Penjual Kopi

Jam segini, kebanyakan orang tidur pulas. Tentu dengan gaya masing-masing. Ada yang tengkureb seperti perahu terbalik. Ada yang celentang penuh kemerdekaan. Ada yang miring membentuk hurup sembilan.

Pun tentu saja dengan karakter masing-masing. Ada yang tidurnya sambil senyum, mungkin tengah bermimpi basah-basahan. Ada yang nyanyi lagu kodok bernada ngorok. Ada juga yang ngigo sambil menyebut nama mantan.

Tak ketinggalan ada yang tidur sendirian. Ada yang berduaan. Ada yang beramai-ramai. Ada yang tidur sendirian tapi berasa tidur berdua. Pun sebaliknya, ada yang tidur berdua tapi merasa sendiri.

Apapun dan bagaimanapun, kebanyakan orang pasti tidur di jam segini. Dan saya salah satu orang yang sangat ingin masuk ke bagian kebanyakan orang tersebut. Sayangnya, mata saya selalu menolak. Di jam-jam segini, justeru mata ini sedang berada di puncak tegar dan segarnya. Terlebih, jika ada rokok, kopi, buku, pulpen, kertas, teman, orang ronda, facebook, twitter, akun media sosial mantan, dan hal-hal lain yang mendukung saya untuk tidak tidur.

Sejak 2008, saya bisa dibilang kalong. Susah tidur di malam hari dan kalau sudah tidur susah dibangunin sampai saya bangun sendiri. Kalau pakai bahasa agama, biar sedikit religius, sampai Allah membangunkan saya. Karenanya tak lupa doa bangun tidur selalu saya ucapkan setelahnya. Dan kebiasaan ini berlanjut hingga saat ini.

Kalau lagi "eling", biasanya saya akan isi dengan shalat, dzikiran, baca buku, nulis segala hal, ngopi, dan ngerokok. Tapi, kalau enggak, ya saya nonton film. Film apa saja, terutama film bergenre action, komedi, petualangan, dan science fiction. Kalau film yang disensor, sesuai kebutuhan saja nontonnya. Hahahaha.

Nah, malam ini, karena tadi ada hal yang mesti diselesaikan di Serpong, walhasil, saya mampir di tempat biasa saya merehatkan sejenak badan di pinggir jalan. Pastinya sambil ngopi dan ngobrol ama penjual kopi. Ngobrol ya, bukan lobi biar dapat kopi gratis.

Dari obrolan malam ini dengan penjual kopi yang aslinya berasal dari Karawang, saya mendapat sentilan dahsyat seperti petir yang menyentil pohon durian. Saya memanggilnya Mas.

Ia bercerita, merantau ke Jakarta lantaran patah hati ditinggal kekasihnya. Padahal mereka berpacaran lebih dari 5 tahun. Sayangnya, masuk di tahun keenam, si perempuan memutuskannya dengan berbagai alasan. Dan ternyata, yang membuat hati laki-laki yang saban pagi menjadi kuli bangunan ini sakit dan hancur adalah, si perempuan memilih berpacaran dengan laki-laki lain.

Si penjual kopi ini, tak tinggal diam, ia menyelidiki siapa laki-laki itu. Tentu saja dengan menahan segala amarah, kecewa, dan sakit hati. Ketika saya tanya, siapa dan bagaimana laki-laki itu, ia hanya menjawab: "aku gak mau nyebut namanya, mas. Apalagi bahas dia. Haram buatku," tegasnya pada saya. "Intinya, saya ke sini, untuk membuktikan bahwa saya bisa hidup lebih baik," lanjutnya.

Saya pun makin tertarik dengan ceritanya. Saban pagi, ia menjadi kuli bangunan di proyek yang tak jauh dari tempat saya ngopi. Ia sengaja tidak tinggal di kontrakan. Ia lebih memilih tinggal di bangunan-bangunan sementara di wilayah proyek. "Aku punya target, Mas. Dua tahun ke depan akan pulang kampung, dan mau beli sawah di sana. Aku mau buktikan ke mantanku kalau aku bisa jadi orang kaya," tegasnya.

Saya semakin penasaran. Iseng bertanya tentang bagaimana ia membeli sawahnya. Lagi-lagi saya dibuat tercengang. "Hidup di sini tuh, Mas, mesti pinter-pinter atur uang. Terus lihat mana kebutuhan mana keinginan. Kalau saya ngikutin keinginan, gak bakalan cukup saya buat nabung. Palingan abis buat makan. Itupun terkadang ngutang ama warung di proyek," jelasnya.

Obrolan kami terputus, karena ada sepasang kekasih turun dari motor dan memesan minum. Tak lama, si Mas penjual kopi menghampiri saya lagi. "Alhamdulillah mas, gaji saya kerja ama dagang kopi setiap malam, sebagian besarnya saya tabung. Dan kalau tidak meleset, dua tahun lagi, cukup buat beli sawah beberapa petak," ucapnya penuh semangat.

Lagi-lagi dengan penasaran, saya bertanya tentang pendapatan keuangannya. Ia menjelaskan hasil dagang kopi setiap malam, lebih besar dari gajinya di proyek. "Apalagi kalau malam minggu, atau malam libur," jelasnya.

Untuk waktu istirahat, biasanya setelah dagang kopi, jam dua, ia akan balik ke mess. Karena sepeda motor yang ia gunakan adalah motor mandor proyeknya yang memang sengaja ditaruh di mess untuk keperluan operasional.

Dia pun menanyakan perihal saya. Tapi segea saya alihkan dwngan bertanya tentangnya. Karena saya suka dengan cerita setiap orang yang pasti bernilai.

Dia pun bercerita kembali tentang dimana nabungnya, berapa yang ditabungkan, berapa hari sekali ia nabung, dan banyak lagi. Di akhir cerita ia hanya menegaskan selain ingin membeli sawah, ia ingin melamar seorang perempuan yang ia kenal di Serpong. Ia ingin menunjukkan ke mantannya, bahwa ia bisa berhasil dan memiliki perempuan yang tak kalah cantik.

Saya ingin sekali menanggapi niatnya. Tapi saya urungkan. Sebab, hak seseorang untuk berniat menjadi dan melakukan apapun selama itu tidak merugikan orang lain. Kalau tekadnya menjadi orang yang berhasil karena ingin menunjukkan ke sang mantan, bagi saya masih wajar. Urusan setelah dia menikah nanti bagaimana, saya yakin ia pasti memikirkannya.

Sawangam Baru



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)