New Normal alias "Nyunormal"



Pukul dua lewat delapan menit. Menjelang pagi begitu sepi. Sunyi. Seperti biasa, saya di depan rumah, duduk di atas bangku bambu, masih menikmati rokok dan kopi. 

Tak sedikit yang bilang saya ini tak normal. Di saat kebanyakan orang tidur, masih ngopi. Saat orang-orang bangun dan bersiap-siap kerja, malah rebahan di kamar. Saat mereka sudah bergerak dan pergi kemana-mana, saya masih asik tidur dan mimpi. 

Bisa dibilang saya tak normal. Tapi itu bagi mereka, bagi saya, ya biasa saja. Jadi, ketika ramai istilah "nyunormal" ya biasa saja. Saya melihat itu hanya melakukan hal yang tak biasa. Pakai masker kemana-mana, jaga jarak, cuci tangan, dan lain-lain untuk jaga kesehatan. Atau setidaknya mengamalkan jurus untuk menangkal Corona yang tak kasat mata.

Namanya kasat mata, laiknya hal gaib. Mau percaya atau tidak itu pilihan. Karenanya, jika ada yang menyebar pesan berantai di WA yang isinya tak percaya dengan bahayanya Corona, ya saya anggap itu informasi saja. Pun ketika ada yang sebar tentang percayanya dia akan bahaya Corona.

Nah, ada yang bilang; "kalau ingin tenang, maka percayalah. Kalau ingin benar, maka carilah". 

Percaya dan cari menjadi kata kunci bagi saya untuk menentukan sikap. Termasuk untuk semua informasi. Mau dari televisi yang saya jarang tonton, gawai yang setiap saat saya pakai, hingga dari teman dan sahabat dalam obrolan santai.

Jika ingin tenang, ya cukup percaya saja. Apapun itu. Hanya saja, terkadang kita perlu bertanya, apakah yang kita percaya itu benar? apakah itu sebuah kebenaran? Jangan-jangan selama ini kita mempercayai sesuatu yang kebenarannya masih diragukan. Masih dipertanyakan.

Abu Hamid Al-Ghazali pernah mengalaminya. Ulama berjuluk "Hujjatul Islam" ini pernah mempertanyakan kembali semua hal yang diketahui. Itu untuk menjawab apakah semua ilmu dan pengetahuan yang ia pelajari benar dan bisa dipercaya. Jangan-jangan semua itu semu. Palsu. Atau malah keliru.

Saya kira, adakalanya percaya saja tak cukup. mesti ditopang dengan ilmu dan pengetahuan yang menguatkan. Karenanya perlu belajar. Mencari kebenaran. Terlebih kepada setiap informasi yang datang di gawai. 

Termasuk ke setiap hal yang saya tulis. Tak jarang saya mempertanyakan kembali. Kalau benar, saya akan pertanyakan. Kalau salah, akan saya cari kebenarannya. Dan itu proses belajar. Akan selalu seperti itu. Bagaimanapun keadaannya. Mau normal, tak normal, hingga "nyunormal", saya mesti belajar.

Pada situasi, kondisi, dan keadaan apapun, saya yakin dan percaya terdapat pelajaran (hikmah). Mau normal, gak normal, sampai "nyunormal" saya sangat percaya akan selalu ada materi pembelajaran. Dan fardhu 'ain bagi saya untuk mempelajarinya. Untuk mencari tahu kebenarannya. Sampai kapanpun. 

Bagi saya itu semua, termasuk proses belajarnya, adalah nikmat. Nikmat yang wajib disyukuri. Nikmat yang mesti diungkapkan. Ah, betapa banyak nikmat yang luput dari perhatian. Terlebih kepada kebiasaan. Termasuk pada hal yang dianggap normal.

Apa yang dikerjakan dianggap hanya kebiasaan. Biasa saja. Hingga tak terasa istimewanya. Tidur di malam hari, misalnya. Bagi kebanyakan orang, adalah hal biasa. Padahal ini adalah nikmat luar biasa. Bagaimana jika tak bisa tidur di malam hari, sementara mesti bekerja atau beraktifitas di pagi hari?

Keadaan normal, hal yang biasa dilakukan, terkadang memang begitu: membuat lalai. Karena dianggap biasa, maka tak ada syukur atasnya. Misalnya, bisa salat dan ngaji berjamaah pun adalah nikmat tak terhingga. Selain hidayah dan Rahmat, bisa jadi, melakukan semua itu adalah nikmat. Nikmat dari Tuhan.

Saya iseng: jangan-jangan selama ini saya gak bersyukur. Jangan-jangan saya kufur nikmat. Hingga terjadi pandemi untuk mengingatkannya. Hingga mesti lahir istilah "nyunormal".

Allahu A'lamu bisshowab

Sawangan Baru, 05062020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)