Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2014

Keberagaman Budaya (Agama) Adalah Kekuatan Indonesia

“Karena kita sudah terlalu lama memiliki Indonesia, maka rasa memiliki Indonesia sudah semakin puda”. Ucapan teman saya, seorang mahasiswa yang aktif dalam forum diskusi sosial dan keagaaman di Ciputat, serta merta menimbulkan gejolak dalam diri saya. Ada gelombang yang mengantarkan setuju dan sepakat atas ucapannya namun gelombang yang lain mengantarkan benak saya pada dimensi berbeda. Dimensi yang mempertanyakan “kenapa bisa seperti itu”. Lalu tiba-tiba analogi saya kembali pada kenangan masa kecil. Ketika saya dibelikan sepeda baru oleh orang tua, alangkah senang rasa di hati ini. sepeda itu saya mainkan setiap hari, saya cuci bahkan saya ajak ia menemani tidur di kamar tidur. Begitulah kira-kira gambaran masa kecil ketika saya memiliki sepeda yang baru. Namun lama-kelamaan sepeda baru itu, mulai luput dari perhatian saya. Kotoran-kotoran yang menempel di tubuhnya sudah jarang saya bersihkan, bahkan semakin lama sepeda itu sudah saya letakkan –kadang- di depan rumah, di belakan...

Kekerasan Dalam Sastra

Toleransi beragama di Indonesia kembali ternoda. Beberapa hari yang lalu, sekelompok masa bergamis (menggunakan baju gamis) menyerang umat kristiani yang tengah melakukan ibadah di salah satu gereja di Jogjakarta. Penyerangan tersebut, belakangan, berlatar belakang lantaran gereja tersebut merupakan sebuah rumah yang berubah fungsi menjadi tempat ibadah (gereja). Sungguh hal ini begitu mencoreng kedamaian dan agama damai yang melekat pada Islam. Sebab mereka yang menyerang mengenakan gamis yang identik dengan pakaian umat Islam. mereka (para penyerang) adalah kelompok yang mengatasnamakan islam tapi tidak berislam. Saya tidak ingin menyoroti lebih jauh kejadian tersebut lewat sudut pandang ideologis atau agama, saya ingin melihatnya dari sudut pandang sastra. Kelompok (orang-orang bergamis) yang menyerang umat kristiani yang sedang beribadah adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal sastra. Mungkin mereka tahu atau setidaknya pernah tahu tentang sastra. Tapi mereka menolak kehad...

Tak Habis Membaca Misteri Puisi (Sebuah apresiasi terhadap puisi Rubaiyat Matahari)

Puisi adalah misteri yang tak habis untuk dikaji. Ia seperti candu yang menimbulkan ekstasi tersendiri bagi para pembaca, pengkritik, pemerhati, bahkan untuk penyairnya sendiri. lantaran puisi menimbulkan “ketagihan” untuk terus dikaji maka puisi tak pernah mati. Puisi adalah keabadian dalam dimensinya sendiri. Walau puisi masih erat dengan kesendirian, ia bisa menelusup ke berbagai sisi kehidupan. Hal itu bisa dilihat dari berbagai tema yang dibicarakan puisi. Dan yang perlu dicatat adalah bahwa puisi itu representasi dari berbagai dimensi kehidupan, baik dimensi spritual maupun emosional manusia. Hingga tak jarang puisi bisa menarik sisi lahir dan batin manusia. Salah satu puisi yang menarik –dan mungkin tak habis untuk dikaji- adalah puisi yang berjudul Rubaiyat Matahari. Rubaiyat Matahari 1 Dengan bismillah berdarah di rahim sunyi Kueja namamu di rubaiyat matahari Kau dengar aku menangis sepanjang hari Karena dari november-desember selalu lahir matahari 2 Eng...