Jagoan Media Sosial: "Lu jual gue borong!"
Jagoan, ada yang bilang berasal dari bahasa Portugis, yang pernah berkuasa di Sunda Kelapa pada abad ke-16, yaitu "jogo" yang berarti permainan. Orang Betawi kata tersebut dibilang jadi jagoan.
Jagoan identik dengan ahli silat. Termasuk di Betawi. Ridwan Saidi bilang, Jagoan Betawi punya sikap dan tradisi, yaitu: "tidak pernah 'menjual', menantang-nantang, tetapi bersedia 'membeli' bagi yang mau menjual. Sederhananya (walau agak kasar): "Lu jual, gue beli." Kalau temen bilang: "Lu jual, gue borong."
Menurut cerita, banyak jagoan di Betawi. Di antaranya: Si Pitung, Si Jampang, Macan Kemayoran. Setelah periode Si Pitung, yang konon divonis mati oleh kolonial pada 1896, pun bertebaran para Jagoan Betawi. Di antaranya: Sabeni dan Derahman Dheni (Tanah Abang), H. Darip (Klender), Mujitaba (Jati Petamburan), H. Muhd. Item (Rawabelong), dan H. Ung (Kemayoran, kakek dari Bang Ben alias Benyamin S bapaknya Si Doel dalam sinetron).
Para Jagoan tersebut bukan hanya dikenal "gapek" ilmu silatnya, tapi pembela kebenaran serta ahli ibadah yang tidak mau menonjolkan diri alias tawadhu. Banyak cerita yang bilang, sebelum belajar "maen" pukulan mereka diharuskan belajar akidah agama terlebih dahulu.
Ada dasar dan landasan akidah serta ilmu agama sebelum belajar silat. Seperti Si Pitung yang dikenal dengan Robin Hood-nya Betawi. Mencuri untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin dan jelata. Apa yang dilakukan Si Pitung, bagi rakyat jelata dianggap hal yang benar. Mungkin karena keadaan dan situasi yang membuatnya terpaksa berlaku demikian.
Tapi, beda lagi dengan salah satu Walisongo, yang dulunya terkenal dengan Berandal Lokajaya. Wali jago silat yang lahir pada 1450 M ini pernah melakukan hal serupa saat tinggal di hutan Jatisari: merampok kalangan ningrat yang lewat untuk dibagikan kepada rakyat jelata.
Hingga suatu saat, Wali yang bernama asli Raden Sahid ini bertemu Sunan Bonang dalam pertemuan yang unik. Raden Sahid hendak mengambil paksa tongkat Sunan Bonang yang berdaun emas.
Sunan Bonang tak tega. "Kenapa ingin emas di tongkatku, sementara di pohon itu banyak," kira-kira seperti ini ucap Sunan Bonang kepada Raden Sahid sambil menunjuk pohon pinang yang buahnya secara ajaib berubah menjadi emas.
Raden Sahid terketuk. Ia ingin belajar kepada Sunan Bonang. "Niat kamu yang baik, jangan dikotori dengan cara yang kotor. Seperti berwudhu dengan air kencing," ucap Sunan Bonang.
Singkat cerita, belajarlah Raden Saleh, yang merupakan anak salah seorang Bupati Tuban, Tumenggung Wilatikta, kepada Sunan Bonang. Berbagai disiplin ilmu dikuasai. Hingga Sunan Bonang memintanya pergi ke Mekah. Untuk belajar dan berhaji.
Sayang, Raden Saleh tak sampai ke Mekah. Sebab, konon, sesampainya di Malaka, ia bertemu dengan Maulana Maghribi dan Nabi Khidir yang memintanya kembali ke Jawa. Raden Saleh pun kembali ke Jawa. Tepatnya ke desa Kalijaga. Ia pun mulai berdakwah. Ajibnya, dakwah beliau menggunakan pendekatan seni dan kearifan budaya lokal (local wisdom) hingga Islam mudah diterima oleh masyarakat.
Raden Saleh ini punya julukan yang ada kata jaga, yaitu Kalijaga alias Sunan Kalijaga. Temen yang berbahasa Jawa menyebut dengan Kalijogo. Saya tak tahu pasti, adakah hubungan antara kata jogo pada Sunan Kalijaga dengan kata jagoan di Betawi. Tapi, setidaknya, keduanya punya kemiripan: sama-sama jagoan. Sama-sama pembela dan penjaga kebenaran.
Namanya pembela dan penjaga kebenaran, bisa dipastikan bahwa yang bersangkutan sudah tahu dan paham akan sebuah kebenaran. Mereka meyakini dan percaya apa yang dilakukan adalah hal yang benar. Tentu saja dilandasi ilmu dan pengetahuan.
Jika ada orang, kelompok, atau apapun yang mengatasnamakan pembela sesuatu, (pembela agama kah, pembela institusi kah, pembela ideologi kah, dan lain sebagainya), tapi dengan cara-cara yang kotor (caci maki, fitnah sana sini, propokasi, propaganda, dan cara kotor lain) bisa diibaratkan "wudhu dengan air kencing" seperti kata-kata Sunan Bonang ke Sunan Kalijaga tadi, maka perlu dipertanyakan pembelaannya. Perlu dipertanyakan kebenarannya. Benarkah mereka benar-benar membela agama?
Nah, di zaman media sosial ini, pun sepertinya memang butuh jagoan-jagoan yang membela kebenaran. Menjaga media sosial dari berita hoaks, informasi bohong, berita palsu, proganda, hingga fitnah.
Dan sepertinya, mereka yang tidak asal sebar informasi yang masuk ke WA pun bisa dikategorikan sebagai jagoan. Setidaknya ini seperti jagoan Betawi yang pada dasarnya belajar "maen" pukulan untuk menjaga diri dan keluarga: Setidaknya, dengan tidak asal sebar, bisa melindungi dirinya dari cap penyebar kebohongan atau penyuka hoaks.
Apalagi mereka yang maju ke depan dan dengan tegas bilang: "ini hoaks" terhadap informasi yang jelas kebohongannya. Ini lebih jagoan lagi. Karena bisa dipastikan, mereka yang tegas seperti itu, paham dan tahu kebenaran yang sesungguhnya.
Kalau pun belum tahu, jagoan pun akan mencari tahu kebenarannya. Dan anda, saya, dan siapapun, bisa menjadi jagoan media sosial. Ya, karena jagoan media sosial, bukan hanya mereka yang lihai menguasai teknik media dan informasi, atau mereka yang terkenal di media sosial, tapi mereka yang bisa menahan diri dari sikap asal sebar dan berupaya mencari kebenaran dari informasi yang datang.
Walau bertubi-tubi serangan informasi dan berita hoaks yang datang, para jagoan media sosial ini akan bilang dengan tegas kepada serangan bertubi-tubi tersebut: "Lu jual, gue borong!"
Allahu A'lamu bisshowab
Sawangan Baru 05062020
Komentar
Posting Komentar