Bismillah! Tak Ada yang Sia-Sia!
Albert Camus menggelontorkan cerita-cerita asik lewat bukunya Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus, 1947). Di antara jubelan cerita tentang Sisyphus yang menarik itu, ada satu yang buat saya tersentak pagi ini. Beruntung, saya tak tersedak saat menyeruput kopi dan tak batuk-batuk ketika asik menghisap asap rokok.
Salah satu cerita yang membuat saya tercengang adalah soal hukuman para dewa atas "kenakalan" Sisyphus. Hukuman itu justeru membuat saya melihat diri sendiri. "Jangan-jangan saya pun tengah melakukan hukuman seperti itu?"
Sisyphus adalah anak Dewa Angin dalam mitologi Yunani. Camus, menggambarkan perilakunya yang nakalnya "sealaihim gambreng", ditambah ngeyel yang gak ketulungan, pun mbeling yang gak karuan, pokoknya bandelnya itu sungguh aduhai. Tapi, di sisi lain, perilakunya itu diiringi sikap tabah, setia, dan lebih-lebih: bahagia.
Sisyphus dihukum para dewa karena menyalahgunakan kekuasaan. Melakukan apa saja yang disuka, meskipun itu kezaliman. Ia dihukum masuk neraka. Karena bandelnya yang nyentrik, di neraka pun ia masih lihai menipu para dewa. Ia minta supaya diizinkan pergi sebentar ke bumi. Tentu saja dengan janji akan kembali lagi ke neraka.
Sayangnya, ketika kembali ke dunia, ia terlena. Laiknya orang yang tengah jatuh cinta. "Ia menikmati air dan matahari, bebatuan yang hangat dan lautan,” demikian Camus berkisah, “ia tak mau lagi kembali kepada kegelapan neraka.” (quand il eut de nouveau revu le visage de ce monde, goûte l’eau et le soleil, les pierres chaudes et la mer, il ne voulut plus retourner dans l’ombre infernale).
Ada tiga kesalahan Sisyphus yang bagi para dewa begitu fatal dan berat, yaitu; hinaannya kepada para dewa karena membohongi mereka, kebenciannya terhadap kematian, dan gairahnya akan kehidupan. "son mépris des dieux, sa haine de la mort et sa passion pour la vie," tulis Camus.
Para dewa pun sepakat menjatuhkan hukuman kepada Sisyphus berupa siksaan tak terperikan di mana segala yang dikerjakan tak menghasilkan apa-apa. "ce supplice indicible où tout l'être s'emploie à ne rien achever", lanjut Camus.
Sisyphus dihukum tanpa ampun. Ia mesti mendorong sebuah batu ke puncak gunung. Setelah tiba di puncak, batu itu terguling kembali ke bawah. Begitu seterusnya. Dan Sisyphus harus selalu mengulang lagi mendorong batu itu.
Camus menegaskan tiada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu usaha yang sia-sia dan tanpa harapan. 'le travail inutile et sans espoir," ungkapnya. Dan itulah harga yang harus dibayar demi gairah akan bumi dan dunia ini. "le prix qu'il faut payer pour les passions de cette terre".
Camus menutup kisah Sisyphus dengan senyum yang barangkali sedikit angkuh. "Perjuangan menuju ke puncak itu sendiri, sudah cukup mengisi hati manusia; orang harus membayangkan Sisyphus bahagia,” ungkap Camus. (La lutte elle-même vers les sommets suffit à remplir un cœur d'homme; il faut imaginer Sisyphe heureux).
Saya membayangkan sikap "menerima" Sisyphus untuk menjalani pekerjaan sia-sia. Lalu saya melihat diri ini: apakah selama ini saya melakukan hal yang sama? Mengerjakan banyak hal yang sia-sia?
Sia-sia itu bisa dibilang tak ada gunanya. Tak ada manfaatnya. Percuma. Karenanya pagi ini sambil ngopi dan merokok, saya mempertanyakan itu semua. Malah, jangan-jangan ngopi dan rokok yang saya nikmati pagi ini pun demikian: sia-sia.
Saya coba menghibur diri. Menenangkan diri dengan percaya bahwa tak ada hal sia-sia dari segala ciptaan Tuhan. Seperti yang diterangkan dalam surat Al-q
Qiyamah ayat 36 dan Al-Mukminun ayat 115. Dan saya salah satu makhluk Tuhan, bukan?
Tapi, sayangnya, keisengan saya tak berhenti. "Tak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Itu Tuhan, bukan makhluk. Pertanyaannya, apakah ciptaan, kerjaan dan apapun yang dilakukan makhluk tidak ada yang sia-sia?"
Saya kembali terdiam. Mulai terasa benih-benih kesedihan. Termasuk penyesalan. Tapi, lagi-lagi saya mencoba menenangkan diri dengan bilang: "laa takhof wa laa tahzan, innalloha ma'ana!" Saya sedikit tenang. Walau masih ada yang mengganjal, saya berusaha untuk tetap tenang. Saya seruput kopi. Lalu menghisap rokok. Le Mythe de Sisyphe saya alihkan dengan membuka pesan-pesan di WhatsApp.
Endilalah, di salah satu group, ada teman yang menyebar tulisan soal orang-orang yang dianggap sia-sia menurut Abu Laist Samarqandi dalam karyanya Tanbihul Ghafilin.
Ada tujuh orang yang dianggap sia-sia: pertama, mereka yang mengaku takut neraka tapi tidak berhati-hati dari melakukan dosa. Kedua, mereka yang berharap tapi tidak berkeinginan (berusaha). Ketiga, mereka yang berniat baik, tapi tidak ada keinginan kuat dalam dirinya untuk melakukan apa yang diniatkan. Keempat, mereka yang berdoa tanpa berusaha. Kelima, mereka yang meminta ampun tapi tidak ada penyesalan. Keenam, mereka yang beramal secara terang-terangan, tapi tidak melakukan hal yang sama secara diam-diam. Ketujuh, mereka yang rajin ibadah, tapi tidak ikhlas.
Membaca pesan itu, saya makin malu dan terpuruk. Jangan-jangan selama ini saya hanya melakukan hal sia-sia? Tak ada gunanya. Tak ada nilai ibadahnya.
Gawai saya letakkan di atas meja. Saya hisap rokok yang masih tersisa sambil memejamkan mata. Tiba-tiba terasa sentakan di dada: bismillah!
Allahu A'lamu bisshowab
Sawangan Baru, 08052020
Komentar
Posting Komentar