Kolor dan Celana Pendek
Lama tak bercerita di dinding Facebook ini membuat saya memupuk rindu. Padahal setiap hari selalu ada hal menarik. Dari asal-asalan dan spontan hingga serius dan memeras pikiran, segala momentum dan kejadian patut diabadikan lewat tulisan. Seperti kata almarhum Pramoedya Ananta Toer; menulis adalah kerja keabadian. Meski ada pertanyaan, buat apa berlaku demikian, seenggaknya saya mengekor teman yang bilang; "teruslah hidup meski tak berarti."
Ini mirip dengan segala laku manusia; ada yang bermanfaat, ada yang memanfaatkan, hingga ada yang tak bermanfaat. Ya, apapun itu, saya tetap meyakini: tak ada hal yang sia-sia, ada saatnya apapun yang dilakukan akan berguna. Tentu dengan segala konsekuensinya. Keyakinan itulah yang membuat saya memilih melakukan hal-hal yang terlihat remeh dan receh.
Beberapa tahun terakhir saya memilih dunia yang membuat saya jauh dari: teman-teman yang dulu suka bergerak dan membuat program, teman-teman yang lincah bergeliat dengan politik dan kekuasaan, hingga teman-teman yang doyan dengan literasi dan kata-kata. Saya memilih dunia yang bagi sebagian orang adalah tempat yang kotor dan menjijikan. Ya saya perlahan mempelajari dunia sampah dan limbah.
Segala jenis dan rupanya tak luput dari perhatian. Hingga saya mencoba terjun ke dunia limbah konveksi dan garment. Tenaga, waktu, pikiran, hingga biaya banyak terkuras untuk hal ini. Terlebih beberapa tahun terakhir, saat awal-awal saya menapaki dunia ini. Tapi, lagi-lagi saya makin meyakini; musuh utama diri sendiri adalah kebodohan dan ketidaktahuan. Alhamdulillahnya, Tuhan begitu sayang hingga ciptaan-Nya yang bernama manusia diberikan bekal untuk meniarapkan musuh besarnya itu.
Bekal itu bernama hati dan pikiran. Pikiran untuk mempelajari segala urusan. Mulai hitung-hitungan, prediksi dan perencanaan, hingga menentukan langkah dan pergerakan. Sayangnya, tak jarang pikiran membuat tak tenang, karena sifatnya yang sering keras dan merasa paling benar.
Padahal, kenyataan seringkali tak sesuai dengan apa yang dipikirkan. Misalnya, perhitungan biaya untuk perputaran usaha. Kalkulasi sudah tepat tapi kenyataan melah membuat kepala pening begitu berat. Konsumen yang menawar harga dengan tegas: "kalau mau harga segitu, saya ambil. Gak mau, ya saya gak ambil." Hal-hal meleset, tak sesuai harapan, dan tak terprediksi seperti itu yang sering buat diri ini lemas, kecewa, hingga pusing lebih dari tujuh keliling.
Bersyukurnya, ada hati yang bawaan "oroknya" bersifat lembut. Pikiran yang tegas dan keras mesti didampingi oleh hati yang melembutkan. Tapi, perlu diingat juga, hati itu dari "sononya" rapuh. Sering plin-plan. Nah, pikiran juga lah yang menguatkan. Keduanya seperti pasangan cewek-cowok yang mesti saling: menguatkan dan melembutkan. Bekal itulah yang hingga saat ini terus saya gunakan.
Berawal dari limbah kain, perlahan saya mulai tahu, bahwa semuanya masih bisa diolah. Lagi-lagi saya pelajari, jenis kain, ukuran, hingga pelaku dan tempat mereka yang menyediakan segala kebutuhan untuk pakaian. Dan ternyata, tak sedikit orang-orang yang menjual kain utuh (masih ngeroll) dengan harga terjangkau. Darimana mereka dapat kain seperti itu, kalau tak khilaf, akan saya ceritakan di lain waktu. Dari mereka inilah saya dapat kain dengan harga yang sangat terjangkau.
Nah, kain itu akan terdampar begitu saja, jika tak ada tangan kreatif yang menyentuhnya. Lagi-lagi setelah bertemu sekian banyak orang, saya bertemu dengan satu orang yang keahliannya memang membuat pola pakaian tapi tak mahir menjahit, pun tak punya peralatan seperti mesin jahit, obras, dan lain-lain. Sebut saja namanya Bukan Mawar
Pertemuan dengannya susah lama. Hingga beberapa bulan kemudian saya bertemu dengan teman yang datang membawa luka dan nestapa. Ia seorang pengusaha konveksi yang nasibnya tengah di ujung tanduk. Ia hendak menjual semua mesin dan peralatan usahanya. Sebut saja namanya Bukan Melati.
Ting... Saya teringat dengan Bukan Mawar. Saya bilang ke Bukan Melati, agar tidak menjual peralatan konveksinya itu. Saya ajak dia kerjasama. Intinya, sih, ujung-ujungnya peralatan konveksinya tetap saya beli. Tapi, saat itu saya sudah dapet Bukan Mawar yang bisa pola, dan Bukan Melati yang bisa jahit.
Tantangan berikutnya datang berupa pertanyaan: mau bikin apa?
Soal ini terjawab dengan mudah. Segala jenis pakaian bisa dengan mudah diproduksi. Tantangan paling berbobot adalah soal penjualannya. Mau dikemanain setelah pakaian jadi? Produksi butuh penjualan. Sebab ujung tombak geliat produksi ada di penjualan. Bukan Mawar dan Bulan Melati, saya minta tetap tenang dan sabar. Penjualan menjadi tugas saya untuk dituntaskan.
Sebelum meminta tenang dan Sabar, Saya meminta Bukan Mawar dan Bukan Melati, untuk membuat contoh pakaian jadi. Seadanya
Sedapatnya. Beruntung, Bukan Melati masih punya sisa kain yang belum diproduksi.
Pakaian contoh pun jadi. Ada gamis, tunik, dan lain-lain, kebanyakan pakaian perempuan. Masing-masing satu potong. Ini penting, bagi saya, jualan ya harus ada produknya. Walau sekadar poto atau video.
Saya silaturahmi ke berbagai tipe manusia. Ada yang menolak, ada yang mendukung tapi tak memberi solusi, hingga ada yang siap menjual tapi dengan sistem konsinyasi alias produk kita kasih dulu, bayar di pengiriman kemudian. Lagi-lagi kepala ini dibuat "tuing-tuing".
Berhari-hari Bukan Mawar dan Bukan Melati menunggu kabar. Hingga akhirnya, saya bertemu tak sengaja dengan seorang nenek yang luar biasa. Ia menawari saya daganganya berupa nasi uduk, gemblong, dan makanan lain untuk sarapan.
Sambil asik menikmati gemblong di pinggir jalan. Saya ajak ngobrol nenek (sebut saja namanya Mak Matahari). Hingga saya tahu, bahwa anak-anak Mak Matahari sebenarnya melarangnya untuk jualan. Tapi, "Mak gak betah diem dan bawaannya pengen jualan aja. Karena dari dulu emak emang jualan dan hasilnya buat ngebesarin Anak-anak. Ini aja, makanan ini, sebenernya emak masih ambil ke orang. Kalau emak bikin sendiri, pasti gak boleh Ama anak-anak."
Ting... "Emak mau gak jualan pakaian?" Tanya saya yang langsung dijawab mau olehnya.
"Tapi, kalau bisa celana pendek dan celana kolor aja, De. Emak udah biasa keliling kampung buat jualin. Malah emak emang dari dulu jualan itu. Cuma udah lama, tempat emak ambil kolor, tutup."
Ting... Saya langsung hubungi Bukan Mawar dan Bukan Melati lewat WA. Mereka siap. Saya minta izin ke Emak Matahari untuk silaturahmi ke rumahnya. Kebetulan, jualannya memang sudah habis.
Saya bertemu dengan anak Emak Matahari. Saya sampaikan niat untuk menyuplai celana pendek dan celana kolor. Tak disangka, ini bersambut. Anaknya Mak Matahari kena imbas pandemi. Sudah beberapa bulan tak ada pemasukan karena dirumahkan. Ia kerja serabutan. Ketika saya tawari, ia langsung merespon siap membantu emaknya untuk keliling jualan celana.
Mereka berdua reseller pertama. Dan tak disangka, penjualannya luar biasa. Awal saya suplai 100 pieces, tiga hari kemudian mereka minta kembali. Dan setorannya pun memuaskan. Hingga saat ini, saya menyuplai mereka di kisaran 100-150 potong celana tiga hari sekali.
Media sosial, terutama WA pun sangat membantu. Perlahan reseller berdatangan. Minimal pesan 2 kodi alias 40 potong. Karena harga dari saya yang sangat murah, bahkan lebih murah dari sebungkus rokok pilter yang saya beli, mereka pun pesan kembali.
Bukan Mawar, Bukan Melati, penjahit yang membantu Bukan Melati, Mak Matahari, anaknya Mak Matahari, mulai cerah kembali. Tentu saya pun ikut menikmati.
Dan saat ini, dari proses yang sedemikian rupa itu, sekali lagi saya ingin bilang: tak ada yang sia-sia dari segala pekerjaan asal diiringi hati dan pikiran. Dan perlu diingat, tak ada keberhasilan tanpa kehadiran orang lain yang ikut membantu dan mendoakan.
Sawangan Baru, 13022021
Keren tulisan nya.. ga sadar sy baca ampe abis...
BalasHapusDan semoga usahanya berkah.. menambah berkah buat sekitarnya..
Terimakasih pak Jayadin.
BalasHapus