Kebahagiaan dan Kesedihan di Sembilan Ramadhan



Setiap masuk hari ke-sembilan Ramadhan, memori saya selalu mengarah ke tahun 2002. Hari kesedihan sekaligus bersejarah. Terutama untuk saya. 

Hari itu, sore setelah asar, di saat orang-orang tengah sibuk menyiapkan hidangan untuk membatalkan puasa dan yang lain tengah ngabuburit, H. Supandi Kurniawan, ayah saya malah memilih naik pohon mangga di depan rumah. mungkin ia ingin berbuka puasa dengan buah mangga mentah. Ya, karena tak sedikit yang bilang, di pohon yang dipanjatnya belum ada mangga yang masak alias masih kecil-kecil. Dan ternyata, ia bukan memetik mangga tapi menghampiri malaikat Izrail. 

Pohon mangga yang tingginya tak lebih dari lima meter itu ternyata jalannya kembali ke Sang Pencipta. Supandi jatuh dari pohon mangga dan kepalanya mendarat tepat di batu kali yang cukup besar. Tentu saja batok kepalanya tak mampu memecahkan batu kali tersebut. Walhasil kepalanya retak. Darah mengalir dari lubang hidung, mulut, dan telinganya. Bang Bidin, tetangga yang bisa dibilang masih saudaranya, segera membawanya ke rumah sakit dengan harapan segera mendapat pertolongan medis. 

Bang Bidin seperti mengendarai mobil yang tak punya rem. Kedua lampu sen berkedip sepanjang jalan. Sayangnya, tepat di depan pesantren Al-Hamidiyah, tepat di pelukan adik Iparnya yang saya panggil Mang Pata, H. Supandi Kurniawan menghembuskan nafas terakhir. Bang Bidin berhenti sejenak, lalu berbalik arah ke rumah. Ya, H. Supandi Kurniawan tak perlu lagi mendapat pertolongan medis. 

Kabar duka ini tak segera menyebar. Sebab teknologi macam WhatsApp dan lain-lain belum terlalu banyak saat itu. Hanya pengeras suara dari masjid yang mengabarkan bahwa Supandi Kurniawan, ayah dari tiga anak ini meninggal dunia.

Banyak yang tidak percaya dengan kabar duka ini. Salah satunya, Mang Lani, adik Ipar yang bisa dibilang paling dekat dan akrab dengan Supandi.

Mang Lani malah membentak orang yang memberitahu kabar duka ini saat datang ke rumahnya. Ia tak percaya, sebab sebelum asar tadi, ia sempat ngobrol dengan Supandi. Perlahan, Mang Lani pun pasrah dan larut dalam kesedihan menerima fakta, Abang ipar sekaligus orang paling dekat dengannya di keluarga meninggal. 

"Pantas saja dari kemarin, Kak Pandi selalu minta gua nginep. Ternyata yang dimaksud adalah ini. Berita duka ini," ucap Mang Lani kepada Bi Embad, istrinya.

Ya, sebelum meninggal, H. Supandi Kurniawan Memang banyak melakukan dan mengatakan hal tak wajar. Siti Aisyah, Umi saya pun pernah cerita, almarhum ayah menjelang wafatnya terutama setelah masuk Romadhon acapkali minta digorengin jangkrik untuk hidangan sahur atau buka puasa. Padahal makanan favoritnya adalah jengkol dan petai. Umi selalu bilang bahwa almarhum ayah "ngada-ngada". Hobi Pandi pelihara burung membuat banyak stok jangkrik di rumah. Beberapa kali umi bilang ke ayah bahwa jangkrik itu untuk burung.

Hal aneh itu pun menimpa saya. Saat itu, di Rabu malam, saat saya masih "Romadhon in Campus" di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Madura, saya menelepon umi lewat telepon kartu. Dan ujug-ujug malam itu adalah pertama dan terakhir kali ayah bicara dengan saya di telepon. 

Ya, selama mondok, yang selalu bicara lewat telepon adalah umi. Ayah, seperti enggan bicafa dengan saya. Saya yakini, ayah merendahkan hati bahwa dirinya memang tak pernah merasakan mondok. Berkebalikan dengan umi. Mungkin, ayah fokus untuk mencari uang untuk biaya saya mondok. 

Tapi, di malam kamis itu, setelah solat tarawih, tiba-tiba ayah ingin bicara dengan saya lewat telepon. Bahkan saya dengan polosnya bilang ke ayah; tumben. 

"Pokoknya Aa terus belajar, gak berhenti belajar, Ayah udah seneng" adalah kalimat pertama sekaligus terakhirnya untuk saya lewat telepon. Dan sampai saat ini, kalimat itu saya anggap sebagai kalimat sakral. Kalimat yang saya jadikan mantra dalam menjalani hidup; bahwa saya mesti terus belajar di manapun dan kapanpun. 

Pesan almarhum ayah saya itu pula yang menjadi nasihat sekaligus pesan Kiayi Idris Djauhari saat saya memint izin pulang untuk melihat jasad ayah untuk yang terakhir kali. Tentu saja saya mendengar nasihat beliau sambil menangis. 

Entah mengapa, saat itu yang terbayang di benak saya, selain ayah, adalah kedua adik perempuan saya. Ihat yang masih kelas tiga tsnawiyah di pesantren Tanwiriyah Cianjur dan Imas yang baru berusia 5 bulan. Ya, si bontot masih menyusu saat ayah meninggal. Dan sepertinya memori di kepalanya belum mampu menyimpan wajah ayah sampai saat ini kecuali dari foto yang tersisa.

Padahal, sesaat sebelum ayah naik ke pohon mangga ia masih menggendong Imas. Dan mungkin, ialah saksi mata saat ayah jatuh dari pohon mangga. Dan mungkin ia melihat para malaikat maut yang menjemput ayah. 

Tak terasa, sembilan belas tahun berlalu. Saat ini, Imas beranjak dewasa. Ia sudah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren Al-Amien Prenduan. Pun menyelesaikan masa pengabdiannya di salah satu pesantren di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
 Pengabdian sebagai salah satu syarat yang mesti dilakoni setiap santri yang diwisuda. 

Tak pernah diduga, sembilan Romadhon tahun ini, bersamaan dengan tanggal 21 April. Tanggal Imas lahir. Ya, usia Imas yang ke-19 tahun ini berbarengan dengan tanggal wafatnya ayah. 

Bagi saya, tak ada kebetulan  yang terjadi di dunia ini. Tanggal kelahiran Imas yang sama dengan tanggal ayah meningal. Ditambah telah usainya nyantren dan pengabdian Imas, seakan menghidangkan hal tak biasa. 

Ini seperti isyarat bahwa kelahiran dan kematian memang misteri yang unik. Seakan batasan kebahagiaan dan kesedihan itu begitu tipis. Seakan, ini mengingatkan saya agar biasa saja saat bahagia dan tak larut lama saat sedih. 

Pun Imas, adik bontot saya, seakan ini tanda bahwa ia tengah memasuki fase baru dalam kehidupannya. 

Saat ini, saya ingin membaca alfatihah benar-benar sebagai hadiah. Hadiah untuk ayah saya di alam kubur dan hadiah untuk Imas Masfufah. 

Tentu tak ketinggalan doa untuk ayah: semoga Allah ampuni segala dosa, terima segala amal ibadahnya, terangi alam kuburnya, lalu dijadikan kuburnya seperti taman-taman di surga, dan Allah jadikan ayah ahli surga. 

Dan untuk Imas, selamat berulang tahun. Selamat memasuki fase baru dalam kehidupan. selamat mengarungi hidup yang unik dan menarik ini. Terus belajar. Sekalipun jangan pernah bilang bahwa Imas sudah pintar. Jangan pernah merasa paling benar, paling pintar, dan paling-paling yang lainnya. 

Sekali lagi, selamat ulang tahun Imas Masfufah.

Sawangan Baru, 210421

Komentar

  1. Alfatihah untuk semua lelaki yang sudah berdaya dan berupaya memberikan hal hal terbaik untuk keluarga, terutama untuk bokap ya bor; H Supandi Kurniawan... Aamiin.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)