Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

Edan.

Gila. Edan. Pe-A. Sinting. Setdah. Gendeng. Embelgedes. Kira-kira apa ya, kata yang bisa mewakili apa yang dilakukan Kulub hingga menjelang subuh ini. Jam tiga lewat tiga puluh menit, ia menelepon dan meminta saya datang ke rumahnya. Ada hal vital, urgen, dan krusial yang mau ia bicarakan. Saya pun bertanya balik, kenapa tidak Kulub saja yang datang ke rumah saya seperti biasa. Ia menjawab dengan suara lemas, tenaganya hampir habis dan tak kuat lagi untuk berjalan. Seperti jambret yang dengkulnya mau copot dikejar-kejar massa. Hal tersebut, membuat saya bergegas ke rumahnya, seperti orang yang ingin buang air besar; segera dan mesti dituntaskan. Jalan sepi membuat perjalanan saya lebih cepat. Kurang dari dua puluh menit saya sampai di rumah Kulub. Kamar Kulub yang terpisah dengan rumah utama memudahkan saya dan siapapun yang ingin ke kamarnya, kapanpun. Pintu tak terkunci. Kulub terbaring di atas kasur. Ia bangun lalu duduk dengan kaki masih "selonjoran". Mukanya begitu...

Topi

Perubahan adalah niscaya dan pasti. Bisa karena tuntutan yang memaksa dan menggiring seseorang untuk berubah, bisa juga karena keinginan yang bersumber dari diri sendiri seperti kentut yang mesti dan penting untuk dikeluarkan. Perihal orang lain menerima atau tidak, urusan belakangan. Kepuasan, kelapangan, kelegaan, dan kesehatan diri mesti diutamakan. Termasuk perubahan. Perubahan ini pula yang memicu dan memacu terjadinya berbagai hal besar, seperti reformasi termasuk revolusi. Tidak hanya kata, sifat dan bentuknya pun bisa membuat sejarah. Banyak hal terjadi dan tercatat sebagai sejarah atas dasar keinginan untuk berubah. Dan sepertinya, perubahan ini memang takdir yang tak bisa terelakkan. Seperti seorang bayi yang tak bisa memilih lahir dari rahim perempuan mana. Mau tak mau, suka tak suka, rela gak rela, mesti diterima, dijalani, bahkan dinikmati. Hal ini pun sering terjadi pada saya. Kali ini menimpa pada soal yang sering saya abaikan: penampilan. Sejak mendapat topi dari seo...

Waktu

Ada yang bilang, waktu seperti pedang yang bisa membunuh seseorang. Lah endilalah ungkapan sangar kayak singa lapar ini malah membuat keisengan saya kambuh. Mungkin, lebih tepatnya, mempertanyakan; pedang yang kayak gimana sih? Pedang yang tajam beneran atau pedang mainan keponakan saya yang berumur 4 tahun? Kok, waktu kayak rumah kosong berhantu, angker? Bahkan terlihat kejam ampe bisa membunuh (memotong) seseorang? Seorang teman diskusi menegaskan ungkapan itu untuk penegasan pentingnya mengingat, mengelola, dan menguasai waktu. Tentu saja, teman diskusi saya itu dia. Iya, dia. Perempuan yang begitu sabar menunggu sebuah jawab. Perempuan yang seperti tak peduli arti kepastian yang sering dipertanyakan perempuan-perempuan di negeri ini ke laki-laki yang diharap bisa jadi suami. Mendengar penjelasannya, perlahan saya terima apapun analogi tentang waktu yang diungkap seseorang. Setiap orang berhak berpendapat, bukan? Dan yang menarik dari diskusi kami malam ini di sebuah resort di Sen...

Ingin Nulis Aja

Sejak Kulub menasihati, agar setiap hari melakukan sesuatu dan hal terbaik yang saya bisa dan meski tidak besar, saya mesti memiliki pencapaian, perlahan dan pasti, ini menjadi semacan salah satu pegangan saya dalam menghidupkan hidup tiap harinya. Tak peduli, saya terjebak pada rutinitas atau memilih melakukan yang tak biasa di luar rutinitas. Pencapaian mesti ada. Walau sebesar debu. Nah, alhamdulillahnya, tik tok waktu saya hari ini tidak melulu mengantarkan pada rutinitas. Ada yang berbeda. Malah tersentak hebat saya dibuatnya. Ya, diri ini dibuat kaget hingga mata terbelalak alias melotot. Beruntung ini bukan dunia kartun yang ketika kaget, mata melotot bisa keluar dari batok kepala. Tentu saja diiringi latar belakang musik dan suara "tuwew wew wew". Tak seperti biasa, jam tujuh pagi saya sudah terbangun. Biasanya jam sepuluh, sebelas, bahkan jam dua belas siang saya baru bangun. Pasalnya, mata ini baru bisa terpejam setelah waktu subuh datang bertandang. Setelah membu...

Pesan Cinta Buya Hamka

Edan. Benar-benar edan. Malah, kalau perlu, ditambah hurup y dan a jadi edyan. Ini untuk penegasan yang sungguh-sungguh. Meski sering saya alami, yang namanya edan atau keedanan ini membuat saya seperti mendapat perhatian lebih dari seorang perempuan cantik. Apalagi kalau perempuannya yang saya suka. Duh, betapa edan hidup ini. Eh, maksudnya betapa indah dan nikmat hidup ini. Meski, bagi beberapa orang, kata edan digunakan untuk menunjukkan cemooh. Tapi saya lebih suka menggunakan kata ini untuk hal-hal yang ajib, indah, mbohay, gemulai, penuh kenikmatan, keseruan, keluarbiasaan, dan hal-hal yang istimewa lainnya. Ya, hari ini, tepatnya tadi siang hingga sore, saya mulai berkarib lagi dengan laptop. Setelah menulis hal receh yang membuat mata panas, walau sudah dihalau kacamata minus, saya merebahkan badan. Memejamkan mata sesaat. Dianggap cukup, saya iseng membuka buku Horison Esai Indonesia. Membuka acak halamannya. Dan tak direncanakan, saya bertemu dengan Buya Hamka lewat tulisa...

Penjual Kopi

Jam segini, kebanyakan orang tidur pulas. Tentu dengan gaya masing-masing. Ada yang tengkureb seperti perahu terbalik. Ada yang celentang penuh kemerdekaan. Ada yang miring membentuk hurup sembilan. Pun tentu saja dengan karakter masing-masing. Ada yang tidurnya sambil senyum, mungkin tengah bermimpi basah-basahan. Ada yang nyanyi lagu kodok bernada ngorok. Ada juga yang ngigo sambil menyebut nama mantan. Tak ketinggalan ada yang tidur sendirian. Ada yang berduaan. Ada yang beramai-ramai. Ada yang tidur sendirian tapi berasa tidur berdua. Pun sebaliknya, ada yang tidur berdua tapi merasa sendiri. Apapun dan bagaimanapun, kebanyakan orang pasti tidur di jam segini. Dan saya salah satu orang yang sangat ingin masuk ke bagian kebanyakan orang tersebut. Sayangnya, mata saya selalu menolak. Di jam-jam segini, justeru mata ini sedang berada di puncak tegar dan segarnya. Terlebih, jika ada rokok, kopi, buku, pulpen, kertas, teman, orang ronda, facebook, twitter, akun media sosial mantan, d...

Sakit Perut

Namanya sakit bisa datang kapan saja. Tak pandang usia, tak pandang jenis kelamin. Bahkan, satu jam lalu masih seger buger, detik ini tiba-tiba terkapar, lemah lunglai, tak berdaya. Dan bersyukurnya, saya mengalami itu. Alhamdulillahnya tidak perlu ke dokter, cukup lima kali bolak balik kamar mandi, kelar urusan. Hanya menyisakan lemes dan sepertinya perlu banyak minum air. Sambil tiduran di atas kasur yang lebih dari dua puluh purnama tidak pernah dijemur, tangan kanan mengusap-usap perut dengan sesekali menekannya, tiba-tiba ada pesan di whatsapp yg bilang, "makanya kalau belum makan nasi, jangan makan nanas. Nyari penyakit sendiri, sih". Tentu saja pesan itu setelah ada pendahuluan pesan-pesan sebelumnya. Pengirimnya orang yang benar-benar edan. Perempuan ajaib yang begitu sabar menanti sebuah jawaban. Terkadang saya kasihan dengannya. Tapi, mau bagaimana lagi, jawaban yang dia tunggu terkait hidup dan mati. Ya, terkait kehidupan saya, dia, dan kami hingga mati. Untuk m...

Kegagalan

Saya akrab dengan gagal dan kegagalan. Berkali-kali gagal. Melakukan ini gagal. Mengusahakan itu gagal. Untuk menghitung jumlah kegagalan yang saya alami, seperti menghitung bintang di langit. Niscaya leher akan keram, mata berair, dan bibir akan maju beberapa senti  ketika menghitungnya. Pastinya, orang-orang yang didepan batang idung ampe di belakang bokong ama punggung hanya bisa berkomentar. Ada yang mengomentari dengan nasihat dan saran, tak jarang yang mencibir bahkan membuat perih dan pedih di hati. Semua terjadi berkali-kali. Terkadang, saya mengira kegagalan begitu suka atau mungkin jatuh cinta ke saya hingga ia enggan menjauh. Seperti mencari-cari alasan untuk selalu dekat dan melekat dengan diri ini. Awalnya, saya tak menerima kehadirannya. Ya, mungkin seperti Anak Baru Gede sedang didekati seseorang yang tidak masuk kriteria dan tipe yang disukai. Nah, karena saya manusia yang punya perasaan. Perlahan, setelah melihat kegigihan kegagalan mendekati, saya pun mencoba m...