Waktu

Ada yang bilang, waktu seperti pedang yang bisa membunuh seseorang. Lah endilalah ungkapan sangar kayak singa lapar ini malah membuat keisengan saya kambuh. Mungkin, lebih tepatnya, mempertanyakan; pedang yang kayak gimana sih? Pedang yang tajam beneran atau pedang mainan keponakan saya yang berumur 4 tahun? Kok, waktu kayak rumah kosong berhantu, angker? Bahkan terlihat kejam ampe bisa membunuh (memotong) seseorang?

Seorang teman diskusi menegaskan ungkapan itu untuk penegasan pentingnya mengingat, mengelola, dan menguasai waktu. Tentu saja, teman diskusi saya itu dia. Iya, dia. Perempuan yang begitu sabar menunggu sebuah jawab. Perempuan yang seperti tak peduli arti kepastian yang sering dipertanyakan perempuan-perempuan di negeri ini ke laki-laki yang diharap bisa jadi suami.

Mendengar penjelasannya, perlahan saya terima apapun analogi tentang waktu yang diungkap seseorang. Setiap orang berhak berpendapat, bukan? Dan yang menarik dari diskusi kami malam ini di sebuah resort di Sentul adalah, dia bilang; "kita mesti bersahabat dan berdamai dengan apapun, termasuk waktu", yang saya ledek dengan; "itu kan yang sering saya bilang ke kamu". Lalu ia timpali dengan senyum. Begitu manis. Sangat manis. Teramat manis.

Eit, tunggu dulu, saya kok tiba-tiba khawatir, ketika saya bilang resort ya. Oke, saya tegaskan. Kami tidak berdua. Banyak teman-teman. Dan tentu saja kamar kami terpisah. Ini karena kami ingin hiburan dan liburan. Dan salah satu temannya mengusulkan tempat di desa Gumati Resort Sentul.

Kami tiba sore menjelang magrib setelah membelah hujan lebat sepanjang perjalanan. Jadi, belum sempat mengambil foto pemandangan di resort yang saya yakini indah dan menyejukkan mata. Beruntungnya, selain kolam renang, resort ini pun menyediakan ruang karaoke di restaurannya. Nah, karena didorong oleh dia yang senyum dan perhatiannya perlahan membantu saya melupakan perempuan yang telah kembali ke pelukan sang mantan, termasuk didorong oleh keinginan luhur naluri, dengan tidak terpaksa saya bernyanyi.

Bermodal percaya diri, saya mulai bernyanyi. Tak disangka saya keasikan. Setelah nyanyi lagunya Wali. Saya lanjut dengan Hampanya Ari Lasso. Yah, kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, termasuk kesedihan, kepiluan, dan kepedihan tak perlu terlalu disikapi. Ya, sekadar bersyukur atas kebahagiaan ini, sepertinya tak ada salahnya.

Yang jelas, saya sangat bersyukur malam ini masih diberi kesenangan, kebahagiaan, dan kegembiraan. Ditambah kehadiran para sahabat dan teman-teman. Terutama kehadiran dia yang senyumnya sungguh begitu indah.

Cerita belum berakhir, masih ada esok. Saat ini, izinkan saya untuk menikmati ikan, ayam, dan jagung bakar yang bahasa "sononya" lebih dikenal dengan barbeque-an. Ditambah menikmati pemandangan sebuah wajah perempuan yang setiap ada kesempatan mata kami selalu bertabrakan. Ya, kami saling tatap. Kemudian saling senyum.

Nah, diskusi kami tentang waktu terjadi sepanjang perjalanan tadi sore. Setelah sebelumnya, saya mesti mengatur segala hal agar semuanya bisa terselesaikan. Alhamdulillahnya, semuanya terselesaikan, dan saya bisa berangkat bareng-bareng ke Sentul setelah sebelumnya saya mesti ambil buah ke gudang lalu mendistribusikannya ke lapak-lapak. Di perjalanan itulah diskusi tentang waktu terjadi.

Dan pastinya, kalimat "terus waktu untuk kita bersama, gimana?" ia ungkap ketika diskusi. Dan saya seperti biasa, merespon dengan kata "hadeeeeeh" lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sentul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)