Begitulah Manusia: Jangan Pernah Berharap Padanya.

Sekali lagi saya mengamini nasihat ajib; jangan pernah berharap kepada manusia. Meskipun harapan itu lahir dari janji yang dibungkus kata-kata manis. Sekalipun itu datangnya dari seorang yang di anggap tokoh. Tokoh agama kah, tokoh politik kah, ketua suatu lembaga dan institusi kah, dan tokoh-tokoh yang lain. Intinya, kalau tidak mau kecewa dan sesak dada, jangan sesekali berharap kepada manusia. 

Saya mau cerita tentang tiga orang anak muda yang kecewa pada atasannya. Mereka bertiga panitia sebuah acara. Dalam perjalanan mempersiapkan acara, atasan mereka, yang konon adalah tokoh agama dan dikenal solatnya begitu tepat waktu, menjanjikan hadiah seratus juta rupiah bagi panitia yang berprestasi bisa mendatangkan paling banyak orang ke tempat acara. 

Tiga anak muda ini termotivasi. Mereka menyusun strategi. Mempelajari bagaimana masyarakat bisa datang ke lokasi acara. Mereka fokus pada hadiah yang diiming-imingi sang atasan. Tak ragu, ketiga pemuda ini pun rela mengeluarkan biaya pribadi yang tak sedikit agar bisa mendapat hadiah. Karena katanya, jika ingin mendapat ikan besar, umpan dan pacingannya pun mesti besar. 

Taktik dan strategi telah ditentukan. Mereka yakin bisa menang. Mereka datangi masyarakat dan mengatakan bahwa atasan mereka menyiapkan hadiah jika orang-orang mau datang ke lokasi acara. "Kalau kita dapat hadiah, kita bisa jalan-jalan," tegas salah satu pemuda ke setiap warga. 

Seiring perjalanan, hadiah berubah. Bukan lagi uang tunai total 100 juta rupiah, tapi menjadi satu unit ambulans. 

Ketiga pemuda tak peduli hadiah berubah. Bagi mereka yang terpenting bisa berprestasi. Mereka sepakat jika dapat ambulans, akan dihibahkan ke lingkungan. Ketua lingkungan pun sepakat bahwa ambulans itu untuk masyarakat. Terlebih di masa pandemi.

Acara berjalan. Seperti dugaan. Ketiga pemuda ini berhasil mendatangkan warga sebanyak 77,3 persen dari target 100 persen ke tempat acara. Tentu saja ketua lingkungan dan orang-orang di kampung tersebut pun ikut andil menyukseskan acara.

Mereka berhasil menjadi juara untuk tingkat kehadiran masyarakat paling tinggi ke tempat acara. Kampung lain di bawah mereka. 

Sayangnya, prestasi mereka justeru diikuti kecewa. Pasalnya, atasan mereka yang koar-koar, gembar-gembor, dan selau bicara soal hadiah, ternyata berkilah. Ya, hadiah itu hanya berupa plakat dan piagam saja.

Ketiga pemuda itu tak tinggal diam. Sebab, banyak pesan yang masuk ke handphone mereka mempertanyakan soal hadiah.

Mereka menkonfirmasi dan mendatangi atasan mereka mempertanyakan soal hadiah. Sayangnya, yang mereka terima hanya alibi dan seseorang yang sangat pandai berkilah.

Pertama, atasan mereka mengatakan bahwa "akan ada lomba". 

Nah, kata "akan" ini dipolitisir. Bahwa itu baru rencana. "Namanya lembaga dan institusi, kalau ada acara, program, atau kegiatan, mesti tertulis resmi.

Salah satu pemuda menimpali: "kalau belum resmi, kenapa sudah diumbar-umbar?"

Atasan mereka mengatakan bahwa sebagai atasan mengatakan hal tersebut adalah wajar. Mengatakan rencana dan wacana adalah wajar.

Ketiga pemuda mulai terasa panas dan sesak di dada. 

Kedua, orang-orang yang bisa didatangkan ketiga pemuda tersebut berjumlah 77,3 persen. "Sementara yang saya katakan dimana-mana, adalah 77,5 persen lah yang akan kami kami hadiah," kilah sang atasan. 

Dada da kepala ketiga pemuda makin panas dan pengap.

"Kami bisa pastikan, tidak ada, syarat jumlah tersebut. Pak ketua tidak pernah mengatakan itu," timpal salah satu pemuda. 

Lagi-lagi dengan santai dan licinnya (lebih tepatnya licik), sang atasan mengatakan, "coba kasih saya bukti, rekaman atau video, yang menunjukkan yang kamu katakan itu benar."

Jreeeeng... muka Ketiga pemuda makin memerah. Dada mereka naik turun semakin cepat.

Mereka sadar. Mereka lemah di bukti. Walau banyak saksi yang mendengar ucapan atasan mereka, tapi kalau dibawa ke ranah hukum, ketiga pemuda tersebut di posisi tak berdaya; tak ada bukti konkret.

"Ya Allah, Ama bawahan sendiri, segitu amatnya nih orang mempolitisasi," batin salah satu pemuda.

Ketiga, program pemberian hadiah itu tidak disetujui oleh pemerintah yang punya duit. "Kami sudah layangkan surat ke pemerintah, sayangnya sampai sekarang tidak ada jawaban," kilah sang atasan.

"Tak ada jawaban bukannya beda ya pak dengan tidak disetujui," respon salah satu pemuda mencoba ikut mempolitisasi kata-kata.

Sayangnya, lagi-lqgi sang atasan mengatakan bahwa tidak direspon sama saja dengan tidak disetujui.

Ketiga pemuda membawa kecewa. Ditambah banyak warga yang mempertanyakan soal hadiah. Meski sudah dijelaskan sesuai jawaban sang atasan, namanya masyarakat, tetap saja ada yang tak percaya. Sampai ada yang bilang; "jangan zholim, duit hadiah jangan dimakan sendiri. Perut meletus baru tau rasa lu."

Salah satu pemuda yang menerima pesan itu hanya bisa mengelus dada. Seenggaknya mereka sudah berusaha. 

Dan kini, mereka hanya bisa pasrah, saling menguatkan, dan menerima apapun yang disangkakan masyarakat pada mereka. 

Ya, ini pelajaran dan catatan penting bagi mereka. Namanya manusia yang punya jabatan memang begitu. Karena memang jabatan itu tak hanya jabatan publik tapi juga jabatan politis. 

Jadi, jangan sesekali berharap pada manusia. Sekalipun rajin solat dan ibadahnya. Sekalipun ia tokoh masyarakat. Sekalipun ia anggota ormas agama. Sekalipun ia atasan. Sebab, manusia memang begitu; akan selalu cari aman untuk dirinya.

Ya, cari aman. Ini pun dirasakan sungguh oleh ketiga pemuda itu. Teman-teman, rekan-rekan, bahkan koordinator di atas mereka pun diam soal hadiah yang jadi bualan belaka ini. Semua mencari aman sendiri. Mengamankan posisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)