Edan.
Gila. Edan. Pe-A. Sinting. Setdah. Gendeng. Embelgedes. Kira-kira apa ya, kata yang bisa mewakili apa yang dilakukan Kulub hingga menjelang subuh ini.
Jam tiga lewat tiga puluh menit, ia menelepon dan meminta saya datang ke rumahnya. Ada hal vital, urgen, dan krusial yang mau ia bicarakan.
Saya pun bertanya balik, kenapa tidak Kulub saja yang datang ke rumah saya seperti biasa. Ia menjawab dengan suara lemas, tenaganya hampir habis dan tak kuat lagi untuk berjalan. Seperti jambret yang dengkulnya mau copot dikejar-kejar massa.
Hal tersebut, membuat saya bergegas ke rumahnya, seperti orang yang ingin buang air besar; segera dan mesti dituntaskan.
Jalan sepi membuat perjalanan saya lebih cepat. Kurang dari dua puluh menit saya sampai di rumah Kulub.
Kamar Kulub yang terpisah dengan rumah utama memudahkan saya dan siapapun yang ingin ke kamarnya, kapanpun.
Pintu tak terkunci. Kulub terbaring di atas kasur. Ia bangun lalu duduk dengan kaki masih "selonjoran". Mukanya begitu lemas. Layaknya orang yang ditinggal pergi sang kekasih.
Dan inilah yang membuat saya menulis kata-kata yang mungkin tak elok seperti jerawat dan bisul di batang idung pada awal cerita ini.
Edan dan sintingnya, Kulub meminta saya datang ke rumahnya hanya untuk minta pendapat tentang dekorasi kamarnya. Ya, dekorasi kamar. Perihal hias menghias kamarlah yang ia bilang urgen dan vital untuk dibicarakan.
Bola mata saya melihat sekeliling. Ya, perlahan ada hal baru yang mengetuk kesadaran saya: ruang dan suasana baru di kamar Kulub.
Kamar berukuran empat kali lima meter ini, terlihat lebih luas. Ditambah lebih rapi. Di bagian kiblat, empat lemari plastik berjejer rapi. Lemari tempat ia menyimpan segala jenis pakaian. Di atasnya, berbagai foto Kulub di berbagai tempat dengan berbagai pose terpampang.
Di tembok bagian selatan, buku-buku ikut berjejer rapi. Agak uniknya, rak-rak yang menyimpan buku-buku tersebut adalah keranjang plastik bekas buah yang saya pasarkan. Terjawab sudah, kenapa Kulub meminta saya untuk mengumpulkan keranjang-keranjang buah tersebut.
Tak ada lagi kamar yang seperti dijatuhi granat. Tak ada lagi pakaian-pakaian yang tercecer dimana-mana, seperti sepasang kekasih yang dikuasai birahi di hotel kelas melati. Terlebih, Kulub menutup lantai kamarnya dengan karpet biru bermotif batik. Membuat kamarnya lebih hangat.
" Lub, Lu lagi kesambet jin apaan si, ampe kamar lu berubah kayak gini?"
"Jin khilaf," jawab Kulub dengan nada begitu lemas.
"Lub, lu sakit?"
"Enggak Fan, justeru gue lagi seneng-seneng dan bahagianya saat ini."
"Kok, bahagia malah lemes?"
Dengan suara benar-benar lemas Kulub bercerita Allah benar-benar sayang padanya. "Berapa banyak pun gue buat salah dan dosa, selalu kasih dan sayang yang Allah berikan ke gue," jelas Kulub.
Kulub benar-benar diperlihatkan bahwa apapun yang terjadi adalah nikmat Allah. Kemudahan dan kesulitan, kesenangan dan kesedihan, diperlihatkan silih berganti. Baru beberapa menit Kulub senang, tiba-tiba ia mesti berpikir dan bersikap tenang untuk menghadapi kesulitan.
Beberapa hari yang lalu, Kulub diajak Kia dan teman-temannya berlibur ke Bogor. Banyak kegembiraan terjadi di sana. Mulai bernyanyi bersama, bakar ayam, bakar jagung, bakar ikan, hingga main ledek-ledekan terjadi sepanjang malam.
Jam dua lewat sepuluh menit kemeriahan itu selesai. Ketika mau masuk kamar, kunci vila yang ia sewa tak ada. Sepertinya terjatuh. Setelah mencari kemana-mana, tentu saja dengan bantuan teman-temannya, Kunci tak kunjung ditemukan.
Awalnya, Kukub dan teman-temannya duduk-duduk di lobi. Lantaran sudah tak kuat menahan kantuk, satu persatu teman Kulub pamit dengan basa basi mengajak Kulub untuk tidur di kamar mereka.
Kulub menolak dengan sangat halus. Sebab ia tahu, sehalus apapun penolakan akan tetap menyakitkan. Terlebih bagi mereka yang bersungguh-sungguh menawarkan.
Menjelang pagi, teman-temannya sudah tak terlihat batang idungnya lagi. Hanya Kia. Ya, Kia yang menemani Kulub dengan begitu setia. Meski sangat terlihat jelas wajah lelah, Kia tetap memberi senyumnya yang sumringah.
Kia tak pergi ke kamarnya. Ia memilih tidur-tiduran di sofa panjang di sebelah Kulub. Lagi-lagi Allah memperlihatkan sosok perempuan manis yang begitu perhatian ke Kulub. Meski tak bicara apapun, karena tak lama Kia memang tertidur, hadirnya Kia di Lobi melebihi kata-kata sakti apalagi rayuan gombal yang basi.
adzan subuh terdengar. Kulub membangunkan Kia. Entah, malaikat mana yang menggerakkan Kulub untuk mengajak Kia shalat subuh berjamaah. Dan sungguh, Kulub merasakan itu shalat subuh berjamaah terindah yang pernah ia rasakan.
Usai shalat, Kulub meminta Kia untuk istirahat di kamar. Kia malah mengajak Kulub untuk jalan berkeliling area resort. Suasana pagi di kota hujan benar-benar memberi kesegaran. Terlebih, resort itu terletak di daerah pedesaan.
Mereka bicara segala hal sambil jalan santai. Dan sedengnya (baca e-nya seperti hurup e pada kata meja ya) ketika Kulub merogoh kantong celananya, kunci yang dicari-cari ada di situ. Padahal ia begitu yakin, kunci itu tidak ada di situ. Mereka kembali ke kamar. Tentu saja kamar masing-masing.
Jam sembilan, mereka sudah bangun. Kulub pun tak luput dibangunkan. Kalau bukan Kia yang membangunkan, sepertinya Kulub akan bablas tidurnya hingga siang atau bahkan menjelang sore
Kulub diajak berenang. Berbekal cuci muka ala koboi dan kekuatan ajaib bernama Kia, Kulub manut. Mereka bermain air di arena water boom yang juga tersedia di resort tersebut. Kulub tak langsung terjun ke air. Ia memilih ngopi dan merokok terlebih dahulu.
Jam dua kurang dua puluh menit mereka meninggalkan resort. Seperti skenario, Kulub hanya berdua dengan Kia di satu kendaraan, mobil yaris merah kesayangan Kia.
Setelah ngobrol, ketawa-ketiwi, ledek meledek dalam perjalanan, tak lama Kia tertidur. Dan edannya, ia tidak mengenakan sabuk pengaman. Itu membuat Kia tertidur dengan kepalanya menempel di bahu Kiri Kulub.
Lagi asik menikmati senderan Kia. Tiba-tiba Kulub menghentikan laju kendaraan. Seorang polisi memberhentikan. Dan ternyata, sang polisi melihat Kia tidak mengenakan sabuk pengaman, walhasil surat tilang mesti diterima Kulub. kia hanya tertawa.
Setelah kelar pertemuan dengan Kia dan tiba di rumah. Tiba-tiba seperti disamber gledek, kulub sadar akan perubahan yang niscaya. Usai magrib, ia mereformasi kamarnya. Reformasi dengan arti yang sesungguhnya.
"Perubahan bisa dimulai dari apa saja, bukan?" ucap Kulub.
"Lub, sepertinya, kopi susu ama Pilter akan lebih memperindah kamar lu, pagi ini."
"Lu buat sendiri aja ya. Gue tidur dulu."
Kulub merebahkan badannya. Dan edannya tak perlu semenit, ia sudah terlelap. Saya melihat sekeliling kamar. "Kulub memang manusia edan," batin saya.
Sawangan Baru.
Komentar
Posting Komentar