Perempuan Hebat

Seorang perempuan membuka mata di pagi buta. Usai baca doa bangun tidur ia bergegas menatap dunia dengan semangat baja. 

Urusan tumpukan piring dan baju-baju di cucian, dengan sigap diselesaikan. Lanjut ke perkara debu dan segala kotoran di rumah dan halaman pun segera dituntaskan. Ia tak memikirkan diri sendiri yang masih berbalut daster. Ia yakin, air wudlu subuh cukup untuk sekadar menyegarkan segala. 

Tak ada waktu untuk layaknya aki-aki yang ngopi di pagi hari sambil baca koran atau nonton burung piaraan berbunyi. Baginya, pagi adalah pintu masuk mengarungi hidup di hari ini. Jika berantakan, maka amburadul-lah segala urusan. 

Usai menyiapkan sarapan untuk adik kesayangan semata wayang, ia bergegas ke kamar mandi. Kadang, kucuran air ampuh menyamarkan tangis. 

Saya sering memanggilnya perempuan hebat. Semua beban pekerjaan  ia sembunyikan di balik senyum di bibirnya yang ranum. 

Jam setengah enam pagi, ia sudah rapi dengan seragam sekolah, make-up tipis di wajah, dan segenggam harapan di dada. Dengan bismillah ia berangkat untuk mengajar di sekolah. 

Tiba di sekolah, ia tak menjumpai teriakan anak-anak muridnya yang sering membuat lupa segala nestapa. Usia mereka sedang di fase lucu-lucunya. Begitu menggemaskan. Ingin terus mencubit lembut pipi mereka.

Pagi ini, seperti kemarin-kemarin, ia hanya bisa menjumpai murid-murid kesayangannya itu setelah membuka dan menyalakan laptop. Sementara ini, tak bisa ia memeluk mereka langsung satu persatu. Ia hanya bisa menatap layar laptop yang memuat wajah-wajah menggemaskan murid-muridnya di Kelompok Bermain.

Materi ajar, masih bisa disampaikan lewat layar. Tapi, mengajarkan bagaimana hormat kepada mereka yang lebih tua, menyayangi sesama, dan hal-hal yang perlu keteladanan, tak mungkin bisa diberikan lewat layar yang diampu internet. 

Lantaran wabah yang kasat mata, pembelajaran mesti dilakukan dengan berjarak. Saya membayangkan, bagaimana bisa sentuhan dan kedekatan emosional bisa tercipta jika masih ada jarak di antara mereka? 

Ah, bagaimanapun peraturan pemerintah, terutama Menteri Pendidikan mesti dijalankan. Pembelajaran mesti tetap dilakukan dengan jarak, bahkan jauh. Istilahnya PJJ alias pembelajaran jarak jauh. Tapi kini berubah lagi menjadi BDR alias belajar dari rumah. 

Lebih dari sejam, perempuan hebat ini menatap layar laptop. Ada jeda beberapa menit. Ia memejamkan mata, sambil jempol dan telunjuk tangan kanan menekan lembut pangkal hidungnya. 

Dalam pejam, ia teringat tetangganya yang tak punya ayah. Untuk makan saja mesti bersusah payah. Lalu bagaimana dengan anaknya? Jangankan laptop, HP saja tak punya. Pun tetangganya yang lain yang sering "curhat" soal quota internet yang katanya lebih mahal dari seliter beras. 

Perempuan hebat ini beruntung, pihak sekolah menyediakan fasilitas laptop dan jaringan WiFi yang bisa dipakai. Lalu bagaimana dengan mereka yang untuk makan saja masih tergopoh-gopoh? 

Waktu istirahat tiba. Belum selesai pertanyaan, datang lagi tugas dari atasan yang kadang menyebalkan. Sesuka hati mengubah perintah dalam hitungan menit. Itu sering membuatnya tak punya waktu untuk sekadar minum teh. 

Waktu jedanya, hanya ketika adzan berkumandang. Ia punya alasan untuk meninggalkan pekerjaan. Walau sementara, itu sungguh berharga. 

Walau dijadwal jam 17.00 waktunya pulang ke rumah, beberapa kali ia baru bisa beranjak pergi dari sekolah ketika matahari tak terlihat lagi. 

Sampai di rumah, ia melihat segala kembali seperti semula. Tumpukan piring dan baju di bak cucian. Barisan debu di lantai. Runtuhan dedaunan di halaman. Tak ketinggalan adik kesayangannya yang belum makan. 

Setelah duduk sebentar di bangku di serambi rumah, ia atur nafas mengumpulkan tenaga. Lalu bangkit kembali mengerjakan dan membereskan semua. Tak terasa jam sepuluh lewat. 

Letih mulai terasa menguasai tubuh. Mata terbuka separuh. Ia ambil HP. Ratusan pesan dari atasan mengingatkan akan tugas dan pekerjaan yang belum selesai. 

Di saat seperti itu, saya yang dari jauh, hanya bisa mengiriminya pesan lucu, berharap ia bisa tersenyum lalu tertawa. Walau tak jarang malah membuatnya kesal dan ingin menjitak kepala saya. 

Tak ketinggalan, ucapan selamat istirahat selalu saya sampaikan. Terselip doa yang diam-diam saya ucapkan dalam hati: moga perempuan hebatku ini diberi kekuatan lahir batin. Setidaknya masih ada tenaga baginya untuk tertawa dan bahagia.

Sawangan Baru, 20072020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)