Humor yang Tak Lucu
Saya selalu salut dan hormat pada mereka yang bisa memberi tawa saat nongkrong dan ngobrol bareng. Pasalnya, saya benar-benar tak bisa seperti itu. Kalaupun bisa, paling banter jadi sasaran dan bahan tawa. Misalnya soal rambut saya yang bergelombang tapi lebih Deket ke Tsunami. Atau malah seperti temen saya yang bilang: "lu mesti jauh-jauh dari Aer mendidih, khawatir rambut lu yang di rebus."
Saya hanya bisa tertawa, walau dalam hati ingin membalasnya.
Pernah juga, warna kulit saya menjadi sasaran. "Pang, lu sering ke Bali Ama ke Florida ya?" Tanya temen yang saya timpali dengan tidak pernah. Hanya dua kali saya pernah menapakkan kaki di Bali.
"Oh kirain sering, soalnya lu kayak orang yang sering berjemur di pantai," timpalnya. "Lagian, yang mesti dijemur mah cucian, bukan kulit," sambu temen yang lain. Lagi-lagi saya tak berkutik. Ingin rasanya menimpali tidak hanya dengan tawa atau menahan dongkol di dad. Tapi, apalah daya, kemampuan komunikasi saya begitu lemah. Apalagi soal humor, lelucon, dan kata-kata yang bisa mencairkan suasana dengan tawa.
Karena sadar akan kekurangan itu, saya pun mencoba mencari cara agar bisa buat orang lain tertawa saat bersama. Dua hari belakangan, saya mulai cari-cari bahan. Hingga saya menemukan satu buku yang diberi kata pengantar oleh Gusdur (Allahu yarhamhu). Buku itu berjudul Mati Ketawa Cara Rusia. Dan Gusdur memberi judul Humor pada kata pengantarnya. Setelah membacanya, saya berada pada satu kesimpulan sementara. Bahwa, mereka yang bisa membuat humor, lelucon, atau hal lucu adalah mereka yang cerdas. Kedua, humor adalah keterampilan yang bisa dilatih atau berkembang mengikuti pengalaman dan kebiasaan. Semakin sering, akan semakin lihai.
Saya makin terpuruk. Awalnya saya banyak senyum, bahkan sesekali tertawa dengan suara, baca buku ini. Sayangnya, saya tetap tak bisa mengamalkan apa yang ada pada buku ini. Saya yang terlalu bodoh atau buku ini yang tak bisa menjangkau saya, entah.
Dan saya malah tertarik dengan kata pengantar yang dibuat Gusdur pada buku ini. Dan sepertinya kata pengantar ini pun malah membuat saya berpikir. Dan tidak tertawa. Kecuali di paragraf akhir yang buat saya tertawa dan punya bahan balasan bagi mereka, terutama mereka yang pernah saya pinjam bukunya.
Gusdur bilang: orang yang meminjamkan buku adalah orang bodoh, tetapi mengembalikan buku pinjaman adalah perbuatan gila.
Ya, membaca buku serta tulisan humor pun saya malah mikir. Itu malah membuat saya berpikir. Padahal tertawa itu spontanitas. Tak perlu berpikir lebih. Ketika ada hal lucu, ya tertawa aja. Sepertinya syaraf humor saya memang perlu dicari letaknya. Jangan-jangan waktu ruh saya ditiup saat di perut umi, Tuhan tengah serius. Atau mungkin ayah dan umi saya terlalu serius saat berproses menjadi wasilah terciptanya saya. Tak ada canda dan gurau. Penuh konsentrasi. Hanya ada tegang dan cucuran keringat. Ah, sudahlah, saya tak mau berpikir lebih jauh lagi. Saat ini, pikiran saya justeru tersentil oleh bahasan Gusdur tentang humor.
Gusdur bilang ada beberapa unsur humor yang perlu diperhatikan. Pertama unsur surprise. Kejutan. Di dalam humor selalu saja ada unsur kejutan. Ada hal tak biasa. Misalnya cerita tentang seorang pemimpi kejam yang tercebur ke sungai laku terseret arus. Hingga ia ditolong oleh seseorang. Pemimpin itu berterimakasih lalu menawarkan sesuatu kepada si penolong. Unsur kejutannya adalah saat si penolong bilang, hadiah yang diinginkan adalah agar si pemimpin tak bilang ke siapapun bahwa dia yang menolong.
Kedua, unsur sindiran halus. Sindiran halus ini laiknya "mengajukan kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tetapi tanpa rasa kemarahan atau kepahitan hati," terang Gusdur. Hal yang perlu diperhatikan, menurut Gusdur, adalah kondisi psikologis yang intens dan emosional, sehingga objektivitas sikap terhadap hal yang dikritik itu menghilang. Samar. Seperti unsur kejutan pada jawaban sang penolong kepada si pemimpin tadi. Ada unsur kritik dan sindiran halus.
Unsur selanjutnya adalah unsur rasionalitas. Humor mesti masuk akal. Rasional. Apa yang disampaikan memang diterima akal. Dan unsur terakhir adalah situasi yang ditampilkan. Situasi yang menjadi bahan humor tersebut.
Pembahasan Gusdur soal unsur humor ini malah membuat saya makin berpikir lalu berkata: "Edan! Bikin humor saja setidaknya saya mesti menguasai keempat unsur tadi.dan sepertinya bukannya tawa tapi malah merengut yang ada saya dibuatnya." Karenanya sungguh, saya salut dan hormat pada mereka yang bisa buat humor saat bersama. Ingin rasanya saya terus bersama mereka agar saya bisa belajar dan memperoleh banyak bahan untuk bikin tertawa. Tapi, sepertinya dompet saya belum mampu untuk menjadikan mereka anak asuh agar mau tinggal bersama. Atau saya pun masih normal untuk menjadikan mereka pasangan hidup kecuali mereka perempuan. Perawan atau janda, tak masalah.
Ah, saya membayangkan, jika punya pasangan yang penuh humor. Sepertinya di malam pertama dan malam-malam setelahnya tak ada tegang-tegangan. Hanya ada canda dan tawa lalu bahagia. Meski kehidupan setelahnya begitu pahit dan sengsara sebab kami berdua hanya tertawa.
Tapi, Gusdur bilang: "rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan." Lagi-lagi saya malah berpikir; jangan-jangan mereka yang banyak tawa dan bercanda, justeru dibalik itu semua menyimpan duka lara yang tak biasa. Lalu mereka membuat humor untuk meredam atau setidaknya menutupi itu semua.
Humor memang sepertinya bisa menjadi obat dari pahitnya hidup. Saat tertawa, seperti tak ada masalah. Pikiran yang penuh beban seperti terlupa. dan saya mengamini ini. Sebab, ketika kumpul bareng teman-teman, lalu ada yang melontarkan humor. Saya pun larut dalam suka. Tawa meredupkan segala lara. Terutama buat saya sendiri yang penuh masalah.
Karenanya saya memang mesti belajar untuk menertawakan diri sendiri. Gusdur bilang: " kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain."
Kalimat Gusdur ini kembali membuat saya mengernyitkan dahi. Saya mesti berpikir untuk memahaminya. Dan sampai saya menulis ini pun saya belum cukup umur untuk memahaminya.
Gusdur hanya bilang bahwa kepahitan akibat kesengsaraan, mesti diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup.
Saya benar-benar tak paham. Saya hanya pahami kata kuncinya: pertama, kepahitan dan kesengsaraan (masalah). Kedua, mesti diimbangi (sikap). Ketiga, pengetahuan nyata (ilmu, pengetahuan, kesadaran, sekaligus syarat). Keempat, keharusan menerima (sikap). Kelima, tanpa patahnya semangat untuk hidup (sikap sekaligus syarat). Ketika seseorang melakukan semua itu, di situlah letak kearifan yang tersublimasi pada humor. Jadi, bisa dibilang, lewat humor kita bisa belajar Arif dan bijak menyikapi segala persoalan, masalah, beban serta penatnya kehidupan, hingga sengsaranya.
Kemampuan (humor) seperti itu menjadi salah satu cara untuk seseorang menjadi arif dan bijak. Dan itu mesti diawali dengan mengenal diri sendiri. Sebab, kata Gusdur, orang harus mengenal diri sendiri sebelum mampu melihat yang aneh-aneh dalam perilaku diri sendiri itu.
Ya, lagi-lagi saya malah dibuat merenung, melihat diri sendiri, lalu bertanya: apakah saya sudah benar-benar mengenal diri saya sendiri? Bagaimana saya bisa membuat humor dan menertawakan diri sendiri lewat hal-hal aneh dalam diri ini, kalau saya belum mengenal diri saya sendiri?
Gusdur sedikit kasih kata kunci, yaitu watak, perilaku dan kegemaran, serta kekurangan diri sendiri. Oh Tuhan, lagi-lagi saya dibuat berpikir. Dan saya mendapat jawab sementara: saya ini keras kepala. Dan sepertinya ini yang membuat saya sulit untuk membuat humor dan canda saat kumpul dengan teman-teman.
Kemampuan mengenal diri sendiri, di antaranya dengan mengenal kekurangan diri sendiri, menjadi modal untuk mengenal orang lain. Tentu saja disertai pengertian akan nasib, keadaan tak berdaya, menghadapi kenyataan. Gusdur memberi contoh soal cerita orang San Francisco yang sebenarnya ingin menyatakan betapa luas wilayahnya hingga butuh tiga hari perjalan LAN kereta api dari ujung ke ujung, tapi malah direspon oleh orang Malaysia dengan bilang begini: "Di Negeri saya, kereta api juga sering rusak berhari-hari seperti di negeri Anda."
Termasuk cerita seorang anak kecil Indonesia yang bertemu anak orang kulit putih (bule) di suatu pasar. Anak Indonesia itu berkata kepada ayahnya: "Yah, itu anak kecil-kecil kok sudah berbahasa Inggris?"
Humor, kata Gusdur, bisa terjadi sekaligus mencatat ketika manusia berusaha menjadi makhluk komunikatif kepada orang lain. Gusdur memberi contoh cerita berikut: seorang Arab pergi ke satu restoran Perancis. Sang pelayan menghampiri, lalu bilang "Bonjour, Monsier." Itu untuk memberi penghormatan kepad setiap tamu. Orang Arab itu menimpali dengan: "Ana Abbas Hasan," karena mengira tengah ditanya soal nama. Siang harinya, orang Arab tersebut kembali makan di situ. Percakapan seperti tadi pagi pun terjadi lagi. Hingga datang malam. Orang Arab itu makan di tempat yang sama. Karena ingin menghormati sang pelayan, ia pun menegur lebih dulu dengan "Bonjour, Monsieur." Dan pelayan itu menimpali dengan: "Ana Abbas Hasan."
Humor pun, lanjut Gusdur, bisa terekam akibat perbuatan manusia dalam hidupnya termasuk akibat atas dirinya sendiri. Gusdur pun cerita soal seorang wartawan yang melihat seorang tua di pegunungan yang begitu kuat meneguk minuman keras. Sang wartawan penasaran akan kegemaran lelaki tua tersebut. Ia pun menanyakannya. Lelaki tua itu bilang: "hobi saya minum. Paling sedikit dua botol Vodka tiap hari, lalu maen cewek di mana-mana." Sang wartawan makin penasaran apa yang membuat lelaki tua itu mampu begitu. Ia pun bertanya soal umur lelaki tua itu. Sang wartawan kaget setelah lelaki tua itu menjawab: "Tiga puluh dua tahun."
Ya, Humor memang ajaib. Dan sampai detik ini, saat saya menulis ini, saya masih dibuat berpikir. Terlebih, ketika Gusdur bilang bahwa humor adalah senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup. Dengannya bisa menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar atau tidak beres. Di antaranya adalah sikap pretensi. Pura-pura.
Bagi Gusdur, sikap pretensi justeru akan selalu menampakkan wajah ketololan, apalagi kalau dilakukan dengan cara tolol pula.
Sepertinya Gusdur tidak suka dengan kepura-puraan. Tidak suka dengan sikap palsu. Hingga Gusdur mengajukan kritik tajam untuk sikap prentensius ini. Saya jadi teringat tentang kritiknya Gusdur kepada DPR yang bilang laiknya TK (Taman kanak-kanak). Dan ini dipertegas dengan pernyataan Gusdur yang bilang bahwa pretensi yang paling banyak terdapat justeru di bidang politik.
Salah satu sasaran empuk dan bisa jadi bahan humor (kritik keras) menurut Gusdur adalah sifat egoistis para politisi. Tetapi, untuk tidak terlalu menjatuhkan martabat kaum politisi, Gusdur menyarankan, ada baiknya dikemukakan lelucon tentang kegoblokan orang dan profesi lain. Di sinilah kelihaian Gusdur.
Ah, saya kok makin merasa tolol dan goblok ya. Sepertinya saya mesti menambah doa: Ya Tuhan, tak perlu garis lucu cukup tunjukan saya humor yang lurus.
Sawangan Baru, 07052020
Komentar
Posting Komentar