interpretasi Bentuk

Puisi Rubaiyat Matahari dibagi menjadi sepuluh bagian sesuai dengan angka yang tertera. Walau penyair seperti ingin membagi tiap bagian dalam puisinya, tapi pembagian tersebut tidak menghilangkan kesatuan isi atau utuhnya puisi, sebab tiap bagian jelas berhubungan bahkan menjadi penegas dan penjelas bagian-bagian yang lain.
Bentuk puisi di atas menggunakan ritme sajak dengan memakai pola abab bahkan aaaa. Dan penyair terlihat sangat menekankan ritme sajak dalam puisinya ini, ini bisa dilihat dari keseluruhan puisi Rubaiyat Matahari.
Selain itu ada juga unsur nada yang ingin diterapkan penyair dalam puisinya ini. Nada, ketukan irama akan terasa ketika puisi dibaca. Namun sangat disayangkan hanya bagian ketiga saja yang memiliki metrum yang sama pada tiap barisnya. Bagian yang lain sepertinya kurang menjadi perhatian penyair dalam menghitung jumlah ketukan pada tiap barisnya. Untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut; bagian pertama,  ketukan nada baris pertama berjumlah 13, baris kedua berjumlah 14, baris ketiga 13 dan baris keempat 20. Bagian kedua, baris pertama berjumlah 11, baris kedua berjumlah 12, baris ketiga berjumlah 11, dan baris keempat berjumlah 15. Bagian ketiga, baris pertama berjumlah 12, baris kedua berjumlah 13, baris ketiga 12, baris keempat berjumlah 13. Bagian keempat, baris pertama berjumlah 10, baris kedua berjumlah 14, baris ketiga berjumlah 9, baris keempat berjumlah 16. Bagian kelima, baris pertama berjumlah 9, baris kedua berjumlah 9, baris ketiga berjumlah 12, baris keempat berjumlah 14. Bagian keenam, baris pertama berjumlah 12, baris kedua berjumlah 16, baris ketiga berjumlah 12, baris keempat berjumlah 15. Bagian ketujuh, baris pertama berjumlah 10, baris kedua berjumlah 13, baris ketiga berjumlah 16, baris keempat berjumlah 13. Bagian kedelapan, baris pertama berjumlah 13, baris kedua berjumlah 9, baris ketiga berjumlah 14, baris keempat berjumlah 12. Bagian kesembilan, baris pertama berjumlah 12, baris kedua berjumlah 12, baris ketiga berjumlah 9, baris keempat berjumlah 11. Bagian kesepuluh, baris pertama berjumlah 14, baris kedua berjumlah 18, baris ketiga berjumlah 13, dan baris terakhir berjumlah 18 ketukan. Namun semua ketukan yang tidak sama jumlahnya tersebut akan memudar dengan sendirinya jika pembaca mengikuti alur persajakan pada tiap bagiannya. Pembaca sepertinya ingin diajak untuk mengikuti alur sajak pada tiap barisnya. Disini, terlihat jelas kepiawaian dan kecerdasan penyair dalam menciptakan puisi ini.

Interpretasi Isi Dan Makna

Ada ungkapan bahwa satu kalimat bisa menimbulkan ribuan makna, begitupula dengan puisi, satu puisi bisa menimbulkan ribuan makna dan interpretasi. Setidaknya interpretasi dibawah ini bisa menjadi bagian dari ribuan interpretasi tersebut.

“Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi
Kueja namamu di rubaiyat matahari
Kau dengar aku menangis sepanjang hari
Karena dari november-desember selalu lahir januari”

Jamal D. Rahman penyair kelahiran Lenteng Timur, sumenep madura, 14 Desember 1967, memulai “Rubaiyat Matahari” dengan mengedepankan sisi religiusitasnya. Hal ini tidak mengherankan sebab penyair merupakan lulusan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura. Terlihat pendidikan pesantrennya sangat mempengaruhi syair-syair yang diciptakannya, salah satunya di “Rubaiyat Matahari”.
Puisi ini seperti menjadi sebuah refleksi pengalaman batin seorang hamba di hadapan Tuhannya. Dari judul yang digunakan seperti mengacu dan terpengaruh oleh seorang penyair sufi, Jalaluddin Rumi, yang juga menciptakan syair yang diberinya nama Rubaiyat. Syair yang terdiri dari empat baris pada tiap paragrafnya. Pada rubaiyat matahari ini pun terdiri dari sepuluh bagian yang masing-masing bagian tersiri dari empat baris. Lalu adakah hubungan antara rubaiyat matahari Jamal dengan syair rubaiyat rumi?. Hal ini menimbulkan ambiguitas dalam menjawabnya. Tapi setidaknya ada satu sisi yang memiliki hubungan antara keduanya, yaitu sisi religiusitas. Sisi kesadaran eksistensi seorang hamba sebagai ciptaan Tuhan.

“Dengan bismillah”

Jamal mengedepankan keberadaan Tuhan (existence of God) pada syairnya yang notebene refleksi dan representasi dari dirinya. Menyediakan ruang pada persoalan teologi sebagai kerangka dan acuan berfikir –berkarya-, berarti menyediakan ruang pada rasio kita bahwa Tuhan ikut berperan, berkehendak, -dan mengintervensi, segala hal pada hidup manusia. Walau, sebagai manusia, akal kita tidak akan pernah sampai pada maksud yang sebenarnya dari tindakan, kehendak bahkan intervensi-Nya.
Pada abad ke-19, di barat muncul sebuah aliran filsafat yang mempunyai perhatian pada hakikat realitas alam. Jika boleh penciptaan puisi dimasukan pada realitas alam, maka puisi termasuk pada pembahasan aliran ini.
Filsafat ini berpangkal dari apa yang diketahui, yang faktual dan positif. Segala persoalan dan uraian yang berada di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan dan karena itu metafisika ditolak. Apa yang kita ketahui secara positif hanyalah segala yang tampak, segala yang menjadi gejala.
Lebih lanjut, Herbert Spencer, seorang filsuf dari aliran ini, berpendapat bahwa segala keterangan tentang dunia ini, baik itu yang bersifat religius atau metafisik, keduanya menimbulkan hal-hal yang secara batiniah saling bertentangan. Keduanya ingin memberikan penjelasan tentang asal mula segala sesuatu. Padahal manusia tidak dapat mengetahui hal itu.
Oleh karenanya, menurut Spencer, kita harus mengesampingkan saja “hal-hal yang tidak dikenal” itu (the great unknowable), dan hanya menyibukkan diri dengan hal-hal yang mungkin bagi kita. Yang harus kita ketahui adalah apa yang menjadi penampakan saja, gejala-gejala yang telah kita kenal atau apa yang disajikan pada kita (Spencer, suatu sistem Filsafat Sintesis, 1862-1896). Menurut aliran positivis ini, Tuhan tidak ada dalam suatu gejala alam.
Sepertinya Jamal ingin mendobrak dan meruntuhkan teori Spencer dengan apa-apa yang disebut Spencer menyibukkan hal-hal yang mungkin, jamal menempatkan kemungkinan ini pada posisi Tuhan dalam hidupnya. Kemungkinan yang didasari atas keyakinannya pada Tuhan. Kemungkinan yang pasti dalam subjektifitas pribadi manusia –Jamal- sangat mungkin menempatkan Tuhan pada –apapun- pekerjaan manusia, termasuk berkarya –mencipta puisi-. Hingga Jamal menempatkan sisi religiusitas (Tuhan) nya pada kalimat pembuka puisinya ini.

“Berdarah di rahim sunyi”

Darah identik dengan luka. Sepertinya penyair ingin menggambarkan tentang keadaan yang luka, dan ini juga terlihat dari kata selanjutnya “sunyi”. Luka dan sunyi memiliki hubungan yang dekat. Sunyi identik dengan keadaan sepi, kesendirian, keterasingan bahkan kesedihan. Darah juga bisa menjadi simbol kehidupan manusia, bukankah ketika darah mengalir di dalam tubuh manusia itu menampakkan kehidupan?.
Rahim sunyi yang digunakan jamal pada kalimat awalnya ini bisa juga diinterpretasikan pada proses perenungan, tafakur, kontemplasi bahkan dzikirnya. Sebab keadaan sunyi ini merupakan keadaan kondusif bagi seseorang –penyair- untuk merenung dan memikirkan segala sesuatu lantas dituangkannya lewat puisi. Apakah puisi ini ditulis Jamal ketika keadaan sunyi lewat perenungannya? Lalu apa yang coba direnungkan oleh jamal? Ini dijelaskan pada kalimat berikutnya.

“Kueja namamu”

Melihat kata yang digunakan, mengeja. Ini bisa diasosiasikan dengan seseorang yang masih belajar, lantaran ia belum lancar membaca. Maka ia mengeja setiap kata-kata. Ada kesadaran spritual dan logis bahwa sebagai makhluk ciptaan, Jamal sadar bahwa dirinya masih belum tahu apa-apa dan masih terus “mengeja”. Namun di sisi lain, ini menampakkan tentang pengetahuan yang dimilikinya, bukankah ada ucapan ketika seseorang itu semakin tahu maka ia akan mengatakan ia semakin tidak tahu bahkan tidak tahu apa-apa. Jamal sadar akan eksistensi ketahuannya, bahwa ia tidak tahu dan masih terus mengeja dan belajar.
Seperti Tuhan yang mengajarkan Adam, manusia pertama di bumi, tentang nama-nama. Maka jamal pun mencoba mengeja (mempelajari) nama-nama. Nama-nama bisa berarti segala sesuatu yang ada di dunia ini. Bukankah segala sesuatu di dunia ini memiliki nama, bahkan ilmu pengetahuan sendiri itupun adalah sebuah nama. Nama merupakan simbol dan representasi dari semua. Simbol bisa menjadi kenyataan pada ketidaknyataan sekaligus ketidaknyataan pada kenyataan.
Tokoh kamu yang memiliki nama ini ambigu. Bisa siapa saja. Bisa makhluk (manusia, hewan, tumbuhan, benda-benda) bahkan Pencipta makhluk (Tuhan). Namun dari kalimat “mengeja namamu”, sosok dan tokoh “kamu” yang diceritakan di sini bisa jadi merupakan sosok yang –sangat- berarti pagi penyair (Jamal). Dilihat dari penulisannya yang tidak menggunakan huruf kapital maka ini –mungkin- adalah sosok makhluk. Makhluk yang sangat berarti bagi Jamal.

“Rubaiyat matahari”

Rubaiyat secara etimologi merupakan infiltrasi atau kata terapan yang diambil dari bahasa Arab. Al-Roobi’ah yang berarti empat. Dan ini jelas terlihat dari jumlah baris dari puisinya ini yang berjumlah empat pada tiap bait.
Sedang dari kata matahari ini bisa diasosiasikan dan diinterpretasikan dengan simbol waktu, seperti datangnya pagi, bergantinya hari, datangnya malam dan sebagainya. Bisa juga berarti sumber kehidupan dan cahaya bahkan matahari bisa diartikan sebagai kekuatan yang dahsyat.
Lalu siapa tokoh “kamu” yang dimaksud?. Ini dijelaskan pada kalimat berikutnya.

“Kau dengar aku menangis sepanjang hari”.

Dari kalimat ini bisa diinterpretasikan pada sosok yang intens mengetahui tokoh “aku” yang setiap hari bisa tahu “aku” menangis bahkan hingga menangis sepanjang hari. Tokoh “kamu” bisa istri, anak atau siapapun, namun lagi-lagi merupakan sosok yang berarti bagi “aku” dan ini diperjelas dengan kalimat “sepanjang hari”.
Kata menangis yang digunakan terkait pada kalimat pembuka puisi di atas; darah dan sunyi. Namun, kata tangis pun bersifat ambigu. Sebab, tangis bisa berarti sedih yang sudah lumrah bagi mayoritas orang, bisa juga berarti bahagia, karena ada beberapa orang yang saking dan begitu bahagianya menyebabkan orang tersebut menangis.

“karena dari november-desember selalu lahir januari”.

Yang bisa berarti perputaran waktu dalam setahun. Dan ini merupakan kenyataan. Bahwa setelah bulan november dan desember adalah bulan januari. Ini kenyataan, namun juga merupakan simbol. Simbol yang menyimpan kata dan makna lain. Kata dan makna lain tersebut bisa saja tentang perputaran waktu.
Sepertinya Jamal mencoba mendeskripsikan luka, rasa sedih, kesendirian, bahkan keterasingannya, namun semua rasa itu ia sandar dan kembalikan kepada Tuhannya. Dan Jamal mencoba pula untuk menggambarkan proses perenungan hidupnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hingga ia mengikutsertakan bahkan mendahulukan Tuhan dalam kegiatan dan aktifitasnya.
Jamal mencoba mendeskripsikan luka, sedih, kesendirian dan keterasingannya kepada tokoh “kamu”. tokoh yang sangat berarti baginya. Apakah ini semacam rayuan jamal terhadap “kamu” yang sangat berarti baginya? Ataukah ini penegasan Jamal bahwa tokoh “kamu” benar-benar berarti baginya?  

“Engkaulah sepi di jemari hujan
Kabar semilir dari degup gelombang
Engkaulah api di jemari awan
Membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang”

Dalam filsafat ilmu, segala bentuk pengetahuan manusia pada dasarnya bersumber dan berkembang dari tiga pertanyaan dasar. Apa yang ingin diketahui? (ontologi), bagaimana cara memperoleh pengetahuan? (epistimologi), dan apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita? (aksiologi).
Pada bagian kedua puisi ini secara ontologi penyair sudah mengetahui tentang “kamu” melalui pernyataan “engkaulah sepi di jemari hujan/ engkaulah api di di jemari awan”. Secara epistimologi penyair mendapatkan pengetahuan itu dari “kabar semilir dari degup gelombang”. Penyair mendapat pengetahuan dari sebuah “kabar”. Kabar yang bisa berarti informasi dan segala aktifitas yang berkaitan dengan pengetahuan seperti belajar ataupun dari pengalaman. Sementara dari segi aksiologi, penyairpun menyadari dan mendapatkan nilai dari proses (bahkan hasil) pengetahuannya untuk “membakar cintaku hingga degup bintang gemintang”.
Tokoh “kamu” pada puisi ini dilambangkan dengan sepi ketika hujan. Jamal memang salah satu penyair yang terkenal kuat dalam permainan metafora. Metafora adalah bahasa atau lambang yang ambigu. Perlu penafsiran –mendalam- untuk memahaminya.
Apakah jemari hujan melahirkan sepi?.
Jawabannya bisa iya dan tidak. Jika kita analogikan suasana ketika turun hujan, suasana sepertinya didominasi oleh riuh dan gaduhnya air hujan. Kemana manusia? Mereka bersembunyi dan berteduh. Meninggalkan ruang yang lengang untuk hujan bermain dalam sepi. Sepi dari aktifitas manusia.
Ketika hujan asik bermain di tengah sepi ada kabar semilir yang disampaikan sebuah kekuatan. Bisa kekuatan cinta, rindu ataupun kekuatan lain. Kekuatan itu yang memberi kabar tentang tokoh “kamu” yang digambarkan penyair sebagai sepi ketika hujan.
Pertanyaan selanjutnya adalah; ada apa dibalik sepinya hujan?.
Selain sepi, tokoh “kamu” juga digambarkan dengan api di jemari awan. Dilihat dari kata-kata yang digunakan; sepi di jemari hujan, dan api di jemari awan. Ini semua berhubungan dengan langit. Sepertinya penyair ingin menggambarkan sosok yang tinggi. Namun kelihaian penyair untuk menimbulkan tanya pada para pembaca. Sebab tokoh kamu yang digambarkan itu hanya di jawab dengan sepi dan api.
Jika berhungan dengan langit, maka tokoh kamu  adalah tokoh yang diagung-agungkan, dipuja, dan tinggi, sekaligus masih misteri dan teka-teki. Namun dari semua misteri itu sepertinya penyair ingin menceritakan tentang rasa cintanya pada tokoh “kamu”. Ini terlihat dari petikan kalimat berikut;

“Membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang”.

Bait ini sepertinya ingin menggambarkan tentang cinta berikut dengan gelombang (efek) yang ditimbulkannya. Efek cinta dan rindu terhadap tokoh yang masih misteri, lantaran hanya dilambangkan dengan sepi dan api. Sepi dan api jika bersentuhan langsung memang akan dekat sekali dengan rasa sakit dan luka. Sepi melahirkan kesendirian dan api melahirkan panas dan luka bakar. Kadang, cinta memang bisa menimbulkan hal-hal yang digambarkan penyair, yaitu luka. Luka karena cinta. Bisa karena cinta yang tidak sampai. Bisa pula karena kerinduan yang dalam akan sosok yang dicintainya lantaran tidak bertemu-dalam jangaka waktu yang lama.
Di sisi lain, penyair mencoba menggambarkan kekuatan cintanya pada tokoh “kamu” lewat kata sepi dan api. Kata-kata yang digunakan menggambarkan dan melambangkan kekuatan, kedahsyatan. Lihat saja: sepi, jemari, hujan, gelombang, api, awan, membakar, bintang gemintang.
Sepertinya penyair ingin menggambarkan tentang rasa rindu yang mendalam (kuat) dalam dirinya pada sosok kamu yang dicintainya atau mungkin juga penyair ingin menegaskan kepada tokoh “kamu” yang diajaknya berbicara, betapa ia adalah sosok yang masih misteri dan teka-teki.
Misteri dan teka-teki adalah hal yang menimbulkan tanya dan penasaran. Ada jawaban yang masih dicari, ada tanya yang belum selesai dijawab. Sosok kamu sepertinya adalah sosok yang sulit dimengerti dan difahami, namuan penyair menangkapnya (mempersonifikasinya) sebagai sosok sepi dan api.
Kemungkinan yang lain, penyair ingin mencoba mendeskripsikan tentang efek yang bisa ditimbulkan dari rindu dan cinta, dari sosok yang masih misteri dan sulit difahami.
Pertanyaannya adalah apakah cinta memang –selalu- hal yang misteri dan menimbulkan rasa yang begitu dahsyat pada hati dan diri manusia?

Atas sepi perahuku bercahaya
Membawa matahari ke jantung madura
Atas bara api cintaku membara
Menantang matahari di lubuk semesta”

Dalam Rubaiyat Matahari ini penyair kadang mengulang beberapa kata, namun pengulangan tersebut bukan pemborosan dalam penggunaan kata melainkan penegasan dan penguatan terhadap kalimat dalam puisi ini, seperti pada bagian ke dua “engkaulah sepi di jemari hujan dan engkaulah api di jemari awan”. Di sisi lain, hal ini memperlihatkan kepiawaian dan kecerdasan penyair (Jamal) dalam mencipta puisi, sebab ia tidak terjebak dalam pengulangan kata yang itu-itu saja.  
Pada bagian kedua ini penyair menggunakan kata sepi. Sepi bisa digambarkan sebagai suasana yang tidak ramai dan gaduh. Tidak ada orang lain. Hening. Sendiri. suasana seperti ini sangat tepat untuk dijadikan waktu untuk meditasi, merenung. Dalam perenungan itu biasanya seseorang menanyakan dan bertanya tentang sesuatu. Dalam keadaan hening itu jawaban biasanya akan lahir dari apa yang kita tanyakan. Jawaban diri sendiri atas pertanyaan diri sendiri. karena tidak ada unsur-unsur penggangu dalam mencari jawaban atas perenungan. Pertanyaannya, apakah memang sepi yang –selalu dan bisa- melahirkan puisi? Apakah memang perenungan itu selalu dalam keadaan sepi dan hening?
Penyair menemukan sesuatu atas proses “sepi’nya tersebut pada perahu yang bercahaya. Apakah penyair ketika menulis ini sedang berada di perairan, laut, sungai, atau danau? Sepertinya tidak. Kata perahu yang digunakan penyair adalah metafor yang melambangkan sebuah kendaraan, alat perjalanan, kendaraan yang digunakan untuk mempercepat sampai ke tujuan.
Jika dihubungkan dengan kata-kata sebelumnya, sepertinya kalimat ini bisa diartikan sebagai hasil dari sebuah perenungan dan “sepinya” penyair. Lantaran proses perenungannya, pencarian jawaban atas pertanyaan tentang hidupnya, penyair menemukan jawaban yang membuatnya lebih bercahaya, lebih tahu. Dengan kata lain, karena perenungan dan pemikiran akan hidupnya maka perjalanan (perahu) hidup itu akan bercahaya. Terarah. Bukankah sesuatu yang bercahaya itu membuat segala sesuatu yang berada di dekatnya menjadi terlihat dan jelas? Ini sama seperti yang dikatakan Descartes bahwa hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang sia-sia. Jika diubah, hidup yang dipikirkan adalah hidup yang tidak sia-sia, bermanfaat.
Ada penggambaran tentang proses hidup. Tentang jalan dan tujuan hidup. Yang semuanya itu harus direnungkan dan dipikirkan (dikritisi). Yang pada akhirnya membuat hidup itu bermanfaat. Dengan adanya tujuan yang jelas. Jalan hidup yang jelas. Semuanya itu akan melahirkan manfaat, seperti yang dikatakan dalam syair arab; manusia yang terbaik adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain.
Ada tujuan hidup yang tidak egois. Tidak mementingkan diri sendiri. walau diawali dari kesendirian dalam proses “sepi”, perenungan. Tapi penyair mencoba menjelaskan tentang makna hidup yang harus bermanfaat. Menjadi cahaya. Cahaya yang bukan untuk dirinya sendiri. karena sifat cahaya akan menyinari segala sesuatu yang berada di sekitarnya.
Perahu yang digunakan penyair dalam puisinya ini, seperti yang dijelaskan si atas, bisa dianalogikan sebagai alat, jalan, atau media dalam menempuh dan menjalani kehidupan. Alat yang digunakan dalam menempuh kehidupan itu, penyair harapkan adalah alat yang bisa membawa “matahari”.
Ada penegasan kembali tentang alat hidup yang digunakan. Jika matahari yang diangkut, dibawa, maka kendaraan (alat) yang digunakan adalah sesuatu yang luar biasa kuat. Ada metafor yang ingin melambangkan tentang ketabahan, kesungguhan, kesabaran, kekuatan, yang semuanya itu menjadi modal dalam mengarungi kehidupan. Bukankah segala sesuatu yang berada dekat dengan matahari bisa terbakar? Namun yang diambil disini adalah sifat dan karakter mataharinya.
Penyair mencoba menggambarkan kehidupan itu seperti perantauan. Pengembaraan. Dan memang seperti itulah hidup. Dari tiada menjadi ada, lahir kemudian tumbuh dan suatu saat nanti akan kembali menjadi tidak ada, secara wujud. Ini digambarkan penyair lewat kata jantung madura.
Jamal D rahaman adalah penyair kelahiran Madura. Madura adalah tanah kelahirannya. Tempat asalnya. Dari ketiadaannya, di Maduralah, awal adanya. Hingga ia menggambarkan tempat kembali dengan tanah kelahirannya, Madura.
Ada ajakan perenungan tentang hidup sebagai pengembaraan dan perjalanan merantau. Tentang bagaimana manusia harus sadar diri tentang asalnya, penciptaannya, ketiadaannya, dan lain sebagainya. Dan semuanya itu akan kembali pada satu titik yang disebut ketiadaan. Namun sebelum kembali pada ketiadaan tersebut, penyair mengajak untuk menjadikan hidup kita penuh cahaya. Bermanfaat untuk orang lain.
Kenapa kata madura yang digunakan? Bisa jadi ini melambangkan tentang metode dakwah dan pendekatan emosional manusia yang dimulai dari orang-orang terdekat; orang tua dan keluarga terdekat di tempat kita dilahirkan.
Dari bait ini masih ada sukuisme. Fanatik kesukuan yang dimiliki penyair. Hal ini sangat wajar. Secara primordial, kebanggaan akan suku, terutama tanah kelahiran, memang menjadi kebanggaan tersendiri bagi anggota suku tersebut. Walau di sisi lain, hal tersebut akan mengikis rasa nasionalisme bernegaranya. Namun yang perlu dicatat, penyair tidak lupa akan tanah kelahirannya. Walau ia –kini dan entah sampai kapan- sedang merantau. Sepeti burung yang pergi terbang ketika pagi hari dan akan kembali ke sarangnya ketika sore hari. Ini semua bisa disebabkan oleh cinta. Cinta penyair –yang dijelaskan di atas- terhadap tokoh “kamu” yang masih misteri. Rasa cinta ini disinggung lagi pada kalimat berikut;

“Atas bara api cintaku menyala”.

Cinta penyair yang menyala, berkobar dan membakar seperti api. Namun cintanya pada bait ini sepertinya lebih mengarah pada cintanya akan tanah kelahiran, keluarga dan orang tua. Hal ini jika dihubungkan dengan kalimat sebelumnya.  Namun disamping itu mengingatkan akan proses hidupnya sebagai makhluk yang sedang merantau.  Berjuang mendapatkan cita-cita. Menjadi pribadi yang bermanfaat untuk semua, terutama orang-orang terdekat.
Perjuangan memang butuh pengorbanan. Termasuk dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Penyair menyadari hal ini, hingga ia;

“Menantang matahari di lubuk semesta”.

Ada penggambaran akan perjuangan. Berani dan terkesan nekat, karena menantang matahari. Bukankah jika kita mendekati matahari maka tubuh kita akan terbakar karena saking panasnya matahari. Namun penyair bukan seorang yang berani untuk berjuang dalam menjalani kehidupan atas dasar nekat. Perjuangan hidupnya didasari atas dasar perenungan, pemikiran, cinta, yang semuanya itu membuat penyair siap menjalani hidup sekalipun harus menghadapi ujian, menantang matahari. Ini bukan kenekatan tapi ini hidup yang penuh perhitungan matang.
Ujian dan rintangan bukan lagi menjadi persoalan jika manusia yang bersangkutan sudah siap dan matang akan tujuan hidupnya. Penyair dalam hal ini ingin mengetuk pintu kesadaran manusia akan proses dan tujuan hidupnya, yaitu bermanfaat. Dan jikapun proses itu berat lantaran harus menantang matahari, semuanya itu dianggap sebagai pengorbanan yang memang harus dilaksanakan. Bukankah perjuangan –meraih sesuatu- itu butuh pengorbanan?
Pertanyaannya, apakah untuk mendapatkan sesuatu itu harus berkorban terlebih dahulu? Berkorban itu identik dengan kehilangan dan menyerahkan sesuatu yang dimiliki, bisa harta, tenaga, waktu, pikiran, bahkan nyawa. Adakah perjuangan yang tidak membutuhkan pengorbanan?
Di sini, penyair mencoba menyentuh aspek psikologis manusia. Tentang kesiapan diri, kesadaran diri, cita-cita, optimisme, pantang menyerah dan sifat positif lainnya.
Kesiapan diri maksudnya mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk menjalani hidup. Dalam hal ini ada unsur pengorganisasian, yaitu planning. Rencana yang matang. Sementara Kesadaran diri, maksudnya sadar akan hakikat hidup dan posisi sebagai makhluk (manusia). Sedangkan cita-cita adalah tujuan hidup. Orang yang mempunyai tujuan dalam perjalanannya akan terarah, sebab ia akan fokus pada jalan yang mengantarnya menuju tempat tujuan. Sikap pantang menyerah, maksudnya dalam hidup itu selalu ada cobaan dan ujian. Seperti dalam ajaran Islam, bahwa Tuhan akan selalu menguji hamba-Nya ketika sudah mengatakan beriman. Hal ini dimaksudkan sampai sejauh mana kualitas keimanan hamba tersebut. Begitu juga dalam hidup, ketika ada ujian (masalah) maka kualitas hidup orang tersebut akan diuji, apakah akan bertambah baik atau bertambah buruk.
Seorang Sosiolog pernah mengatakan bahwa hidup adalah perpindahan dari satu ujian (masalah) ke ujian (masalah) yang lain. Yang diperlukan adalah mental juara. Mental untuk membuat kualitas hidup menjadi lebih baik. Namun jangan pernah takut dengan ujian (masalah) yang datang, sebab Tuhan tidak menguji hamba diluar batas kemampuan hamba tersebut. Jadi, ketika ada masalah, maka sebenarnya manusia yang bersangkutan mampu untuk mengatasi dan menyelesaikannya. Proses penyelesaiainnya inilah yang nantinya akan membawa manusia pada kualitas yang lebih baik, lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak, yang pada akhirnya menjadi bijaksana, penuh hikmah. Bermanfaat untuk orang lain.
Penyair menyadari ini dengan ditegaskannya lewat kata “menantang matahari”. Walau matahari sekalipun yang ditantang, ada kesadaran dalam diri penyair sebagai manusia, untuk menghadapi tantangan, menyelesaikan ujian dan permasalahan.

Aku peras laut jadi garam
Mengasinkan hidupmu di ladangladang sunyi
Aku bakar langit temaram
Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api”.

Laut memang sering menjadi tema dalam penulisan puisi, termasuk dalam “Rubaiyat Matahari”. Bagi jamal yang kelahiran pulau Madura nuansa serta budaya Madura sepertinya sangat mempengaruhi proses penciptaan puisinya. Lihat saja dari bait di atas,  kata-kata seperti laut dan garam, semua itu sangat dekat dengan keadaan alam Madura. Keadaan alam, budaya tempat kelahiran memang –baik langsung ataupun tidak- mempengaruhi  seorang penyair dalam penciptaan puisinya.
Dilihat dari kata yang digunakan; laut, lagi-lagi, penyair menyuguhkan sesuatu yang misteri. Bukankah laut merupakan salah satu wujud dari misteri? Namun seperti diterangkan pada bait sebelumnya. Kata laut yang digunakan penyair sepertinya ingin mengarahkan pembaca pada sebuah perjalanan, perjalanan hidup. Bukankah pernah ada ungkapan yang mengatakan bahwa hidup itu seperti mengarungi lautan?

Aku peras laut jadi garam.

Ada ungkapan logis dari kalimat ini. Garam memang terbuat dari air laut yang mengalami proses pengeringan di tambak-tambak hingga menghasilkan butiran-butiran garam. Jamal yang merupakan keturunan Madura, dan dekat sekali dengan hal ini, memahami hal itu.
Interpretasi yang lain adalah ada penggambaran tentang proses dari sesuatu menjadi sesuatu, mengolah bahan menjadi bahan, atau mungkin dari tiada menjadi ada. Dari yang abstrak dan misteri menjadi nyata dan real. Penggambaran tentang mimpi, cita-cita yang tidak hanya ada dalam bayang apalagi angan-angan. Bukankah beda antara mimpi dan angan-angan? Penyair sadar apa yang ia ucapkan. Peras laut menjadi garam. Proses yang dilakukannya dalam memeras laut adalah proses dan langkah nyata. Logis, karena ketika laut (air laut) diproses –lewat media tambak dan pengeringan oleh sinar dan panas matahari- pada akhirnya akan menghasilkan butiran-butiran garam. Penggambaran yang logis antara tujuan yang jelas dengan apa yang dilakukan dan penggunaan bahan-bahan apa saja yang diperlukan sudah jelas pula. Hal ini merupakan satu indikator tentang konkritnya sebuah proses.
Kata peras yang digunakan adalah indikasi tentang sebuah proses yang membutuhkan tenaga dan potensi manusia. Jika dianalogikan, ketika pakaian basah diperas, hal tersebut adalah proses untuk mempercepat keringnya pakaian tersebut agar bisa digunakan kembali. Proses percepatan itu sama halnya dengan efisiensi dan efektivitas. Efektivitas dan efisiensi dalam kerja seseorang terutama dalam mencapai tujuan, cita-cita dan mimpinya, membutuhkan pendayagunaan potensi yang ada dalam dirinya, terutama otak dan tenaga.
Jika melihat sekilas –tanpa melihat lebih dalam lagi- “memeras laut” adalah hal yang masih abstrak. Namun metafora –yang abstrak- ini bisa menyatakan bahwa hal yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Seperti Napoleon Bonaparte yang mengatakan bahwa “segala sesuatu tidak ada yang tidak mungkin. Ini seperti paham relativitas.
Selain kerja otak dan fisik, penyair juga menyentuh aspek psikologis manusia. Ada rasa optimis yang ingin ditanamkan pada dirinya, yaitu tokoh “aku”. Jika dari sudut pandang teori pendidikan, ada 3 ranah yang menjadi lingkup ranah pendidikan pada diri manusia, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif adalah aspek logika dan pemikiran manusia. Afektif adalah sikap dan rasa manusia, sedang psikomotorik adalah ruang gerak (pergerakan) manusia.
Manusia yang menggunakan seluruh potensinya secara optimal maka apapun akan menjadi mungkin. Seperti dalam bahasa inggrisnya, impossible, jika dipisah menjadi Im possible yang berarti saya itu mungkin.
Ketidakpastian harus diiringi dengan optimis. Optimis itu memuat nilai-nilai keyakinan, pantang menyerah dan penananaman jiwa pemenang dalam menghadapi masa depan yang masih misteri. Ya, masa depan adalah hal misteri. Kepastian hanya milik masa lalu, sedang ketidakpastian itu milik masa depan. Tapi bukan tidak ada kemungkinan untuk merubah masa depan setidaknya seperti yang kita inginkan, harapkan, cita-citakan, dan impikan lewat proses “perubahan” saat ini.

Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi

Proses kerja di atas (otak, otot serta optimisme) jika dianalogikan dengan proses memasak adalah bahan-bahan, bumbu yang dibutuhkan dalam memasak. Bumbu-bumbu yang diperlukan agar menghasilkan masakan, makanan yang lezat untuk dikonsumsi.
Penyair menggunakan “mengasinkan hidup” bisa diinterpretasikan sebagai membumbui hidup yang pada akhirnya akan menghasilkan hidup yang “lezat” dan  di sini adalah hidup yang bermanfaat. Jika hidup itu adalah perjalanan, pengembaraan, maka penyair mempercayai ada kehidupan setelah kehidupan di dunia ini. Dan seperti ajaran serta keyakinan penyair yang sangat kental dengan ajaran agama (pesantren) maka hidup yang dimaksud adalah akhirat. Lalu kapan kata manfaat itu bisa digunakan jika manfaat itu –hanya- bisa dirasakan setelah kehidupan di dunia ini? Di sinilah letak pemahaman (pengetahuan) penyair. Manfaat itu harus diupayakan terealisasi baik di dunia ini (proses) dan akhirat. Walau penyair ingin menekankan bahwa proses kehidupan ini untuk kehidupan yang lezat dan nikmat nanti di akhirat. Ada penggambaran idealisme (keseimbangan) di dalamnya, antara dunia dan akhirat.

Di ladang-ladang sunyi

Penggambaran tentang kehidupan individual manusia. Ruang privasi. Ruang yang memberikan kemerdekaan dan hak penuh pada diri manusia untuk berbuat apa saja terhadap dirinya. Ada keseimbangan antara subjektivitas dan objektivitas sekaligus. Dalam ajaran Islam, jika seseorang meninggal dunia maka dirinya sendirilah yang menanggung semua akibat dari perbuatannya di dunia.

Mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi

Pada kalimat ini penyair ingin menekankan tentang proses perenungan dan pemikiran  akan hidup. Hidup ibarat memasak. Perenungan dan pemikiran adalah bumbu sekaligus proses pengolahannya, yang sekali lagi, pada akhirnya menjadikan hidup menjadi lezat, nikmat dan penuh manfaat.

Aku bakar langit temaram.

Lagi-lagi ada proses abstraksi, ketidakmungkinan menuju proses kemungkinan dan nyata. Dari kata yang digunakan; laut pada kalimat sebelumnya, dan pada kalimat ini, kata yang digunakan adalah langit. Kedua kata tersebut mengandung sifat yang hampir sama, yaitu misteri.  Keduanya sama-sama misteri, wujudnya luas bahkan mungkin tidak terbatas.
Langit temaram adalah suasana ketika langit tidak begitu terang dan juga tidak gelap. Temaram berada antara terang dan gelap. Ada penggambaran tentang yang belum jelas, samar, agar diperjelas. Sesuatu yang belum jelas, remang, dan belum diketahui –dikuasai- secara jelas (sepertinya penyair hendak mengatakan) agar hal itu dipelajari terus menerus agar dikuasai dan menjadi jelas. Di sini, ada penekanan tentang proses belajar yang terus menerus.
Dari kalimat membakar langit temaram, penyair mencoba untuk menghilangkan temaram, ketidakjelasan, ketidakpastian, menjadi terang, jelas dan mungkin. Dan proses kejelasan, menjadi terang ini diperkuat dengan kata yang digunakan, yaitu; api. Kata api berkonotasi dan dekat dengan cahaya, penerang.
Ingin diperjelas disini, penyair bukan ingin menghilangkan sesuatu tapi memperjelas sesuatu, walau kata yang dipakai adalah bakar, yang jika ditelusuri pembakaran adalah proses membakar sesuatu yang pada akhirnya menjadikan sesuatu yang dibakar itu menjadi abu, dan lama-kelamaan menghilang. Tidak, penyair tidak ingin menghilangkan tapi memperjelas. Yang ingin dihilangkan adalah remang, dan ketidakjelasan itu.

Bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api

Kata siasat dekat sekali dengan taktik, kecerdasan dan kecerdikan. Lagi-lagi ini adalah penggambaran tentang proses hidup yang diiringi perenungan, pemikiran, pembelajaran terus menerus, yang pada akhirnya dapat menimbulkan sikap bijak, atau pengambilan hikmah dari tiap kejadian.
Tokoh “kamu” adalah tokoh yang masih misteri(us) bisa siapa dan apa saja. Namun tokoh kamu ini adalah tokoh yang mempunyai peran vital, berpengaruh dan mempunyai arti bagi penyair. Kata bayang ini jika dianalogikan adalah penggambaran ketika seseorang jatuh cinta.
Ketika seseorang jatuh cinta maka orang yang dicintainya akan terus hadir walau hanya dalam bentuk bayang dan gambaran dalam fikiran.
Dalam kobaran api bisa berarti hal yang menggebu-gebu. Perasaan yang sungguh-sungguh, fundamental, bahkan mungkin esensial. Bisa juga kalimat di atas berarti karena saking terpengaruh dan selalu terbayang dengan sosok kamu maka tokoh aku terus mencari cara –entah – untuk menghindar atau terus mempertahankan bayang tokoh “kamu”. Menghindar karena kobaran api yang panas dan membakar realitas-realitas yang hadir atau mempertahankan bayang itu sendiri. Ada dilema pada kejadian ini.

Batu karam perahu karam
Tenggelam di rahang lautan
Darahku bergaram darahmu bergaram        
Menyduh asin doa di cangkir kehidupan

Sikap optimis yang terlalu (berlebihan) bisa menyebabkan seseorang menjadi ambisius. Pribadi yang keras, tegas karena sudah mengetahui tujuan hidup tidak serta merta akan lurus dan lancar dalam perjalanannya. Ia akan mengalami kegoyahan.
Pribadi dan hidup bahkan jalannya akan mengalami dengan apa yang disebut kegoyahan (ujian). Penyair ingin mengingatkan tentang salah satu fitrah manusia, yaitu sikap ketika menghadapi perubahan. Ketika menghadapi sesuatu yang berbeda dan berubah, manusia ada yang siap ada yang tidak, ada yang menerima dan berusaha menyesuaikan diri, ada yang tidak.
Seperti iman pada diri sseorang yang kadang naik kadang turun. Penggambaran tentang posisi manusia yang elastis dan tidak stagnan.
Manusia tetaplah manusia, walau ia makhluk yang paling sempurna tetap merupakan makhluk yang terbatas dan tempatnya salah dan lupa. Ada pesan tentang kesadaran diri. Diri yang sadar, sadar akan manusia dalam dirinya. Namun yang terpenting adalah ada potensi luar biasa pada diri manusia.
Ketika manusia berada dalam keadaan goyah, maka manusia harus sadar. Sadar untuk bangun dan bangkit. Tidak terpuruk. Tetap melanjutkan hidup.
Ketika manusia sadar bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas, tempat salah dan lupa, ketika manusia goyah, penyair mencoba mengingatkan bahwa manusia bisa jatuh dan tenggelam, terpuruk dan menyesal. Namun penyair mengingatkan pula bahwa manusia tersebut tidak jatuh ke dasar lautan. Manusia (yang jatuh) hanya berada di rahang lautan. Bukankah rahang itu masih berada di area mulut, yang bisa saja terbuka, kapanpun dan dimanapun, dan ini memberikan jalan untuk manusia keluar dari mulut itu.
Ada pesan “jangan terpuruk” ketika berada dalam kesalahan, goyah, masalah, ujian dan sebagainya. Bukankah ketika kita ada masalah, diibaratkan dengan 1 pintu kebahagiaan tertutup, masih ada pintu-pintu lain yang –masih bisa- terbuka. Pintu kebahagiaan.

Darahku bergaram darahmu bergaram.”

Darah itu aliran kehidupan. Jika penyair mengatakan darah bergaram, maka seperti yang dijelaskan diatas, ada proses sebelum menjadi garam. Atau mungkin ini penggambaran tentang hidup yang sudah digarami, dibumbui, hingga ia menjadi hidup yang lezat dan nikmat. Penyair menyatakan darahnya sebagai tokoh “aku” juga darah tokoh “kamu” sudah bergaram. Hidup mereka (tokoh aku dan kamu) dibumbui. Dibumbui untuk apa? Analogi tersebut bisa kita kembalikan pada masakan. Masakan yang dibumbui bertujuan untuk membuatnya jadi masakan yang layak dan pastinya enak, lezat untuk dimakan. Walau mungkin rasanya beda. Sebab rasa itu masalah subjektif dan relatif. subjektif karena rasa segala sesuatu tergantung dan kembali kepada yang merasakan (pelaku). Tokoh aku dan kamu bisa jadi merasakan hidup yang yang dibumbui namun mereka merasakan hal tersebut dengan rasa yang berbeda. Subjektifitas terhadap rasa. namun esensi dari hal ini adalah bahwa hidup setiap orang (tokoh kamu dan aku) selalu dibumbui baik itu dengan masalah, ujian, dan kejadian-kejadian lain yang semuanya itu merupakan bagian dari pembumbuan hidup.
Untuk apa proses pembumbuan tersebut? Penyair menjawab itu pada kalimat berikutnya, yaitu; menyeduh asin doa di cangkir kehidupan. Ada sisi religiusitas, metafisik dan bersifat ketuhanan lagi yang disentuh penyair. Kata doa yang digunakan cukup mempertegas hal ini.
Menyeduh asin doa. Dari kata yang digunakan, lagi dan lagi, penyair mempertegas bahwa kehidupan itu adalah sebuah proses. Proses adalah membuat, mengerjakan sesuatu untuk menjadikan sesuatu. Penyair menggunakan kalimat menyeduh asin doa, untuk mempertegas kedudukan, posisi dan eksistensi dirinya  (existence of human) terhadap eksistensi Tuhan (Existence of God).
Doa itu harapan. Keinginan yang diucapkan seorang hamba pada Tuhannya. Ada keyakinan yang mendalam pada diri penyair akan “intervensi” Tuhan pada dirinya. Ada kesadaran akan  keterbatasan sebagai makhluk.  Dan ini terlihat dari doa-doa yang diucapkan.
Kenapa penyair menggunakan kata asin untuk menyandangkannya pada kata doa? Kenapa tidak manis, rasa yang disukai hampir kebanyakan orang? Kenapa tidak pahit? Sepertinya penyair ingin menempatkan posisi doa itu pada rasa asin karena mengikuti kata-kata yang digunakan pada bait sebelumnya. Ada konsistensi pada syair ini. Konsistensi penyair yang menyatakan bahwa hidup adalah proses “pembumbuan” agar menghasilkan hidup yang “lezat”. Hanya penyair tidak menegaskan tentang kapan hidup bisa dikatakan atau dirasakan “lezat” itu, apakah ketika hidup di dunia ini atau kehidupan setelah di dunia ini (akhirat)?
Apakah rasa doa itu memang asin? Bukankah setiap doa seorang hamba itu pasti akan dikabulkan Tuhannya? Bukankah ketika doa seorang hamba dikabulkan akan menimbulkan rasa senang, dan rasa senang itu jika dianalogikan dengan rasa adalah dengan rasa manis, dan kebalikan dari itu adalah rasa pahit? Penyair begitu memperhitungkan kata-kata yang digunakan. Dia tidak menggunakan kata manis, karena, sadar atau tidak, doa itu ada yang langsung dikabulkan ada yang tidak. Posisi kesadaran akan proses dan waktu dikabulkannya doa seorang hamba itulah yang akhirnya membuat penyair menggunakan kata asin. Dia tidak menggunakan kata pahit karena dia meyakini bahwa doanya pasti terkabul. Tidak juga menggunakan kata manis, karena dia juga sadar bahwa doanya tidak langsung terkabul.
Dengan kata lain, penyair ingin menggambarkan bahwa doa-doa yang diucapkan seorang hamba adalah tabungan seorang hamba. Yang kapan saja bisa digunakan untuk memberinya tenaga, semangat bahkan nafas yang lebih dalam proses kehidupan ini.

“Karena laut menyimpan teka-teki
Di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
Karena layar hanya selembar sepi
Di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang”

Penyair menyadari tentang kemisteriusan dan ketaka-tekian laut, hingga ia menyatakan dan menegaskan tentang hal ini pada bait selanjutnya “karena laut menyimpan teka-teki”. Ya, memang laut menyimpan begitu banyak teka-teki. Sebagai manusia yang terbatas penglihatannya, maka apa-apa yang dilihatnya pada laut hanya yang tampak saja (seperti ombak dan air laut pada permukaannya). Kedalaman dan apa-apa yang ada di dalam laut, mata kasat manusia tidak bisa melihatnya. Laut sering menjadi tema dalam penciptaan puisi, terutama puisi Indonesia. Disinilah sepertinya kelebihan seorang penyair, melihat sesuatu yang masih misteri dan coba diungkapkan dan gambarkan tentang kemisteriusan tersebut lewat kacamata penyair lewat puisi-puisinya.
Ketika penyair menyadari bahwa laut adalah misteri dan penuh teka-teki, maka penyair penggunakan laut tersebut untuk merenung. Menggunakan daya fikir dan kreasinya untuk menjawab dan menggunakan teka-teki tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Dan pada Rubaiyat Matahari ini, penyair menggunakan kemisteriusan tersebut untuk merenungi salah satu unsur yang ada pada laut, yaitu debur gelombang. 
Debur gelombang juga memiliki interpretasi yang beragam. Gelombang bisa berarti sebagai kekuatan yang dahsyat, irama –atau bahkan musik- yang dilahirkan laut, bisa juga berarti segala hal yang membuat manusia terombang ambing (dalam hal ini; masalah, ujian hidup), dan sepertinya hal terakhir inilah yang ingin direnungi oleh penyair. Setiap kejadian dan fenomena yang dialami.
Setiap fenomena (kejadian alam, atau kejadian yang dialami manusia pada kehidupannya) adalah bahan perenungan bagi seorang penyair. Perenungan atas kemisteriusan (eksistensi, kausalitas dan sebagainya) yang mengejawantahkan jawaban penyair atas semua fenomena misteri lewat puisinya.
Semua perenungan itu bisa dikatakan pragmatis, karena memang mencari jawaban tentang keterkaitan fenomena-fenomena misteri yang penuh teka-teki dengan kehidupan yang dialami. Perenungan penyair pada Rubaiyat Matahari ini dikaitkan dengan puncak suara tokoh “kamu”. Tokoh kamu yang juga misteri, tidak jelas siapa. Hanya bisa diinterpretasikan sebagai tokoh atau sosok yang berpengaruh bagi penyair, bisa orang yang disayangi dan dicintai, bisa juga sebaliknya. Karena pengaruh itu bisa pengaruh baik, bisa juga pengaruh buruk.
Pada kalimat berikutnya lagi-lagi penyair masih menggunakan kata yang berhubungan dengan laut. Penyair menggunakan kata layar. Layar yang identik dengan perahu. Layar yang menjadi pusat kekuatan perahu untuk bergerak di lautan. Kekuatan untuk mengarungi lautan. Lautan yang bisa digambarkan sebagai proses perjalanan kehidupan.
Kenapa layar yang digunakan penyair hanya selembar sepi. Sepi yang identik dengan sendiri, kesendirian. Bukankah di kehidupan ini kita tidak sendiri? ada orang lain –yang mungkin- bisa membantu atau menemani “pelayaran” kita? Sepertinya penyair ingin menegaskan posisi pribadi manusia sebagai individu yang bertanggung jawab pada hidupnya sendiri. Namun sepi bagi penyair bukan sikap egois tidak peduli dengan orang lain bahkan tidak memperdulikan eksistensi yang lain, sepi bagi penyair adalah proses perenungan. Lagi-lagi, penyair sepertinya ingin mengedepankan proses perenungan akan hidup.
Pertanyaan selanjutnya, untuk apa perenungan ini atau apa manfaat perenungan ini? Hal ini dijawab penyair lewat kalimat berikutnya, “dipuncak doamu kukibarkan bintang gemintang”. Perenungan ini untuk mengibarkan bintang gemintang. Bintang gemintang yang mengandung cahaya. Cahaya yang terang dan indah. Bukankah bintang itu identik sebagai sesuatu yang indah dan penghias malam. Dan keindahan itu dikibarkan penyair pada puncak doa. Puncak doa ketika doa –mungkin- sudah terkabulkan.

“Pohon cemara ikan cemara
Menggelombang biru di riak-riak senja
Antara pohon dan ikan kita adalah cemara
Mendekap cakrawala di dasar samudera”

Pada bait ini penyair mengawali kalimatnya dengan pohon cemara. Pohon yang memiliki bentuk yang khas. Seperti bentuk segitiga yang menjulang tinggi. Pohon yang sering digunakan umat kristiani pada perayaan natal. Pohon cemara yang bisa dikatakan lambang dan simbol kebahagiaan, keceriaan.
Apakah ada kaitan antara kata cemara dan bahagia? Entahlah, namun seringkali kata cemara yang notabene adalah nama pohon sering digunakan untuk menyatakan kebahagiaan, seperti keluarga cemara yang berarti keluarga yang bahagia. Dan kali ini kebahagiaan (kata cemara) disandangkan penyair dengan ikan. Apakah ada ikan cemara? Atau ini hanya ingin menggambarkan tentang ikan yang bahagia?
Tidak ada definisi yang tepat ketika menginterpretasikan sebuah hal atau fenomena. Begitu pula dengan kata cemara terutama ikan cemara ini. Namun sepertinya penyair ingin menggambarkan tentang sebuah rasa bahagia. Dan sepertinya ini ada kaitannya dengan bait sebelumnya “mengibarkan bintang-gemintang”.
Ketika bahagia datang, maka kehidupan akan terlihat dan terasa indah. Apakah hal ini berkaitan dengan warna biru yang dikatakan penulis pada kalimat berikutnya, “menggelombang biru di riak-riak senja”.
Warna biru identik dengan sesuatu yang bersifat luas dan tenang. Sepertinya ketenangan ini yang ingin digambarkan penyair ketika seseorang merasa bahagia, sebab bahagia itu bisa menimbulkan ketenangan dalam hidup manusia. Atau mungkin penyair malah ingin menenekankan aspek ketenangan itu sendiri. ketenangan yang bergelombang, memenuhi rasa pada diri manusia.
Jika memang ketenangan itu yang ingin digambarkan penyair, maka tepatlah kata yang digunakan penyair selanjutnya; riak-riak senja. Karena senja identik dengan suasana damai dan tenang. Ketika hiruk pikuk dan panasnya siang akan berakhir maka senjalah yang menjadi tanda kelahiran hal tersebut. Bisa dikatakan, ketika senja lahir maka hiruk pikuk dan panas siang akan berakhir.
Lalu di manakah posisi manusia ketika ketenangan itu ada? Penyair menjawabnya pada kalimat berikut; “antara pohon dan ikan kita adalah cemara”. Posisi manusia hanya sebagai cemara. Cemara simbol bahagia. Bahagia yang melahirkan damai dan tenang. Maksudnya, penyair ingin menggambarkan bahwa kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan itu berada antara pohon dan ikan. Ini berarti bahwa kebahagiaan manusia itu masih relatif dan tidak tetap, karena masih berada di antara dua hal, ikan dan pohon. Jika goyang sedikit maka kebahagiaan itu milik ikan atau mungkin milik pohon. Kebahagiaan memang tidak abadi, dan itu relativitas pada diri manusia. Bagaimana manusia menyikapi segala fenomena bahagia itu. atau bagaimana manusia bisa membuat bahagia segala fenomena yang dialaminya. Ini tergantung dan kembali pada sudut pandang manusia yang bersangkutan. 
Semua kebahagiaan digambarkan penyair berfungsi untuk mendekap cakrawala di dasar samudera. Entah, ada kaitannya atau tidak antara hal yang misteri dengan bahagia. Sebab kata yang digunakan penyair (cakrawala dan samudera) adalah kata-kata yang misteri, mengandung teka-teki. Ataukah ini penjelas dan penegas dari proses perenungannya itu. perenungan akan hal-hal yang misteri dan teka-teki. Apakah penyair ingin menggambarkan tentang kebahagiaan seorang penyair adalah ketika sudah mendapatkan jawaban dari proses perenungannya. Entahlah.

“Di rahang rahasia rinduku abadi
Sampai runtuh seluruh sepi
Rinduku adalah ketabahan matahari
Menerima sepi di relung puisi”

Seorang penyair memang kadang menjadi seorang yang termarjinalkan. Entah oleh keadaan atau mungkin zaman. Penyair seperti berada dalam ketiadaan. Wujudnya ada namun seperti tidak ada. Hal ini terasa benar pada bait ini. Penyair menggambarkan tentang keadaan sepi dan tabahnya penyair dengan puisi-puisinya.
Karena penyair sering bergulat (dalam perenungannya) dengan hal-hal yang bersifat misteri. Misteri yang masih teka-teki. Teka-teki yang belum terjawab secara pasti. Maka hal ini mempengaruhi penyair dalam proses penciptaan puisi. Begitu juga dalam rubaiyat Matahari ini. Kata-kata dan kalimat yang berhubungan dengan misteri digunakan untuk mendeskripsikan tentang kerinduannya. Entah rindu akan apa. Apakah rindu pada sosok dan tokoh “kamu” yang berpengaruh baginya, atau rindu siapa pada siapa saja.
Rindu yang tersimpan sebagai rahasia. Rindu yang tidak diketahui siapapun. Rindu yang akan terus tersimpan hingga runtuh seluruh sepi. Hingga rindu itu terpenuhi dengan bertemunya sang perindu dengan orang yang dirindui. Sepi yang hadir ketika sendiri. rindu yang makin menggebu dalam sendiri pilu. Ya, rindu memang bisa dikatakan sebagai penyakit yang perlu diobati. Obatnya adalah bertemu dengan orang yang dirindu. Dan jika sudah bertemu dengan orang yang dirindu, jika sudah diobati rindu itu maka sepi yang hadir dan menyerang sang perindu akan runtuh. Rindunya akan hilang tak berbayang.
Rindu bisa diartikan sebagai rasa menggebu ingin bertemu. Bertemu dengan sosok dan tokoh “kamu” yang begitu berpengaruh. Kerinduan ini sering melahirkan kegelisahan bahkan kesal yang mendalam. Karena ini berkaitan dengan dorongan psikologis dari dalam diri manusia. Dorongan fitrah pada diri manusia. Dorongan alamiah yang membuat gelisah jika tidak segera diobati rindunya. Hanya ketabahan yang bisa meredam dan membentenginya dari kegelisahan bahkan kesedihan. Hal ini dijelaskan penyair pada kalimat; “rinduku adalah ketabahan matahari”.
Matahari yang memiliki kekuatan luar biasa. Matahari yang akan selalu ada dalam segala cuaca, di musim hujan sekalipun. Walau sering ia terhalang awan mendung namun ia tetap ada sebagai pribadi yang kuat dan berdaya. Matahari yang begitu istimewa bagi hidup manusia, sebab ia sumber kehidupan. Sebagai sumber kehidupan, ia mempunyai kekuatan luar biasa, sifat yang istimewa, diantaranya adalah tabah. Dan sifat ini yang digunakan penyair untuk menggambarkan kerinduannya. Tabah dalam segala fenomena, termasuk dalam berkarya. Menulis puisi dan segala makna di dalamnya. Sebab puisi memang sering dipandang sebelah mata. Entah karena apa, puisi sering dianggap hanya sebagai kata-kata indah saja. puisi dianggap sesuatu yang hanya segelintir orang saja dapat mengerti. Puisi yang tidak mempunyai tempat di ranah politisi. Puisi yang semakin berada di ujung sepi.
Karena keadaan puisi yang dianggap anak tiri pada zaman hedonis dan konsumeris ini maka penyair menyadari betul akan hal ini. Yang diterimanya hanya sepi. Tidak seperti artis pada layar televisi, yang diidolakan dan dielu-elukan oleh masyarakat negeri ini. Bahkan kehidupannya yang berlimpah materi. Berlawanan sekali dengan kehidupan puisi (kebanyakan para penyair) yang seringkali jauh dari kata bergelimangan materi. Lihat dan bandingkan saja antara “bayaran” artis sekali tampil di televisi dengan penyair yang tampil membawakan puisi. Lihat dan bedakan saja, antara “harga” sebuah lagu yang nyanyikan oleh artis dengan “harga” puisi yang diapresiasi. Begitulah puisi, yang seakan menjadi anak tiri dan semakin merasakan sepi.

“Di relung-relung malam lambaianku menua
Juga pandanganmu di kaca jendela
Alangkah dalam makna senja
Menanggung berat perpisahan kita”

Sudah fitrah dan alamiah, manusia semakin hari menjadi semakin tua dan pada akhirnya akan meninggal dunia. Hal ini juga disadari oleh penyair lewat kata-kata; “lambaianku menua”. Menjadi tua adalah hak mutlak dan pasti bagi manusia. Siapapun ia, berprofesi apapun ia, semua yang bernama manusia bahkan semua makhluk ciptaan Tuhan akan menjadi tua.
Tua, keadaan ketika tenaga tidak seperti masa muda. Kekuatan yang mulai pudar darinya, melemah. Ketika manusia menua maka semua potensi yang ada dalam dirinya akan melemah, tidak bekerja dengan optimal. Gerak yang cepat menjadi lambat. Semua indera akan menurun fungsinya, apapun bentuk dan rupanya.
Dari proses menjadi tua ini, penyair mencoba mengingatkan tentang makna yang terdapat di dalamnya. Apakah manusia hanya akan menjadi sekedar tua tanpa ada makna. Menua lantas mati tidak ada bekas dan sisanya. Terkubur bersama jasadnya. Bagi seorang penyair, menjadi tua adalah proses memberi makna. Karena ketika muda (masa-masa sebelum tua) dia terus merenungi segala. Dan hal inilah yang didapatkan dari proses perenungannya. Proses perenungan untuk mendapatkan makna. Makna inilah yang akan menjadi warisannya. Walau ia sudah tiada (meninggal dunia) ada pelajaran dan makna yang ditinggalkannya. Inilah proses “penggaraman” yang dimaksud penyair pada bait-bait sebelumnya. Memberikan manfaat bagi manusia yang lain lewat makna yang disampaikan pada puisi-puisinya. Kalaupun bukan makna yang diserap manusia di sekitarnya, setidaknya proses berfikir yang disebarkan lewat puisi. Lewat puisi penyair mengajak manusia untuk memikirkan segala. Dalam bekerja dan beraktivitas, manusia diajak untuk selalu berfikir akan menghasilkan kerja dan aktivitas yang luar biasa.
Melihat kata yang digunakan; malam, oleh penyair pada Rubaiyat Matahari ini, bisa dikatakan sangat tepat. Sebab malam identik dengan waktu istirahat. Waktu melepaskan lelah ketika sudah seharian (ketika siang) beraktivitas dan bekerja. Waktu yang digunakan untuk tidur. Bukankah tidur itu setengahnya mati. Orang yang sedang tidur bisa dianggap mati, setengah mati. Sangatlah tepat penyair menggunakan kata malam yang dihubungkannya dengan kata “menua”. Menua yang identik dengan kelemahan dan dekatnya dengan kematian. Walau kematian masih misteri dan tidak ada seorangpun yang tahu tentang waktunya yang pasti, namun secara alamiah orang-orang yang sudah tua memang berada dekat dengan kematiannya.
Orang yang sudah tua, seluruh indera dan potensi dalam dirinya akan mengalami penurunan. Dalam hal ini, penyair menggunakan perwakilan lewat kata “pandangan”. Salah satu indera yang ada pada manusia; mata.
Apakah kita akan mati begitu saja tanpa meninggalkan hal-hal yang bermanfaat untuk generasi sesudah kita dengan hal-hal yang bermakna? Begitulah kira-kira pertanyaan yang ingin disampaikan penyair lewat bait dalam puisinya.

“Dari pintu ke pintu ketukanku kembali
Tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
Dari rindu ke rindu aku pun mengaji
Tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi”

Proses menggarami kehidupan, bagi orang yang sudah tua, melewati berbagai fase, fenomena, dan kejadian-kejadian. Semua itu dilambangkan oleh penyair lewat kata pintu. Pintu yang menjadi tempat masuknya seseorang atau sesuatu pada sebuah ruang atau rumah.
Pada kalimat “dari pintu ke pintu ketukanku kembali”, sepertinya penyair (yang mungkin sudah tua) sedang berada pada sebuah nostalgia. Mencoba mengingat apa-apa yang sudah lewat. Berada pada kenangan dari semua proses yang sudah ia lakukan.
Penyair mencoba mengingatkan bahwa ketika seseorang sudah berada pada masa tuanya, maka ingatan-ingatan akan masa lalunya akan hadir. Entah dalam bentuk penyesalan atau bentuk kepuasan. Dan itu menjadi sebuah pilihan. Pilihan ketika manusia masih muda dan bisa bergerak, bekerja, dan beraktifitas dengan segala daya dan potensi yang ada. Potensi yang dimilikinya. Karena ketika sudah tua, hanya mampu mengingat dan melihat apa yang sudah dilakukannya ketika masih muda. Itupun jika, kemampuan mengingatnya masih ada, belum pikun.
Karena waktu terus berjalan, tak peduli bagaimana manusia mengisi hari-harinya, maka penyair menggambarkan hal itu dengan kalimat berikutnya; “tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi”. Penggambaran tentang bulan Januari yang menjadi tanda bergantinya tahun. Berganti tahun maka betambah pula umur dan usia seseorang. Semakin bertambah usia seseorang, secara otomatis ia akan menua, menjadi tua, melemah dan semakin tak berdaya, yang pada akhirnya akan meninggal dunia.
Sebagai penyair, Jamal D. Rahman, mencoba mencari arti dan makna akan cinta lewat puisi-puisinya. Namun ia menyadari bahwa cinta memang sulit untuk didefinisikan. Tidak ada definisi tunggal yang mutlak dan pasti akan cinta yang bisa diterima semua manusia. Sama halnya dengan puisi, ilmu pengetahuan dan makna kehidupan, yang tak akan habis digali dan dipelajari walau sudah jutaan tahun dilewati.

Interpretasi Gaya Bahasa

Puisi Rubaiyat Matahari ini menggambarkan dengan jelas tentang kematangan penyair. Dari struktur penulisan, penyair menggunakan gaya simile dan metafora yang hampir bersamaan. Seperti yang dikatakan Wren dan Martin “simile is a comparison made between two objects of different kinds which have, however, at least one point in common”.  Simile adalah adanya perbandingan antara dua objek atau benda yang berbeda jenis namun memiliki titik kesamaan. A metaphor is an implied simile. It does not, like the simile, state one think is like another or acts as another, but takes that for granted and proceeds as if the two things were one. Lihat saja dari kata-kata pada tiap baitnya. Berdarah dan menangis (pada 1), hujan, awan dan bintang gemintang (pada 2), perahu dan madura, api dan matahari (pada 3), laut, garam dan mengasinkan. Bakar dan kobaran api (pada 4) dan pada bait-bait selanjutnya terasa sekali bahwa kata-kata yang dipilih dan digunakan penyair dalam puisinya ini sangat berhubungan hingga terasa dan meninggalkan kesan suatu kesatuan yang utuh. Ya, puisi ini utuh sebagai kesatuan dari berbagai unsur yang membentuknya. Kata-kata yang berlainan namun memiliki titik kesamaan, baik pada makna atau eksistensi lambang, bersatu pada puisi Rubaiyat Matahari ini.
Selain itu, puisi ini juga bisa dikatakan berbentuk sajak. Ini bisa dilihat dari rima akhirnya. Penyair tidak hanya ingin menyampaikan makna, namun perantara penyampai makna yaitu puisi ini begitu memperhatikan bentuk estetika dalam penulisannya. Dari kata-kata yang digunakan juga terlihat begitu tepat. Diksi yang digunakan seperti telah difikirkan kata apa saja yang bisa dipakai. Selain berbentuk sajak, penulisan pada puisi ini juga sangat mempertimbangkan metrum atau ketukan nada pada tiap baris dan baitnya.


Inerpretasi Kelemahan

Pertama, dari segi metrum. Jika pola sajak yang digunakan diringi dengan metrum atau jumlah ketukan yang sama, maka puisi ini akan lebih kuat terasa ketika dibaca. Seperti yang telah dibahas di atas, hanya bagian ketiga yang memiliki metrum yang sama pada tiap barisnya, sedangkan pada bagian yang lain metrum atau jumlah ketukan nadanya tidak sama.
Kedua, puisi ini untuk kalangan siswa-siswa sekolah sepertinya akan sulit dipahami, sebab di beberapa bagian ada kata-kata yang menggunakan metafora yang sangat kuat. Hingga untuk memahaminya membutuhkan kerja ekstra.  

Interpretasi kekuatan

            Pertama, puisi ini begitu kuat menggunakan pola sajak hingga ketika dibaca akan menimbulkan keindahan tersendiri.
Kedua, puisi ini representasi dari kematangan penyair, sebab dari pilihan kata yang digunakan begitu kuat, padat, sekaligus indah.
Ketiga, walau puisi ini dibagi ke beberapa bagian, puisi ini tetap satu kesatuan puisi yang utuh. Tiap bagian saling berhubungan bahkan menguatkan pesan dan makna yang ingin disampaikan.

Interpretasi kesimpulan

            Pertama; Ada hubungan antara penyair dengan Tuhannya. Ada ungkapan penyair pada Tuhannya. Menurut Toshihiko Izutsu, relasi manusia dengan Tuhannya terbagi menjadi empat. Pertama, relasi Ontologis; relasi ini menempatkan Tuhan sebagai sumber eksistensi manusia dan manusia sebagai representasi yang eksistensinya berasal dari Tuhan. Kedua, relasi komunikatif; relasi ini membawa Tuhan dan manusia yang dekat satu sama lain –Tuhan tentu saja mengambil inisiatif- melalui komunikasi timbal balik. Ketiga, relasi Tuan-hamba; relasi ini melibatkan, Tuhan sebagai Tuan (Rabb), manusia sebagai “hamba”-Nya (‘abd). Keempat, relasi etik; relasi ini didasarkan perbedaan dua aspek. Tuhan yang kebaikannya tak terbatas dan Tuhan yang murka. Di sisi manusia terdapat perbedaan antara rasa syukur di satu pihak dan takut kepada Tuhan di sisi lain. Lalu dimanakah eksistensi hubungan penyair dengan Tuhannya pada “Rubaiyat Matahari” ini? Sepertinya penyair menyadari semua bentuk hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Hingga ia menempatkan Tuhan di segala aspek kehidupan. Dan ini terlihat dari kalimat pembuka puisi ini. “Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi”.
            Kedua; penegasan terhadap tokoh “kamu” yang merupakan sosok yang begitu berarti bagi penyair.
            Ketiga; pendeskripsian tentang proses hidup dan kehidupan.
Keempat.; ada doa yang dibahas dan diucap. Ada harapan yang ingin disampaikan penyair dalam proses kehidupannya.
Kelima; kesadaran akan waktu dan usia. Waktu yang akan terus melaju dan usia yang semakin bertambah.
Keenam; puisi ini merupakan puisi yang mengandung misteri yang tak akan habis untuk dibahas dan dikaji.



Sawangan, April 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)