Pesan Cinta Buya Hamka
Edan. Benar-benar edan. Malah, kalau perlu, ditambah hurup y dan a jadi edyan. Ini untuk penegasan yang sungguh-sungguh. Meski sering saya alami, yang namanya edan atau keedanan ini membuat saya seperti mendapat perhatian lebih dari seorang perempuan cantik. Apalagi kalau perempuannya yang saya suka. Duh, betapa edan hidup ini. Eh, maksudnya betapa indah dan nikmat hidup ini.
Meski, bagi beberapa orang, kata edan digunakan untuk menunjukkan cemooh. Tapi saya lebih suka menggunakan kata ini untuk hal-hal yang ajib, indah, mbohay, gemulai, penuh kenikmatan, keseruan, keluarbiasaan, dan hal-hal yang istimewa lainnya.
Ya, hari ini, tepatnya tadi siang hingga sore, saya mulai berkarib lagi dengan laptop. Setelah menulis hal receh yang membuat mata panas, walau sudah dihalau kacamata minus, saya merebahkan badan. Memejamkan mata sesaat.
Dianggap cukup, saya iseng membuka buku Horison Esai Indonesia. Membuka acak halamannya. Dan tak direncanakan, saya bertemu dengan Buya Hamka lewat tulisannya; "Seni dan Cinta."
Di sini letak edyaan yang pertama. Buya Hamka memulai tulisannya dengan "seni tidak ada, kalau cinta tidak ada". Begitu makjleb bukan. Kalimat pertama saja sudah menyuguhkan betapa dalam, luas, dan dahsyat pemikiran beliau.
Saya ingin menulis ulang semua tulisan Buya Hamka di sini, tapi akan terlalu panjang. Khawatir jempol saya cantengan. Jadi, biarkan dan izinkan saya saat ini menikmati kata-kata Buya Hamka sendiri ya!?
Buya Hamka mengajak saya mengikuti perenungannya tentang keindahan dan cinta yang bersumber dari Al-Quran. Beliau menyebut basmalah, sebagai tanda cinta, bahkan kunci rahasia cinta di alam semesta.
Saya membayangkan, segala perbuatan yang diawali dengan basmalah pada hakikatnya adalah tengah melakukan sesuatu dengan cinta. Apapun yang dilakukan dengan cinta, sepertinya akan memberi energi lebih dan sentuhan-sentuhan keindahan, kebahagiaan, serta keikhlasan yang ajaib tak biasa.
Buya pun menegaskan perasaan yang halus muncul karena cinta. Dan perasaan halus inilah yang beliau kaitkan dengan seni yang tinggi. Bukan air seni ya, tapi seni. Kalau perlu pake hurup kapital; Seni.
Shirothol Mustaqim dalam kehidupan, beliau katakan sebagai jalan lurus tapi banyak keloknya, datar tapi banyak pendakian dan penurunan. Terlihat ganjil. Ya, begitu ganjil. Nah, Buya Hamka kembali menegaskan, kalau tidak ganjil tidaklah hidup namanya. Lalu apa? Entah.
Tentang kesulitan, persoalan, dan permasalahan, pun tak luput beliau bahas. "Kesulitan adalah setengah dari keindahan," tegas beliau. Kok bisa? Ya, beliau mengatakan, "berbahagialah kalau kita kenal akan perasaan yang dinyatakan. Dan lebih berbajagia kalau pikiran kita terua ingin mencari di mana rahasia keindahan iru; itulah bayangan filosof. Jika diteruskan lagi perjalanan ke balik pikiran itu, ke twmpat yang lebih tinggi, maka akan bertemulah kita dengan jalan tujuan hodup; iman. Dari iman itulah kita mendapat ma'rifay. Ke sanalah tujuan seni pada keyakinan saya".
Saya mengartikannya sebagai segala perasaan, apakah itu senang, sedih, gembira, bahagia, suka, duka, pedih, dan perasaan lainnya. Kalau semua itu dinyatakan serta diluapkan dengan keindahan, maka di situlah hakikat cinta. Cinta seorang hamba kepada Tuhan yang menciptakan segala rasa. Kemudian jika itu direnungi akan menjadi renungan filosofis. Jika dilanjutkan lagi, akan menuntun kepada iman. Dari iman akan mengantarkan ma'rifat. Ya, ma'rifat, yang sederhananya bisa dikatakan sebagai keadaan ketika mengetahui Tuhan.
Kemudian Buya Hamka menegaskan agar jangan menjadi pujangga jika dalam hati belum tumbuh dengan suburnya rasa cinta. "Belum ada artinya hidup, kalau belum merasai lezat cinta. Dan belumlah mengecap lezat cinta sebelum mengenal hidup," lanjut Buya Hamka.
Cinta yang dimaksud tentu saja cinta kepada Tuhan. Karena di paragraf selanjutnya, Buya Hamka menegaskan tentang banyak cara dan jalan mencari Allah, tapi yanh paling mudah adalah dengan dan lewat jalan cinta.
Keindahan alam, kecantikan perempuan, cinta tanah air, itu semua belumlah cinta. Semua itu sekadar jalan-jalan menuju pintu gerbang percintaan. Kira-kira begitu yang dijelaskan Buya Hamka pada saya.
Buya pun menegaskan agar ketika mencintai jangan setengah-setengah. Beliau mengibaratkan seperti sebuah pohon. Tidak hanya bunga, tapi daun, buah, duri, ranting, cabang, dahan, pohon, urat, tanah, bumi, hingga matahari mesti turut dicintai. Sebab mencintai mesti seluruh dan utuh. "Cinta yang hanya mengenai sebahagian kecil dari lapangan hidup yang luas, belumlah bertemu dengan hakikat cinta," jelas Buya.
Lalu bagaiman dengan daun yang gugur, rontok, dan jatuh, bahkan busuk? Apakah mesti dicintai juga? Buya pun menegaskan agar kita tidak lupa bahwa "bahagian yang sakit itu pun adalah bahagian dari yang sehat".
Ah, sungguh. Tak bosan saya mengikuti tulisan Buya Hamka. Saya seperti nerada di atas sampan di tengaj danau yang airnya bening. Ikan-ikan terlihat tengah bermain-main. Angin memberi kesejukan. Saya asik mengikuti gelombang kecil di atas danau.
Buya Hamka melanjutkan penjelasan tentang "syajaratul hayat", pohon kehidupan. "Pohon kehidupan tidaklah jauh. Dia adalah diri kita sendiri," ucap Buya pada saya yang masih hanyut terbawa suasana. "Jangan melemparkan kebencian kepad daun yang layu. Sebab itu bagian dari diri kita sendiri," lanjut Buya.
"Cinta adalah air-tirta kehidupan. Benci adalah racun yang membawa maut," tehas Buya Hamka, saya masih mendengarkan. Serius memperhatikan. Tak ingin sedikitpun kata terlewatkan.
"Terus sirami dirimu yang pohon kehidupan itu dengan cinta," kira-kira begitu lanjut Buya.
"Cinta jangan diletakkan kepada sifat. Sebab sifat boleh (bisa) berubah karena perubahan tempat dan zaman. Letakan terus cinta itu pada dzat. Dzat yang hakiki dan mutlak adalah Dzat Allah." Sya terus mendengarkan.
"Kamu belum menemukan cinta kalau masih jauh dari Dzat yang mutlak itu. Cinta yang sejati adalah nikmat. Kalau kamu mengaku telah bercinta, tapi batin kamu masih tersiksa, tandanya kamu nelum mencintai Dzat yang mutlak. Tandanya cinta kamu masih singgah-singgaj di tengah jalan, di tempat yang lain, di perihal lain yang hanyalah bayangan." Saya terus diam. Menyimak dan memperhatikan.
"Seperti kamu mencintai perempuan. Itu hanya bayangan. Itu belumlah cinta. Itu baru rumus, yang mungkin dari situ, kamu bisa menempuh jalan menuju Dzat dan cinta yang mutlak." Buya Hamka berhenti sejenak. Saya tak berani dan tak mampu mengeluarkan suara, bahkan gerak.
"Yang kamu cintai tidaklah pernah putus dengan yang kamu benci. Itu akan selalu berhubungan. Seperti jantung dan dada kamu." langit tak panas dan tak gelap. Begitu sejuk.
"Jika ada yang bilang mencintai dan mementingkan diri sendiri adalah tercela, silakan saja berpendapat. Bagiku, tidak. Bahkan aku menganjurkan cintailah dirimu. Sebab dirimu adalah gerbang menuju cinta yang paling besar. Pupuk dan belai dia baik-baik, sebab dia pohon hidup. Dari dirimu, kamu mencari jalan ke sana, ke tempat jauh tapi dekat. Jika kamu mencintai dirimu dengan jalan demikian, kamu tidak mengenal adanya orang lain. Dirimu dan mereka sebenarnya satu. kamu adalah aku. Aku adalah kamu. Kamu adalah mereka. Mereka adalah kamu."
Ingin sekali menyeruput kopi lalu merokok. Tapi saya urungkan. Saya tak mau mengalihkan perhatian.
"Cinta adalah kemestian. Keniscayaan. Kalau kamu sudah memenuhi dirimu dengan cinta, jangan berbangga. Teruslah penuhi segenap rongga hidupmu dengan cinta. Makanlah cinta seperti kamu makan nasi. Minumlah cinta seperti kamu minum air. Hirup seperti udara. Hembuskan seperti nafasmu. Tidak perlu cinta diangkat-angkat karena ia sudah tinggi."
Buya Hamka kembali diam. Menarik nafas dalam-dalam. Begitu tenang. Amat tenang.
"Tak perlu kamu meminta upah atau imbalan. Sebab cinta itu sudah upah dan anugerah. Cinta adalah anugerah dan nikmat paling tinggi. Dan sebaliknya, laknat dan siksaan paling dahsyat adalah ketika kamu membenci orang lain."
Saya teringat pada orang-orang yang saya (pernah) benci. "Saya mesti hilangkan kebencian ini," batin saya.
"Ketika kamu cinta, kamu tak butuh perhitungan. Sebab cinta tidak menghitung selaim dirinya sendiri. Cinta tidak berhutang dan tidak berpiutang. Cinta tidak dapat dibeli, tidak dapat dijual. Kalau cinta memberi, cinta akan memberikan semua. Kalau cinta mengambil, cinta akan mengambil segala. Cinta selalu cukup, tidak lebih tidak kurang."
Tiba-tiba saya teringat seorang perempuan. Tapi segera saya tepis.
"Batin yang tidak memberi dan tidak menerima seperti air yang menggenang. Itu sangat bahaya."
Lagi-lagi bayang perempuan kembali hadir di benak saya. Segera saya alihkan kembali dan fokus kepada Buya.
"Cinta tidak buta. Cinta memiliki penglihatan yanh dapat menembus segala hijab. Maka berbahagialah jika matamu telah dibersihkan oleh cinta. Sehingha tidak ada lagi wujud apapun yang tidak kamu cintai."
Saya menunduk. Memejamkan matan. Mencoba merenungi lebih dalam kata-kata Buya. Tapi, lagi-lagi bayang wajah perempuan yang tengaj tersenyum kembali hadir di benak saya. Saya membuka mata, dan mengarahkan pandangan ke Buya.
"Cinta menyatukan, benci memecahkan. Cinta itu perdamaian, dan benci adalah pengumuman perang. Perang adalah maut. Perang adalah neraka. Tidak sekadar mengatakan; aku tidak benci. Tidak benci adalah sikap menunggu, yakni pasif. Cinta adalah dorongan, yakni aktif. Cinta mencari dan mendorong. Bukan menunggu dan menyerah."
Buya menarik nafas perlahan dan begitu dalam. "Kalau kamu sudah begitu, silakan jadi pujangga!" ucap Buya.
Tiba-tiba Buya menghilang. Dan saya kembali ke tempat semula. Di depan rumah. Di atas bangku bambu. Kopi susu di atas meja sudah tak panas dan hangat lagi. Rokok Pilter masih tersisa beberapa batang.
Saya ambil gelas kopi. Bismillah saya serupu kopi lalu bismillah saya bakar rokok dan menghisap asapnya perlahan. Begitu dalam. Lalu saya hembuskan seiring kebencian-kebencian yang ada di badan. "Bismillah, pergilah kamu segala benci," batin saya. Terlihat kepulan asap di langit-langit rumah. Perlahan saya seperti melihat nama-nama, wajah-wajah yang saya benci memudar ditiup angin malam.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar