Gak Ada Masalah.
Saya sangat bersyukur penjurusan dalam pendidikan baru saya alami ketika kuliah. Dari TK hingga Aliyah (tingkat SMA) kuping, mata, otak hingga hati ini dijejali berbagai materi ajar layaknya toge, tahu, kangkung, pepaya, dan bahan-bahan lain pada Gado-gado.
Tentu saja saat itu, sesekali, saya jalani dengan iringan rombongan kesal saking banyaknya PR, geram dengan guru "killer", hingga memilih tidur di kelas atau bolos menghindari penat karena banyaknya pelajaran untuk satu hari itu.
Ternyata efek dari itu semua, baru saya rasakan belakangan. Lantaran terbiasa dijejali berbagai disiplin pelajaran dan tetek bengek tugas dari guru yang bejibun, saat ini, ketika banyak kerjaan dan tugas yang mesti diselesaikan bahkan seperti teriakan tukang tahu bulat lewat speaker di atas Mobil pick-up; dadakan, semuanya bisa terselesaikan.
Soal hasil, saya hiraukan, sebab tugas saya hanya berusaha, dan berupaya menyelesaikan semua tugas itu layaknya merayu dan mendekati perempuan: mesti dilakukan dengan sebaik-baiknya dan serapi-rapinya.
Bersyukur, dulu, tidur di kelas dan bolos tidak terlalu sering saya lakukan. Tak terbayang andai itu yang jadi kebiasaan, bisa jadi saya akan kabur dan lari dari segala tugas dan kewajiban yang mesti dituntaskan.
Jika dulu, saya selalu meyakini bahwa semua guru adalah manusia hebat yang wajib saya patuhi, maka saat ini, keyakinan itu mengarah berkebalikan 120 derajat kepada para pemberi tugas. Sebab, saya merasa tugas yang mereka berikan tak seperti PR dari para guru.
Tugas mereka serba "tahu bulat"; dadakan dan suka berubah layaknya para ABG yang tengah di puncak plin-plan. Dan, di sinilah letak power lewat kuasa dan posisi benar-benar saya alami. Posisi saya layaknya kutu di rambut yang dengan gampangnya "dipites" kuku jempol.
Tapi, lagi-lagi saya tegaskan; saya sangat bersyukur sejak kecil dibiasakan oleh para guru untuk menerima berbagai tugas dan mesti diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Walau kadang, gerutu, gumam, hingga kesal mengiringi. Dan semuanya mesti selesai dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Ah, Jangan-jangan kebiasaan perintah dari atasan yang berubah-ubah itu ada kaitannya dengan deklarasi kemerdekaan negeri ini. Sejak kata-kata "dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" meletus lewat mulut Presiden pertama negeri ini di Jalan Pegangsaan itu sepertinya mereka yang punya "power" lewat jabatan benar-benar mengamalkannya dengan sempurna. Hingga setiap perintah, apapun, mesti dikerjakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Semoga saya salah.
Tapi sungguh, dalam deklarasi itu ada kesan terburu-buru. Kata orang-orang tua, apapun yang dikerjakan tergesa-gesa, hasilnya, ya gak jauh dari blepotan. Seperti orang yang terburu-buru ketika makan. Dan pepatah Arab bilang: terburu-buru itu pekerjaan setan. Ngeri, bukan?
Yah, sekali lagi, saya sangat bersyukur. Perintah apapun, tugas yang seperti apapun, semuanya saya mesti yakini terlebih dahulu: bisa diselesaikan. Jadi, itu bukan masalah. "No problemo."
Kalau kata Gusdur (Allahu yarhamhu), hidup itu gak lepas dari masalah. Tapi, yang perlu diketahui, masalah itu ada dua. Pertama, masalah yang bisa diselesaikan. Ini berarti, bukan masalah. Sebab bisa diselesaikan. Kedua, masalah yang tidak bisa diselesaikan. Kalau tidak bisa diselesaikan, berarti tidak perlu repot memikirkan, karena tidak bisa diselesaikan. Ini pun bukan masalah.
Jadi, sebenarnya masalah itu tidak ada. Masalah itu ada, ketika kita berpikir ada masalah.
Nah, kalau ada tugas dari atasan yang dadakan dan berubah-ubah, maka itu bukan masalah selama bisa diselesaikan.
Bagaimana menyelesaikannya? Ya, kerjakan. Bayangkan saja, seperti laki-laki yang tengah merayu dan mendekati perempuan yang disukai.
Allahu A'lamu bisshowab
Sawangan Baru 21072020
Komentar
Posting Komentar