Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2020

istikomah

(Saya mesti minta maaf kepada KBBI dan para tokoh yang menyusunnya. Sebab, meski dalam KBBI tertulis istikamah, saya tetap menulis istikomah. Dan kata-kata lain yang berasal dari bahasa Arab tetap saya tulis menyerupai pelafalannya). Kiayi Muhammad Abdul Mujib, wakil Rois Syuriah NU kota Depok, dawuh: siapapun, mesti punya amalan yang dibiasakan agar ada "atsarnya". Atsar bisa berarti bekas, tapak, jejak, dampak, efek, keutamaan, dan seterusnya. Jadi, bisa dibilang; pekerjaan apapun yang dibiasakan, akan melahirkan keutamaan-keutamaan.  Kebiasaan, lengket dengan istikomah. Istikomah yang dibilang lebih baik dari seribu karomah. Kiayi Mujib memberi cara agar bisa istikomah. Di antaranya selalu berteman dan bergaul dengan orang baik, benar, dan jujur. Bukan, bukan berarti meninggalkan mereka yang sebaliknya. Tapi lebih kepada mereka yang perilaku serta ucapannya menunjukkan kepada Allah. Ini seperti dawuhnya Syaikh Ibnu Athoilah Assakandsri dalam kitabnya Al-Hikam.  Nasihat Ibn...

Bismillah! Tak Ada yang Sia-Sia!

Albert Camus menggelontorkan cerita-cerita asik lewat bukunya Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus, 1947). Di antara jubelan cerita tentang Sisyphus yang menarik itu, ada satu yang buat saya tersentak pagi ini. Beruntung, saya tak tersedak saat menyeruput kopi dan tak batuk-batuk ketika asik menghisap asap rokok. Salah satu cerita yang membuat saya tercengang adalah soal hukuman para dewa atas "kenakalan" Sisyphus. Hukuman itu justeru membuat saya melihat diri sendiri. "Jangan-jangan saya pun tengah melakukan hukuman seperti itu?" Sisyphus adalah anak Dewa Angin dalam mitologi Yunani. Camus, menggambarkan perilakunya yang nakalnya "sealaihim gambreng", ditambah ngeyel yang gak ketulungan, pun mbeling yang gak karuan, pokoknya bandelnya itu sungguh aduhai. Tapi, di sisi lain, perilakunya itu diiringi sikap tabah, setia, dan lebih-lebih: bahagia. Sisyphus dihukum para dewa karena menyalahgunakan kekuasaan. Melakukan apa saja yang disuka, meskipun itu kezalima...

Humor yang Tak Lucu

Saya selalu salut dan hormat pada mereka yang bisa memberi tawa saat nongkrong dan ngobrol bareng. Pasalnya, saya benar-benar tak bisa seperti itu. Kalaupun bisa, paling banter jadi sasaran dan bahan tawa.  Misalnya soal rambut saya yang bergelombang tapi lebih Deket ke Tsunami. Atau malah seperti temen saya yang bilang: "lu mesti jauh-jauh dari Aer mendidih, khawatir rambut lu yang di rebus."  Saya hanya bisa tertawa, walau dalam hati ingin membalasnya.  Pernah juga, warna kulit saya menjadi sasaran. "Pang, lu sering ke Bali Ama ke Florida ya?" Tanya temen yang saya timpali dengan tidak pernah. Hanya dua kali saya pernah menapakkan kaki di Bali. "Oh kirain sering, soalnya lu kayak orang yang sering berjemur di pantai," timpalnya. "Lagian, yang mesti dijemur mah cucian, bukan kulit," sambu temen yang lain. Lagi-lagi saya tak berkutik. Ingin rasanya menimpali tidak hanya dengan tawa atau menahan dongkol di dad. Tapi, apalah daya, kemampuan komunik...

Jagoan Media Sosial: "Lu jual gue borong!"

Jagoan, ada yang bilang berasal dari bahasa Portugis, yang pernah berkuasa di Sunda Kelapa pada abad ke-16, yaitu "jogo" yang berarti permainan. Orang Betawi kata tersebut dibilang jadi jagoan.  Jagoan identik dengan ahli silat. Termasuk di Betawi. Ridwan Saidi bilang, Jagoan Betawi punya sikap dan tradisi, yaitu: "tidak pernah 'menjual', menantang-nantang, tetapi bersedia 'membeli' bagi yang mau menjual. Sederhananya (walau agak kasar): "Lu jual, gue beli." Kalau temen bilang: "Lu jual, gue borong." Menurut cerita, banyak jagoan di Betawi. Di antaranya: Si Pitung, Si Jampang, Macan Kemayoran. Setelah periode Si Pitung, yang konon divonis mati oleh kolonial pada 1896, pun bertebaran para Jagoan Betawi. Di antaranya: Sabeni dan Derahman Dheni (Tanah Abang), H. Darip (Klender), Mujitaba (Jati Petamburan), H. Muhd. Item (Rawabelong), dan H. Ung (Kemayoran, kakek dari Bang Ben alias Benyamin S bapaknya Si Doel dalam sinetron).  Para Jagoan...

New Normal alias "Nyunormal"

Pukul dua lewat delapan menit. Menjelang pagi begitu sepi. Sunyi. Seperti biasa, saya di depan rumah, duduk di atas bangku bambu, masih menikmati rokok dan kopi.  Tak sedikit yang bilang saya ini tak normal. Di saat kebanyakan orang tidur, masih ngopi. Saat orang-orang bangun dan bersiap-siap kerja, malah rebahan di kamar. Saat mereka sudah bergerak dan pergi kemana-mana, saya masih asik tidur dan mimpi.  Bisa dibilang saya tak normal. Tapi itu bagi mereka, bagi saya, ya biasa saja. Jadi, ketika ramai istilah "nyunormal" ya biasa saja. Saya melihat itu hanya melakukan hal yang tak biasa. Pakai masker kemana-mana, jaga jarak, cuci tangan, dan lain-lain untuk jaga kesehatan. Atau setidaknya mengamalkan jurus untuk menangkal Corona yang tak kasat mata. Namanya kasat mata, laiknya hal gaib. Mau percaya atau tidak itu pilihan. Karenanya, jika ada yang menyebar pesan berantai di WA yang isinya tak percaya dengan bahayanya Corona, ya saya anggap itu informasi saja. Pun ketika ada ya...

Silaturahmi Virtual

tak hanya mereka yang kasmaran, ngobrol lewat telepon lebih dari tiga jam pun bisa terjadi antar teman dan sahabat. Itu terjadi dan saya alami semalam.  Saya tengah duduk santai di depan rumah, tentu saja sambil merokok, ngopi, sesekali berhayal, pun sesekali menikmati secuil kenangan, saat HP yang tengah diisi baterainya bergetar di kamar.  Sebatang rokok tuntas. Hayalan dan secuil kenangan kandas. Saya masuk ke kamar. Lihat Hp. Dua panggilan group WA tak terjawab. Tertera nama tiga orang yang  sama-sama lulus dari Al-Amien Prenduan, Madura,  pada 2003 lalu. Sedetik kemudian, nomor yang sama kembali menghubungi. Tertera di layar HP, pukul 22 lewat 37 menit. Kalau tak ingat kerjaan serta kewajiban lain, lalu kantuk yang mematuk, mungkin obrolan semalam bisa sampai pagi.  Kami bicara soal usaha dan bisnis. Berbagi soal laku dan pengalaman nyata dunia ini. Obrolan kami semalam memang lanjutan dari obrolan di group Averose yang diskusi soal ini. Ya, ketiga teman sa...