Sakit Perut
Namanya sakit bisa datang kapan saja. Tak pandang usia, tak pandang jenis kelamin. Bahkan, satu jam lalu masih seger buger, detik ini tiba-tiba terkapar, lemah lunglai, tak berdaya. Dan bersyukurnya, saya mengalami itu.
Alhamdulillahnya tidak perlu ke dokter, cukup lima kali bolak balik kamar mandi, kelar urusan. Hanya menyisakan lemes dan sepertinya perlu banyak minum air.
Sambil tiduran di atas kasur yang lebih dari dua puluh purnama tidak pernah dijemur, tangan kanan mengusap-usap perut dengan sesekali menekannya, tiba-tiba ada pesan di whatsapp yg bilang, "makanya kalau belum makan nasi, jangan makan nanas. Nyari penyakit sendiri, sih". Tentu saja pesan itu setelah ada pendahuluan pesan-pesan sebelumnya.
Pengirimnya orang yang benar-benar edan. Perempuan ajaib yang begitu sabar menanti sebuah jawaban. Terkadang saya kasihan dengannya. Tapi, mau bagaimana lagi, jawaban yang dia tunggu terkait hidup dan mati. Ya, terkait kehidupan saya, dia, dan kami hingga mati. Untuk menjawabnya, tidak seperti anak TK yang ditanya siapa yang mau jadi dokter lantas mengacungkan tangan sambil berteriak, "saya".
Terkadang, saya ingin menjawab pertanyaan perempuan berkacamata ini seperti anak-anak kecil. Tanpa ragu, tanpa berpikir, dan tentunya tanpa pertimbangan perasaan. Sayangnya, semakin bertambah usia, untuk menjawab dan melakukan sesuatu sering diiringi pertimbangan akal dan perasaan. Bahkan, untuk menjawab iya dan mau saja, susahnya na'udzubillah.
Dan saya salut ama perempuan yang satu ini, dia mau menunggu jawaban itu sampai saya benar-benar dan sungguh-sungguh menjawabnya. " gak perlu dipaksakan, hal seperti ini gak akan bagus kalau dipaksakan. Aku juga gak mau maksa kakak untuk menjawabnya dengan cepat," ucapnya setelah saya berkali-kali mengatakan bahwa masih banyak laki-laki yang pantas untuk mendampingi dan menyandang status yang sama dengannya.
Saya sadar diri, tentang status saya. Dan ini seringkali menjadi pertimbangan berat ketika ingin menjawab iya. Ditambah, satu nama di hati dan pikiran ini yang masih dalam proses untuk merelakan menjadi bagian dari kenangan. Edannya, pengusaha perempuan ini selalu menegaskan: "justeru kehadiran aku untuk membantu kakak agar lebih cepat menuntaskan hal itu".
Dari siang tadi, ia menelepon. Lebih dari empat jam. Berkali-kali menyarankan agar saya ke dokter. Pun ingin datang ke rumah. Berkali-kali pula saya menolak dan melarangnya. Pasalnya, saya tengah sendirian si rumah. Meski sisi gelap diri saya terus merayu agar mempersilakan ia datang ke rumah, tapi sisi terang di diri ini mengatakan berkali-kali: jangan sampai itu terjadi. Khawatir khilaf. Berduaan di rumah, wah bisa terjadi uka-uka.
Dan magrib ini, setelah saya rasa perut lebih bersahabat. Baru mau manasin mobil untuk berkegiatan seperti biasa, tiba-tiba ada ojek online datang.
" iya, saya sendiri, ada apa mas?" jawab saya setelah ojek online itu menanyakan nama saya.
Tak diduga, ada paket dari perempuan yang tinggal di pondok labu. Isinya makanan, dan obat sakit perut. Tak lama, dia menelepon. Sungguh, perhatiannya membuat saya merasa benar-benar dianggap ada dan begitu dihargai. Padahal, intensitas pertemuan kami sudah sangat berkurang, tapi tetap saja kami bertemu lewat komunikasi di telepon.
Perlahan, hati ini mulai luluh. Seperti coklat hangat yang dituang ke atas bolu. Begitu cair. Hampir saja saya mengatakan iya, jika tidak ada teman yang datang. Telepon saya tutup setelah ia mengatakan akan menelepon kembali.
"Insya Allah Februari 2019 semua akan jelas," batin saya.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar