Keberagaman Budaya (Agama) Adalah Kekuatan Indonesia

“Karena kita sudah terlalu lama memiliki Indonesia, maka rasa memiliki Indonesia sudah semakin puda”. Ucapan teman saya, seorang mahasiswa yang aktif dalam forum diskusi sosial dan keagaaman di Ciputat, serta merta menimbulkan gejolak dalam diri saya. Ada gelombang yang mengantarkan setuju dan sepakat atas ucapannya namun gelombang yang lain mengantarkan benak saya pada dimensi berbeda. Dimensi yang mempertanyakan “kenapa bisa seperti itu”.
Lalu tiba-tiba analogi saya kembali pada kenangan masa kecil. Ketika saya dibelikan sepeda baru oleh orang tua, alangkah senang rasa di hati ini. sepeda itu saya mainkan setiap hari, saya cuci bahkan saya ajak ia menemani tidur di kamar tidur. Begitulah kira-kira gambaran masa kecil ketika saya memiliki sepeda yang baru.
Namun lama-kelamaan sepeda baru itu, mulai luput dari perhatian saya. Kotoran-kotoran yang menempel di tubuhnya sudah jarang saya bersihkan, bahkan semakin lama sepeda itu sudah saya letakkan –kadang- di depan rumah, di belakang rumah, samping rumah, bahkan gudang, dan hanya sesekali saja saya “tengok” ketika saya ingin memainkannya.
Kembali ke ucapan teman saya di atas. Apakah seperti itu juga yang kita –warga negara Indonesia- rasakan terhadap Indonesia? Apakah karena sudah terlalu lama kita memiliki Indonesia, hingga seringkali ia kita acuhkan dan campakkan. Hanya sesekali saja ia kita “tengok”-dan itu pun- ketika kita membutuhkannya.  Misalnya, ketika kita mencalonkan diri untuk menjadi calon presiden. Indonesia kita bawa-bawa dalam kampanye dan orasi politik agar warga negara Indonesia merasa bahwa kitalah yang akan memajukan Indonesia karena membawa-bawa nama Indonesia.
Indonesia baru menjadi slogan yang sering diucapkan ketika SBY berkampanye pada masa-masa pemilu. Dan bisa jadi, slogan Indonesia Baru, ini salah satu yang menjadikan dirinya terpilih menjadi presiden Indonesia di tahun 2004.  Dan ini bisa dilihat dari program-program serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasakan baru oleh masyarakat di masa kepemimpinannya. Seperti program sertifikasi guru, BLT (bantuan langsung tunai) ketika program konvensi minyak tanah ke gas. Program-program yang “baru” seperti itulah yang membuat masyarakat masih mempercayainya sebagai presiden Indonesia untuk dua periode hingga 2014.
Berbicara mengenai hal yang “baru” itu berkaitan erat dengan proses (kerja) kreatifitas. Proses kreatifitas inilah yang melahirkan hal-hal yang baru. Saya jadi teringat ucapan Glen Fredly ketika ia menjadi salah satu narasumber (pembicara) pada acara ulang tahun Abdurrahman Wahid Centre (AWC) yang dilaksanakan pada 19 Juni 2014 di Aula terapung perpustakaan pusat UI Depok. Ia mengatakan bahwa “negara membutuhkan orang-orang yang kreatif, sebab merekalah yang akan mamajukan negara ini”.
Bahkan Radhar Panca Dahana yang menjadi pembicara pada acara ulang tahun ke-2 AWC yang mengambil tema “anak Muda berbicara budaya”, itu sempat menyinggung tentang pilpres tahun ini. dengan nada agak “jengkel” ia mengatakan kepada tim pemenangan (timses) presiden agar ada orang-orang yang kreatif dan berbudaya di dalamnya. Ia bahkan mencoba untuk menggunakan relasinya kepada tim pemenangan presiden agar mengadakan dialog, diskusi, bahkan debat kebudayaan pada pilpres kali ini. nada “jengkel” Radhar bukan tidak beralasan, sebab usul dan “proses kreatifnya” tidak ditanggapi oleh tim pemenangan presiden.
Terlepas dari ketidakjelasan tim pemenangan presiden yang mana yang ia maksud dari ucapannya itu, ada maksud yang tersirat di dalamnya. Sepertinya Radhar ingin memberitahukan bahwa presiden yang terpilih mendatang harus paham betul atau setidaknya mengetahui tentang kebudayaan. Bukankah ada adagium yang mengatakan bahwa “tinggi rendahnya suatu bangsa dan negara bisa dilihat dari buidayanya”. Bahkan “kebudayaan menjadi hal yang vital dan fundamental bagi kemajuan sebuah negara”, lanjut Radhar.
Nah, untuk presiden terpilih mendatang sepertinya harus lebih memperhatikan orang-orang kreatif dengan proses dan kerja kreatifnya, agar inovasi-inovasi (sesuatu yang baru) bisa lahir ketika ia memimpin negara yang memiliki kebudayaan yang luar biasa banyak dan hebatnya ini. dan yang terpenting adalah agar masyarakat Indonesia memiliki Indonesia yang baru. Bisa dibayangkan bukan jika masyarakat memiliki Indonesia yang baru?
Indonesia baru dengan kebragaman budaya yang nantinya akan menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia. Hal senada dikatakan oleh Ach. Suaedy, direktur AWC, saat “kabar Kampoeng” mewawancarainya seusai acara ulang tahun AWC yang ke-2. “AWC ini sebenarnya tidak “muluk-muluk” keinginannya. AWC hanya ingin interfaith Dialogue terus terlaksana agar keberagaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadi kekuatan besar yang dimiliki Indonesia, termasuk agama dan kepercayaan di dalamnya”.
“dialog-dialog kebudayaan, interfaith dialogue, seperti ini harus sering dilaksanakan agar kedamaian bisa dirasakan di Indonesia ini. tidak ada lagi kekerasan dan aksi-aksi anarkis yang terjadi di Indonesia. Sebab kekerasan dalam bentuk apapun dan atas dasar serta atas nama apapun tidak dibenarkan. Terutama oleh Islam. kekerasan yang terjadi belum lama ini di Jogja, misalnya, itu bisa terjadi karena kurang pahamnya masyarakat Indonesia tentang keberagaman budaya Indonesia. Nah, AWC ini hadir untuk meredam aksi-aksi kekerasan seperti itu, agar konsep ‘islam Rohmatan Lil ‘alamin” itu tidak hanya menjadi slogan dan simbol, tetapi terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Ungkap Yenny Wahid, putri Gusdur.
Acara ulang tahun AWC ini bisa menjadi salah satu cara untuk melahirkan generasi-generasi kreatif yang pada akhirnya bisa menimbulkan Indonesia baru dengan proses-proses kreatifnya. Ini bisa dilihat dari rangkaian acara yang dimulai dari pukul 12.00 hingga 18.00, mulai dari penampilan musik Etnik: gamelan jawa dan pencak silat oleh Sekarwidya Makara UI, kemudian dilanjutkan dengan bincang budaya yang diisi oleh Radhar Panca Dahana, Alex komang, dan Saras Dewi. Diselingi kembali oleh penampilan tari dari Sekarwidya Makara UI, pembacaan puisi oleh Faisal Kamandobat dan penampilan solo terompet oleh David, mahasiswa UI.
Acara yang diakhiri dengan pemotongan tumpeng oleh Yenny Wahid itu seolah ingin mengatakan “inilah Islam, Inilah Indonesia yang baru, dengan keberagaman budaya –termasuk agama- yang menjadi kekuatan kita”.
Semoga Indonesia menjadi indonesia yang baru. Semoga keberagaman budaya –agama- menjadi kekuatan besar yang baru bagi Indonesia. Semoga AWC terus “eksis” mengiringi proses kreatif dalam interfaith dialogue dan pada akhirnya mewujudkan Islam rohmatan lil’alamin, ,memujudkan islam yang damai, memujudkan Indonesia yang damai. Selamat ulang tahun Abdurrahman Wahid Centre.


Juni, 2014. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)