Topi
Perubahan adalah niscaya dan pasti. Bisa karena tuntutan yang memaksa dan menggiring seseorang untuk berubah, bisa juga karena keinginan yang bersumber dari diri sendiri seperti kentut yang mesti dan penting untuk dikeluarkan. Perihal orang lain menerima atau tidak, urusan belakangan. Kepuasan, kelapangan, kelegaan, dan kesehatan diri mesti diutamakan. Termasuk perubahan.
Perubahan ini pula yang memicu dan memacu terjadinya berbagai hal besar, seperti reformasi termasuk revolusi. Tidak hanya kata, sifat dan bentuknya pun bisa membuat sejarah. Banyak hal terjadi dan tercatat sebagai sejarah atas dasar keinginan untuk berubah.
Dan sepertinya, perubahan ini memang takdir yang tak bisa terelakkan. Seperti seorang bayi yang tak bisa memilih lahir dari rahim perempuan mana. Mau tak mau, suka tak suka, rela gak rela, mesti diterima, dijalani, bahkan dinikmati.
Hal ini pun sering terjadi pada saya. Kali ini menimpa pada soal yang sering saya abaikan: penampilan. Sejak mendapat topi dari seorang sahabat. Seperti orang mabuk, tak sadar saya memakainya setiap hari. Pastinya tidak di acara-acara resmi. Nah, karena saya bukan orang yanh sering bergulat dengan dunia formal, walhasil membuat topi berwarna krem pemberian sahabat membuatnya seperti caping yang wajib dipakai para petani ketika ke sawah terhadap diri ini.
Dari dulu, saya tidak terlalu suka dwngan topi. Bentuk wajah saya yang bulat membuat mata ini ingin terus terpejam ketika melihat saya memakai topi. Tapi ternyata topi pemberian sahabat saya ini memiliki desain yang cocok untuk wajah saya. Setidaknya mata ini tidak lagi terpejam ketika melihat saya memakai topi.
Selain mulai enak buat mata ini, topi ini juga bisa menutupi rambut saya yang keriting. Terlebih jika hari sedang terik. Kering rambut ini bisa mengalahkan jerami yang mudah terbakar. Dan ini, bisa ditutupi topi. Ya, seperti "fa atbi'issayyiata alhasanata tamhuha". Kekurangan mesti diperbaiki dengan hal yang bisa menutupinya. Ya, jika tidak bisa menghilangkan, setidaknya kekurangan ditutupi.
Bukan, bukan ingin menutup-nutupi kekurangan dalam arti negatif dan munafik. Tapi, menyadari bahwa kekurangan yang ada pada diri ini mesti terus ditutupi dengan hal-hal baik. Dan sepertinya memang begitu: hidup ini seperti mencari hal-hal baik untuk menutupi dan mengganti hal-hal tidak baik yang memang sudah dibawa sejak seseorang "brojol" dari rahim ibunya. Sederhananya, tugas manusia yang mencari dan melakukan hal-hal baik untuk dirinya. Termasuk untuk orang lain.
Seperti topi, setidaknya, dengan memakai topi, saya bisa memberi pandangan yang sedikit enak buat mata orang lain. Kalau tetap tidak enak di mata mereka, ya itu soal belakangan. Setidaknya, ada usaha untuk memberi pandangan enak bagi mata orang lain.
Sentul Bogor
Komentar
Posting Komentar