Silaturahmi Virtual



tak hanya mereka yang kasmaran, ngobrol lewat telepon lebih dari tiga jam pun bisa terjadi antar teman dan sahabat. Itu terjadi dan saya alami semalam. 

Saya tengah duduk santai di depan rumah, tentu saja sambil merokok, ngopi, sesekali berhayal, pun sesekali menikmati secuil kenangan, saat HP yang tengah diisi baterainya bergetar di kamar. 

Sebatang rokok tuntas. Hayalan dan secuil kenangan kandas. Saya masuk ke kamar. Lihat Hp. Dua panggilan group WA tak terjawab. Tertera nama tiga orang yang  sama-sama lulus dari Al-Amien Prenduan, Madura,  pada 2003 lalu.

Sedetik kemudian, nomor yang sama kembali menghubungi. Tertera di layar HP, pukul 22 lewat 37 menit. Kalau tak ingat kerjaan serta kewajiban lain, lalu kantuk yang mematuk, mungkin obrolan semalam bisa sampai pagi. 

Kami bicara soal usaha dan bisnis. Berbagi soal laku dan pengalaman nyata dunia ini. Obrolan kami semalam memang lanjutan dari obrolan di group Averose yang diskusi soal ini. Ya, ketiga teman saya semalam berkegiatan di dunia yang lengket dengan dunia yang unik: usaha dan bisnis.

Teman yang satu, mulai usaha setelah lulus dari Pondok. meneruskan usaha orang tuanya. Ia cerita soal dirinya yang pernah tertipu hingga rugi lebih dari 2 miliar. Usahanya bisa dibilang aneka macam. Mulai jasa transportasi, hingga toko sembako. 

Teman yang kedua, pelaku usaha juga. Mulai ternak hewan hingga pengolahan limbah industri sekarang. Ia tak cerita soal pernah ditipu dan mengalami kerugian atau tidak. Intonasi suaranya yang pelan dan lemas, sudah cukup mewakili bahwa ia didera letih. Entah usai melakukan apa, saya tak mau menduga-duga. Tapi, dengan berganti-gantinya unit usaha, setidaknya sedikit menerangkan bahwa ia mengalami kerugian atau kegagalan pada unit usaha sebelumnya.

Teman yang ketiga, delapan tahun lebih bergelut di dunia batu bara. Ia paham betul soal dunia yang digeluti. Mulai istilah-istilah, proses produksi, hingga berapa jumlah pertambangan batu bara di Kalimantan sana.

Sementara saya, hanya orang iseng yang dulu penuh ambisi untuk jadi pengusaha. Dan di sela waktu yang banyak lengang, hanya iseng melihat kata-kata dan dunia lalu dengan lebih iseng lagi menuliskannya.

Dari teman yang pertama, di antaranya, saya dapati soal manajemen target. Pasca tertipu dan rugi lebih dari dua miliar. Setelah pusing "sealaihim gambreng" dan "nyesek" beberapa waktu, perlahan ada pelajaran istimewa yang didapat. 

Pertama, fokus ke penyelesaian bukan ke persoalan. 

Ya, Setelah mendapat musibah (tertipu, rugi, dll), fokus ke penyelesaian (jalan keluar) menjadi rumus baginya. Sebab fokus ke masalah (duit hilang, rugi miliaran) hanya menambah pusing dan nyesek . Malah bisa bikin stres. 

Setelah mengurai benang kusut, ia temukan masalahnya adalah mesti mengembalikan uang miliaran yang hilang. Pertanyaannya, bagaimana caranya?

Ia pun membuat daftar hal yang bisa dikerjakan. Mulai menambah unit usaha hingga mengembangkan bisnis yang ada. 

Dibanding membuka unit usaha baru yang lebih "gambling" ia pun memilih mengembangkan usaha yang ada. Harapannya, agar bisa membayar cicilan ke bank. Ya, uang miliaran yang diambil orang itu, kalau tidak mesti membalikkan ke bank, mungkin pusing dan nyeseknya tidak sampai aduhai. 

Sekian puluh juta mesti disetor perbulan. Di sinilah ia dapat pelajaran soal manajemen target. Misalnya perbulan mesti bayar 30 juta ke bank. 30 juta itu, ia turunkan lagi menjadi satu juta perhari yang mesti didapatkan. Kemudian melihat potensi dan keadaan usaha. 

Untuk mengejar target sejuta perhari. Setidaknya ada beberapa alternatif. Di antaranya dengan menambah kuantitas. Mulai produk hingga konsumen.

Teman kedua memberi saya pelajaran soal sikap pengusaha. "Woles aja. Santai," tegasnya ketika kami bicara soal ambisi dalam usaha. 

Salah satu karakter pengusaha pemula adalah ambisius. Bawaannya selalu ingin mengembangkan dan memambah pemasukan. Ada peluang, hajar! Ada kesempatan, sikat! Hal ini malah menjerumuskan.

Waspada, antisipasi, hingga hati-hati menjadi buram. Pokoknya terabas. "Gibas!" Dan ini menjadi salah satu penyebab kerugian. "Bisa dibilang, nafsu lah yang didahulukan," timpal teman pertama yang direspon oleh teman kedua: "ente dari dulu kan emang nafsuan."

Teman yang lain menimpali dengan teori psikologi: ketika kemampuan logika seseorang naik, maka emosionalnya menurun. Pun sebaliknya, ketika emosional naik, logikanya turun. Ini laiknya orang ketika "baper" alias sensitif. Biasanya itu karena kemampuan berpikirnya tengah menurun. 

Seperti masalah rugi tadi. Jika yang difokuskan adalah masalahnya, yang hadir justeru marah-marah, emosi, dan puyeng sendiri. Tapi jika fokus ke penyelesaian masalahnya, maka yang bekerja adalah proses berpikir logisnya. 

Teman yang lain mengomentari, sepertinya keseimbangan antara keduanya lebih menarik. Maksudnya, misalnya ketika mendapat peluang dan kesempatan, otak bekerja memikirkan segala. Tapi keputusannya tak tergesa-gesa. Ada hati yang mengimbangi. Hati dan otak menjadi alat untuk mempertimbangkan. Karenanya, ketenangan amat dibutuhkan. Tenang otak tenang hati. Tenang lahir tenang batin. 

Tenang otak bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya refreshing, mendengar lagu, ketawa-ketiwi bareng teman, dan lain-lain. Pun dengan tenang hati, yang bisa hadir lewat beragam cara. Salah satunya, bersandar pada Tuhan. 

Dari teman ketiga, saya pun dapat pelajaran. "Kalau enak dan nyaman, ya kerjakan. Kalau enggak, ya gak usah," terangnya ketika cerita soal berpindah-pindahnya ia dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain. Tapi masih di dunia yang dekat dengan konstruksi dan pertambangan. Bergelut lama di dunia ini membuatnya mapan pengalaman dan pengetahuan akan dunia pertambangan. Batu bara khususnya. 

Banyak hal menarik dari obrolan kami semalam. Meski terpisah jarak ratusan hingga ribuan kilo, teman pertama di Jember, Jawa Timur, teman kedua, di Sidoarjo, Jawa Timur, teman ketiga, di Balikpapan, Kalimantan, dan saya di Sawangan Baru, Depok, tapi obrolan kami sangat hangat dan bersahabat. Tawa selalu saja hadir di tengah obrolan. Kemajuan teknologi mendekatkan kami.  

Setidaknya, saya semakin yakin teman-teman pesantren ini luar biasa. Seperti mahfudzat yang dulu kami pelajari waktu kelas satu tsanawiyah: "laa tahtaqir man duunaka falikulli syai-in maziyyah". Jangan pernah meremehkan siapapun dan apapun, sebab semuanya punya keistimewaan masing-masing. 

Ya, semua teman saya memiliki potensi luar biasa. Jika dikembangkan dan dipergunakan dengan optimal, sepertinya bisa menghadirkan hal maksimal. 

Dan yang pasti, silaturahmi benar-benar memberi rejeki. Di antaranya, saya dapat bahan untuk iseng menulis cerita ini. 

Sayangnya, telepon group WA semalam tidak bisa memfasilitasi lebih banyak orang seperti aplikasi yang lain. Tapi, saya sangat bersyukur. Waktu luang saya terisi dengan hal menyenangkan. Tak seperti malam-malam sebelumnya: berteman sepi dan kegalauan. 

Saya yakin akan menarik, jika banyak teman yang bisa ikutan gabung silturahmi secara virtual ini. Saling berbagi cerita. Sepertinya akan lahir ide dan tercipta hal yang tak biasa. Aduhai.

Allahu A'lamu bisshowab

Sawangan Baru, 02062020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)