Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

Tahun Baru

Tahun Baru lekat dengan perayaan, ucapan, bakar-bakaran, kumpul, liburan, jalan-jalan, muhasabah, kembang api, terompet, harapan-harapan, dan resolusi. Selalu begitu. Dari tahun ketika Kulub pertama kali mimpi basah hingga saat ini, tahun ini, 2019. Karena kebiasaan atau memang tahun baru selalu menyenangkan hingga selalu dirayakan, entah. Padahal polanya, bagu Kulub, ya itu-itu saja. Begitu-begitu saja. Kalaupun ada perubahan, tak jauh bergesernya. Sebut saja, harapan. Menjadi pribadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini yang Kulub paling banyak dengar, bahkan dari mulut dan hatinyasendiri. Namun harapan itu bagi Kulub seperti kentut ketika bertemu calon mertua untuk kali pertama. Lantaran menjelang tahun baru, selalu saja ada yang disesalkan. "Seharusnya kemarin-kemarin beginilah",  "seharusnya begitulah", dan ungkapan-ungkapan lain yang mirip-mirip dan mengarah pada penyesalan. Dan,m sayangnya, penyesalan itu akan tertutup oleh suara-suara petasan dan kembang...

Demokrasi Cebong dan Kampret?

Gambar
Beberapa hari yang lalu. Kulub tak merencanakan tapi akhirnya sampai ke Kebun Binatang. Aksi dadakannya terwujud setelah Kia merayu. Begitu manja. "Lagi pengen dimanja, pengen berduan dengan dirimu saja," kata Siti Badriah.  "Ingin jalan menikmati pepohonan," alibinya. Tak pikir panjang, Kulub mengarahkan mobil tuanya ke Ragunan. Tak ada tujuan selain memenuhi keinginan dan membuat Kia senang. Tak ketinggalan, merasa diperhatikan dan "diperlakukan bagai seorang ratu," masih kata Siti Badriah. Tak butuh waktu lama, setelah masuk pintu utara 3, Kulub dan Kia tiba di kandang gajah. Meski tak berpagar, ada lubang seperti sungai kering yang memisahkan gajah dengan mereka. Kia  mengambil gambar. Berkali-kali. "Gambarnya belum sesuai ekspektasi," terangnya. Kulub membiarkan Kia berekspresi. Melihat senyum dan air muka bahagia Kia, sudah menjadi kabahagiaan tersendiri baginya. Satu persatu binatang yang ditemui dalam kandang masing-masing menjadi obje...

Ucapan selamat natal

Setiap Desember, terlebih di tanggal-tanggal akhir. Saya sering dibuat heran. Tak jarang kening berkerut. Apalagi kalau melihat media sosial. Isinya itu loh. Tak sedikit yang ribut soal ucapan Selamat Natal. Tentu saja yang diucap oleh seorang muslim. Ini seperti acara tahunan. Debat tahunan. Di satu sisi, ini seperti masalah yang dibesar-besarkan. Ucapan Selamat Natal sepertinya dianggap akan merusak akidah. Di sisi lain, terlebih mereka yang melarang, ini dianggap hal super duper serius seperti keharusan makan bagi orang yang lapar. Mungkin, ini mungkin loh ya, karena ucapan selamat natal ini terkait keimanan. Lebih jauh lagi soal akidah. Soal tauhid. Memang ngeri dan riskan kalau melihat ucapan selamat natal ini masuk ke ranah keimanan, akidah, apalagi tauhid. Jadi sederhananya, bagi saya, kalau seseorang merasa akan rusak akidahnya dengan mengucap Selamat Natal, ya jangan diucapkan. Karena kemungkinan besar akidahnya akan rusak beneran. Jangan kan mengucap Selamat Natal, lihat p...

Foto dan Pilpres

Kulub tak suka difoto. Apalagi selfie. Tapi ia senang jika fotonya itu terkait suatu momentum. Baginya bukan diri, terlebih wajahnya, tapi sejarah yang terekam secara visual pada sebuah fotolah yang lebih perlu dikedepankan. Jika eksistensi dirinya ikut terbawa lewat sebuah atau beberapa foto, itu hanya bonus seperti ucapan terimakasih berupa amplop berisi beberapa lembar uang yang langsung dimasukkan ke kantong celana bagian belakang dekat bokong. Ya, Kulub selalu meletakkan hal-hal terkait uang di kantong celana. Tak mau ia letakkan di kantong baju terlebih saku yang dekat dada. Baginya, uang memang mesti diletakkan di bagian belakang tidak di depan terlebih di dekat dada. Mungkin ia khawatir, orientasi hidupnya terkontaminasi dengan uang. Meski tak menampik ia butuh uang, tapi itu cukup di belakang. Termasuk dengan foto. Terkadang ia butuh untuk menuntaskan rasa senang dan suka. Hanya saja, itu tadi, ia meletakkan eksistensi dirinya di belakang momentum. Memilah dan memilih prior...

Media sosial (1)

Menempatkan segala sesuai tempatnya. Facebook: melihat status men temen. Sekaligus untuk belajar menulis dan bercerita tentang apa saja. Blog: mencatat hal-hal yang perlu dicatat. Publikasi tulisan yang perlu. Twitter: melihat dan membaca informasi dan berita... ungkap tentang apa saja, dari curhat sampai mengumpat. (Makanya ini diprivasi) Instagram: publikasi foto-foto seputar perjalanan. Whatsapp: untuk komunikasi. Ya, saya putuskan 5 media sosial ini yang akan saya isi untuk menemani perjalanan diri. Ada rencana sih, buat video lagu-lagu yang iseng saya buat. Terus ditaro deh di youtube. Buat dokumentasi aja. Yah, miga menemui takdirnya.

Peran Pemerintah Daerah dalam Menjaga Kerukunan Umat Beragama

Bicara tentang peran, para ahli mengartikan peran dengan banyak definisi. Di antaranya; pertama, perangkat tingkah. Ya, perangkat seperti seperangkat alat sholat dibayar tunai. Bukan, ini bukan soal akad nikah. Ini soal seperangkat. Lihat saja seperangkat alat sholat yang biasa dijadikan mahar. Ada beberapa alat, kan?. Sebut saja sajadah, mukena, Tasbih, Al-Quran (saya kurang tahu kenapa fisik Al-Quran menjadi bagian dari shalat. Mungkin untuk menambah kelengkapan saja. Agar seusai shalat yang bersangkutan mau baca Quran). Nah, begitu pun peran jika dilihat sebagai seperangkat tingkah. Bisa dikatakan, peran adalah kumpulan tingkah seseorang yang dilakukan terhadap sesuatu atau ke seseorang. Kedua, peran diartikan sebagai sikap dan perbuatan berdasar status dan fungsi sosial. Nah, sederhananya, lihat saja suami, istri, pacar, anak, dokter, polisi, dan lain-lain. Ambil saja pacar untuk sekadar contoh. Sikap dan perbuatan yang dilakukan seorang pacar terhadap pasangannya itulah peran. Mi...

Saudara

Gak seru. Kalau dalam perjalanan (hidup) tidak ada hal mengejutkan. Gak ada yang buat jantung deg-degan lebih aduhai. Gak ada yang nyolek sabar. Ganjil, memang. Tapi itulah hidup. Kalau kata Buya Hamka, begitulah shirotol mustaqim. Kadang ada tanjakan, turunan, belok kanan, belok kiri. Yang penting tetap di jalur menuju "tujuan". Dunia memang ganjil, bukan. Tak heran, jika hidup di dalamnya pun banyak keganjilan. Mungkin, genapnya hidup ketika sudah tiba di tujuan. Pertanyaannya, dimanakah tujuan itu? Wah, bakalan banyak perspektif. Setidaknya, jika hidup di dunia ibarat sawah dan kebun untuk menanam, maka bisa jadi, kehidupan sesungguhnya adalah setelah di dunia ini. Lalu bagaimana dengan tujuan yang dimiliki setiap orang di dunia? Buya Hamka, menyebut manusia dengan "syajarotul hayat". Ya, manusia adalah pohon kehidupan. Namanya pohon, gak lepas dari memberi manfaat, bukan? Buah, bunga, oksigen , dan lain-lain. Tak ketinggalan batang pohon yang patah menimpa ...

Pulang

13.56 waktu masih di Indonesia bagian barat barisan kendaraan roda empat hingga roda sepuluh di depan biji mata. Berusaha saling mendahului. Salip kanan, salip kiri, tambah kecepatan. Semua demi satu: sampai tujuan. Tentu saja dengan tubuh masih utuh. Pegal-pegal sedikit tak soal, memang konsekuensi dari perjalanan, bukan? Siang ini perjalanan saya sedikit berbeda. Pandangan tak seperti biasa. Biji mata ini bisa melihat bagian atas kendaraan SUV. Bahkan, muatan tronton yang tak ditutup terpal bisa terlihat. Pasalnya, pantat saya kebagian kursi untuk duduk di bagian atas bmpada bis yang punya dua kabin. Sudah lama bis macam gini hadir. Hanya baru kali ini bisa merasakannya. Dan tak tanggung, sekitar 18-20 jam akan saya habiskan waktu layaknya teman karib dengan bis ini. Tentu saja, selain melihat jalan, laju kendaraan, dan segala hal yang ada di pinggir jalan, saya bisa tidur, baca "Dimana Ada Cinta Disitu Ada Tuhan" karangan Leo Tolstoy yang saya selipkan di tas ransel, ngo...

"Inna ma'al 'usri yusro"

Dikasih waktu tiga hari. Belum ada bahan sama sekali, kecuali lintasan-lintasan kata-kata di otak Kulub. Seperti tumpukan buku di kamarnya dulu, mesti dibongkar satu persatu. Tentu butuh waktu, tenaga, dan keikhlasan diri untuk bersin-bersin. Lantaran banyak kumpulan debu. Pun dengan memori-memori di otaknya. Mesti dibuka satu persatu, lalu dipilah-pilah mana yang bisa diambil dan diterapkan lalu ditetapkannya jadi bahan. Ya, itu baru tahap pengumpulan bahan yang masih abstrak di otaknya. Seharian, Kulub mencoba mewujudkan bahan-bahan yang abstrak itu jadi nyata. Buku-buku, jurnal-jurnal, hingga berbagai artikel di internet menjadi hidangan utama untuk mata dan otaknya. Tak ketinggalan tangannya menggerak-gerakkan pulpen di kertas. Mencatat hal-hal yang relevan. Hal-hal penting sudah dicatat. Masih berbentuk draft. Tak terasa asar sudah sudah lewat. Waktunya Kulub istirahat sejenak. Sudah bisa ditebak, perempuan hebat dan ajaib, menghubungi. Istirahat sambil obrol sana sini. Meski l...

Bismillah

Seperti ada yang hilang. Rasanya tuh hambar. Pun hampa jika malam di jam-jam segini saya tidak menapakkan jejak lewat tulisan. Lewat cerita. Meski mata dan badan begitu lelah, ada bagian dari diri saya yang terus meminta agar saya bercerita. Saya tidak tahu, apa itu. Yang jelas, rasanya seperti ditinggal pergi perempuan ketika sayang-sayangnya. Nyesek. Perih. Pedih. Bahkan lebih. Tak bisa dipungkiri, malam ini mata saya meminta untuk terpejam lebih cepat. Pasalnya sejak kemarin malam, nih mata kayak zaman romusha. Beruntungnya mata ini terus terbuka bukan untuk kerja rodi dan kerja paksa, tapi untuk menemani diri yang benar-benar disayang Tuhan dengan berbagai nikmatnya. Terutama nikmat bahagia. Ya, kamis siang saya kembali diajak menikmati liburan dan hiburan. Tujuannya masih kota hujan yang kekinian sering disebut kota seribu angkot. Dan tentu saja, masih dengan perempuan manis yang perhatiannya begitu sadis. Bayangkan saja, dia menghubungi saya seperti orang minum obat. Tapi over...

Asal Ada Rokok dan Kopi

Semua hari istimewa. Terlebih jika terjadi hal luar biasa. Apakah itu sesuatu yang membahagiakan atau yang menyedihkan, jika tak biasa, pastinya akan memberi kesan yang berbeda. Keduanya tentu memberi kesan, bukan? Hari libur atau hari kerja, sama saja. Semua hari pasti diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai melakukan kerjaan rumah, urusan kantor, berlibur, hiburan, hingga tidur-tiduran. Begitu juga dengan Kulub. Dua hari kemarin ia seperti ombak di lautan. Tak bisa diam. Tak sedikit yang ia lakukan di Sabtu dan minggu yang bagi sebagian orang adalah hari untuk liburan dan hiburan. Sabtu hingga minggu, bahkan sampai menjelang senin pagi, Kulub mengurangi tidur. Ia mengakrabi kata-kata di laptop. Tak peduli matanya merah hingga berair. Tak soal pinggang dan pantatnya panas karena terlalu banyak duduk. Kulub punya target. Ia ingin mencapainya. Tentu dengan usaha dan bulat tekad. Berbekal laptop, otak, air minum, kopi susu, listrik, jari jemari, mata, detak jantung, dan masih berfungai...