Ingin Nulis Aja

Sejak Kulub menasihati, agar setiap hari melakukan sesuatu dan hal terbaik yang saya bisa dan meski tidak besar, saya mesti memiliki pencapaian, perlahan dan pasti, ini menjadi semacan salah satu pegangan saya dalam menghidupkan hidup tiap harinya. Tak peduli, saya terjebak pada rutinitas atau memilih melakukan yang tak biasa di luar rutinitas. Pencapaian mesti ada. Walau sebesar debu.

Nah, alhamdulillahnya, tik tok waktu saya hari ini tidak melulu mengantarkan pada rutinitas. Ada yang berbeda. Malah tersentak hebat saya dibuatnya. Ya, diri ini dibuat kaget hingga mata terbelalak alias melotot. Beruntung ini bukan dunia kartun yang ketika kaget, mata melotot bisa keluar dari batok kepala. Tentu saja diiringi latar belakang musik dan suara "tuwew wew wew".

Tak seperti biasa, jam tujuh pagi saya sudah terbangun. Biasanya jam sepuluh, sebelas, bahkan jam dua belas siang saya baru bangun. Pasalnya, mata ini baru bisa terpejam setelah waktu subuh datang bertandang. Setelah membuat kopi susu dan menghabiskan sebatang rokok, tiba-tiba ada keisengan yang hinggap ke otak ketika melihat keranjang plastik bekas buah yang iseng saya kumpulkan.

Saya ambil lem tembak. Satu persatu keranjang plastik yang seukuran saya lekatkan. Dianggap cukup, saya keluarkan buku-buku yang selama ini tersimpan di lemari lalu saya susun di keranjang-keranjang plastik itu. Taraaa..., jadilah rak buku ala kadarnya. Sayangnya, keranjang plastik yang ada, masih kurang untuk menampung semua buku yang ada. Nah, keisengan saya tidak berhenti di situ. Tembok kamar yang masih kayak bayi, polos, akan saya hiasi dengan keranjang-keranjang plastik yang menampung buku-buku. Tentu saja dengan tata letak yang enak dilihat mata.

Tak perlu waktu lama, dua puluh persen buku sudah tertampung di keranjang. Itu selesai. Dan kebiasaan saya yang tak bisa diam, menyerang saya dengan tanya: "apa lagi yang mesti dilakukan?"

Saya pun melihat keranjang kayu bekas mangga dan jeruk. Kembali, keisengan saya bereaksi. Saya ambil gergaji dan martil. Keranjang kayu itu saya bongkar satu persatu. Kemudian saya susun lagi, menjadi semacam bangku. Sayangnya, kekurangan peralatan dan bahan membuat bangku itu jadi ala kadarnya.

Nah, karena kekurangan serta kealfaan seperti kesalahan yang bukan untuk disesali, apalagi dikutuk, tapi mesti diperbaiki, maka hal-hal yang kurang itu, menjadi PR yang mesti saya selesaikan. Potongan-potongan kayu itu akan saya jadikan hiasan dinding. Mungkin akan diisi kata-kata atau sekadar warna. Itu sudah ada di kepala. Tinggal eksekusi saja setelah bahan-bahan terkumpul, seperti cat, kuas, amplas, dan pelitur kayu.

Kemudian ada lembaran-lembaran semacam stereofom yang biasanya menjadi alas di kardus-kardus buah yang saya pasarkan. Ini pun tak luput dari keisengan saya. Lembaran-lembaran itu saya gulung. Tiap gulungan berisi lima lembar.

Saya belum tahu, awalnya ingin buat apa. Saya hanya mengikuti intuisi saja. Setelah jadi beberapa gulung, tiba-tiba otak berbisik, ini bisa jadi daleman untuk kasur lantai atau bahkan bantal karena teksturnya yang lembut, hampir sama seperti busa. Sayangnya, karena membongkar keranjang kayu tadi menghabiskan waktu yang tak sebentar, adzan johor terdengar. Seperti mengingatkan untuk saya memberi jeda pada diri saya sendiri.

Usai shalat johor, lagi-lagi, saya seperti didorong kekuatan gaib dari dalam diri untuk melakukan sesuatu. Kali ini, sasarannya adalah laptop. Tapi tempatnya berbeda. Keisengan yang sebelumnya ketika di rumah, keisengan yang ini bertempat di sekret Kayakita di Pamulang. Saya tiba di sana sekitar pukul dua.

Alhamdulillahnya cakung, cuaca mendukung. Pun sakung, suasana mendukung. Sekret yang merupakan rumah dua lantai sepi. Tak ada orang. Saya pun melampiaskan keisengan saya pada laptop. Enam lembar cerita di microsoft word berhasil tersimpan di folder cerita. Cerita yang hadir begitu saja di otak lalu menggedor-gedir agar saya segera menuliskannya.

Pertanyaan prgamatisnya, untuk apa saya melakukan semua itu? Jawabnya sangat sederhana. Saya hanya ingin melakukan yang terbaik yang saya bisa. Serta ingin meraih pencapaian tiap hari, meskipun kecil. Dan yang pasti, saya suka melakukannya.

Melakukan hal kecil tapi kita suka dan enjoy melaksanakannya lebih baik daripada melakukan hal besar tapi kita tidak nyaman dan merasa terpaksa, bukan? Karena hidup yang katanya rumit ini sebenarnya bisa disederhanakan, bukan? Dan yang buat rumit, susah, dan merana hidup ini adalah anggapan dan pikiran kita sendiri, bukan? Jadi, enjoy dan nikmati saja apapun yang terjadi dan tersaji.

Lah, kok saya malah cerita tentang keisengan. Padahal saya ingin cerita tentang hal yang mengagetkan, hingga mata ini melotot. Oke, kembali ke situ. Begini ceritanya.

Sebenarnya, awalnya saya tidak tahu ingin menulis tentang apa malam ini. Saya hanya ingin menulis. Dan entah bisikan otak sebelah mana yang mengarahkan jempol saya menen
kan hurup-hurup di handphone menjadi kalimat yang ada kata kaget dan melototnya. Padahal tak ada hal luar biasa. Yang ada hanya hal-hal receh.

Ya, hanya hal biasa, receh, dan bukan apa-apa. Seperti Kulub yang dianggap bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa oleh perempuan yang pernah dekat dengannya. Seperti Kulub yang dilupakan begitu saja oleh perempuan yang memilih kembali ke pelukan mantannya. Ya, mungkin memang rumus dan pola hubunhan laki-laki dan perempuan yang berpacaran memang begitu; setelah putus, you are nothing.

Dan dari situ, Kulub belajar untuk tidak mau lagi berstatus pacar seseorang serta biasa saja menyikapi perempuan walaupun ia menyukainya. Intinya, tak perlu terlalu. Karena jika tak jadi menikah dan putus, biasa saja.

Loh kok malah ke Kulub? Padahal, saya ingat betul saran dan nasihat sahabat berbadan besar berjuluk "si perut ajaib" yang kini menjadi redaktur pelaksana islami.co; "ketika menulis, lu mesti sadar apa yang lu tulis dan lu mau tulis apa". Sayangnya, untuk kali ini, jurus menulis ala "perut ajaib" tidak saya lakukan. Justeru nasihat Gusmus ketika mengisi pelatihan menulis saat saya masih nyantri di Madura dulu lah yang lebih sakti saat ini. "Kalau mau nulis, ya tulis aja. Tulis apa saja," tegas Gusmus yang masih saya ingat hingga saat ini.

Lalu sebenarnya, bagaimana menulis yang baik, itu? Pastinya banyak trik, tips, dan cara-cara yang disampailan oleh para penulis. Semuanya bisa benar dan baik. Lah dilalah karena saya memang bandel, seringkali pelajaran-pelajaran itu mentok di diri yang sesuka hati ini. Ketika mau menulis, ya saya nulis aja. Tentu saja mesti diiringi membaca. Tidak hanya baca buku, tapi baca kehidupan, baca hikmah dari setiap kejadian, ya baca apapun lah. Sakarepku ae.

Menulis selembar dua lembar kertas lebih baik dari orasi dan omong berjam-jam. Kalau kata Pramoedya, menulis itu kerja keabadian. Tulisan bisa terlihat hingga akhir zaman. Sementara ucapan, jangankan semenit, dua detik aja mungkin sudah hilang dan terlupakan. Kecuali kata-kata yang begitu dalam dan mengena hingga hati yang paling dalam. Seperti "aku cinta kakak", "aku kangen kakak", dan "aku sayang kakak", yang diucap perempuan yang nama dan wajahnya tak bisa hilang dari diri ini. Perempuan ajaib yang saya kenal lewat kata-kata. Perempuan cantik yang memiliki karakter suara berbeda. Perempuan manis yang suka bilang "gak tau ya" ketika bicara.

Sawangan Baru







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)