Di Lampu Merah



Saat kendaraan berhenti di lampu merah, di perempatan atau pertigaan, entah sejak kapan, saya sering disambangi berbagai tipe orang. Ada yang terlihat memainkan berbagai jenis alat musik, seperti gitar, gendang yang terbuat dari paralon atau pipa air, biola, hingga kemasan air minum yang diisi beras. 

Dari dalam mobil, sungguh, tak jelas lagu dan musik jenis apa yang mereka mainkan. Namun, beberapa detik kemudian, seseorang dari mereka mendekati kaca samping mobil, sambil menyodorkan bungkusan plastik. Sesekali tangan mereka terlihat seperti memohon. Kepala pun ikut sedikit menunduk. Jika ada recehan, lima ratus, seribu, dan dua ribu perak, biasanya tangan saya seperti otomatis membuka kaca jendela lalu memasukan recehan itu ke kantong plastik yang disodorkan. 

Umumnya, orang-orang menyebut mereka pengamen jalanan. Bagi mereka yang punya suara enak di telinga lalu lincah bermain alat musik, sepertinya recehan yang diberikan terasa pantas. Tapi, ini sudah tak seperti itu. Dari dalam mobil, suara musik tak terdengar. Tapi, saya tetap saja memberi uang.

Yang lebih mengherankan adalah mereka yang mendekat hanya dengan bermodal botol air kemasan berisi beras. Meski gak ada sama sekali unsur suara dan musik (yang seenggaknya) enak didengar, tapi tetap saja, kaca jendela akan saya buka lalu menyodorkan mereka recehan.

Selain mereka (yang seolah-olah ingin disebut) pengamen atau musisi jalanan, belakangan, ada lagi gerombolan manusia yang mendekat. Orang-orangnya sering menyebutnya manusia silver. Mungkin karena wajah dan tubuh mereka ditutupi cat berwarna silver. 

Aksi mereka lebih aneh dan mengherankan Lagi. Saat lampu berwarna merah, Mereka berdiri dan diam beberapa detik menghadap kendaraan-kendaraan yang berhenti. Biasanya, posisinya seperti orang yang tengah upacara bendera: hormat. 

Sepertinya mereka hapal betul berapa detik lampu merah akan berubah menjadi kuning dan hijau. Sebelum berubah, mereka mengakhiri aksi diam sambil hormatnya lalu mendekati para pengendara lalu menyodorkan bungkusan plastik. 

Mungkin untuk hal ini saya bisa dibilang pelit. Walau ada recehan, saya mengangkat tangan kanan, simbol minta maaf dan tak membuka jendela mobil. Sesekali saja saya menyodorkan uang logam, terlebih jika ada anak kecil di antara rombongan manusia silver itu.

Sebab, apa yang manusia silver ini suguhkan, sungguh belum bisa saya nikmati. Menyuguhkan seni, lantaran tubuh mereka dibalur cat silver? Menyuguhkan atraksi hormat yang tak lebih dari 10 detik? 

Meski begitu, mereka tetap berkeliaran di setiap lampu merah. Bahkan hingga tengah malam. Saya mengira bahwa manusia silver tetap bertahan dan eksis di situ karena tak sedikit recehan yang memenuhi kantong mereka. 

Sungguh sampai detik ini, ingin rasanya membubarkan, terlebih kebanyakan adalah anak-anak, bahkan ada balita, di rombongan mereka. Pernah terpikir untuk tak memberi uang logam. Tapi rasa (tak tega) mengalahkan logika. Ya, saya tak tega dengan manusia seperti mereka. Pasti ada sebab dan landasan kenapa mereka berlaku sedemikian rupa. 

Ya, lampu merah seperti kantor, ladang, dan tempat bekerja bagi mereka. Pun seperti panggung untuk segala atraksi. Tentu saja semua itu berujung dengan harapan ada receh yang bisa mereka terima. Walau tak jelas apa yang disuguhkan. Hanya satu yang saya yakini: mereka berlaku begitu karena ingin menyentuh rasa iba dari setiap pengendara yang berhenti di lampu merah.

Karena tak mau dibilang pengemis yang hanya menyodorkan tangan lalu meminta-minta, sepertinya mereka berusaha memberi sesuatu yang berbeda. 

Pengamen atau musisi jalanan mencoab menyuguhkan permainan musik dan lagu, walau tak terdengar suaranya. Orang yang memainkan botol air kemasan pun mencoba menyuguhkan lagu walau saya masih belum dapat apa profesi dan sebutan yang pantas untuk jenis yang satu ini. Sementara manusia silver mencoba menyuguhkan seni mewarnai tubuh. Meski semuanya tak menyentuh sisi estetis, tapi itu upaya mereka untuk mendapatkan rupiah. 

Terlepas dari sehat atau enggak, pantas atau tidak, enak atau tidak, saya mengapresiasi untuk upaya dan usaha yang mereka lakukan untuk meraup rupiah. 

Ya, dari semua itu, setidaknya ada satu hal yang punya kaitan dengan dunia jual beli. Dan sepertinya ini bisa jadi semacam strategi penjualan yang bisa diterapkan bagi siapapun yang mau berjualan. Apa itu?

Sentuh rasa (perasaan) bagi setiap calon pembeli. Ya, seperti dimafhum dan dimaklum, ketika perasaan (emosional) meninggi, sering membuat kemampuan berpikir menurun. 

Seperti orang-orang di lampu merah. Apabyang dilakukan pengamen dan manusia silver sebenarnya menyentuh sisi-sisi perasaan para pengendara. Ketika hati bicara, kadang tak butuh logika, bukan?

Tanpa berpikir, para pengendara memberi receh yang dipunya. Sekali lagi, meski yang dilakukan pengamen dan manusia siler tak bisa dinikmati. 

Nah, disamping perasaan, ada unsur lain dari manusia yang bisa membuat mereka membeli produk yang kita jual. Apa itu? Logika.

Ya logika. Kemampuan berpikir ini pun mesti disentuh oleh para penjual ke setiap calon pembeli. Diantaranya bagaimana membuat pembeli mendapat hal lain yang tak hanya sekadar produk. 

Misalnya, dengan 25.000, mereka tidak hanya mendapat celana pendek dan kolor yang murah, tapi bisa menghemat bahkan bisa menabung. Karena celana pendek adalah jajanan awet. Masih bisa dipakai hingga setahun lebih. Dan lain sebagainya.

Bagaimanapun, setiap orang pasti punya perhitungan soal uang. Punya manajemen keuangannya sendiri. Misalnya pendapatan sebulan sebesar 1 juta rupiah. Itu dibagi-bagi, untuk makan, sekolah anak, dan lain-lain. Termasuk untuk pakaian. Nah, jika produk pakaian yang dijual bisa membantu menghemat pengeluaran keuangan mereka, maka sepertinya ini asik juga.

Saya coba menghitung-hitung. Pengeluaran saya untuk makan jauh lebih besar dari pengeluaran untuk pakaian. Pakaian yang saya beli, masih bisa dipakai untuk beberapa bulan. 

Sekilas, kalau saya beli celana pendek seharga 35.000 dengan nasi ayam goreng yang 15.000. terlihat lebih mahal dan lebih besar pengeluaran untuk pakaian. Tapi mari kita hitung kembali.

35.000 celana pendek, bisa dipakai untuk setahun. Biar enak hitung-hitungannya, anggap aja setahun itu 365 hari. Nah, ketika kita membeli celana pendek seharga 35.000 maka sebenarnya, kita ngeluarin uang hanya sebesar 80-90 perak perhari. 

Coba bandingkan dengan harga seporsi nasi dan ayam goreng. Anggap saja harganya 15.000. setiap makan kita mengeluarkan 15 ribu. Kalau makan 3 kali sehari, berarti 45 ribu uang yang kita keluarkan sehari untuk makan. 

Bisa tergambar perbedaan keduanya?

Nah itu dari sudut pembeli. Kalau dari sudut penjual, tentu saja kebutuhan pangan alias urusan perut manusia bisa jadi peluang bisnis dan usaha yang menggiurkan. 

Tapi, lagi-lagi saya hanya ingin mengajak kita untuk bijak dalam mengatur keuangan. Bijak itu kata orang-orang didasar atas kemampuan logika dan hati yang beriringan.

Sawangan Baru, 15022021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)