Foto dan Pilpres
Kulub tak suka difoto. Apalagi selfie. Tapi ia senang jika fotonya itu terkait suatu momentum. Baginya bukan diri, terlebih wajahnya, tapi sejarah yang terekam secara visual pada sebuah fotolah yang lebih perlu dikedepankan. Jika eksistensi dirinya ikut terbawa lewat sebuah atau beberapa foto, itu hanya bonus seperti ucapan terimakasih berupa amplop berisi beberapa lembar uang yang langsung dimasukkan ke kantong celana bagian belakang dekat bokong.
Ya, Kulub selalu meletakkan hal-hal terkait uang di kantong celana. Tak mau ia letakkan di kantong baju terlebih saku yang dekat dada. Baginya, uang memang mesti diletakkan di bagian belakang tidak di depan terlebih di dekat dada. Mungkin ia khawatir, orientasi hidupnya terkontaminasi dengan uang. Meski tak menampik ia butuh uang, tapi itu cukup di belakang. Termasuk dengan foto. Terkadang ia butuh untuk menuntaskan rasa senang dan suka. Hanya saja, itu tadi, ia meletakkan eksistensi dirinya di belakang momentum.
Memilah dan memilih prioritas terkadang samar dan abu-abu. Mana yang mesti didahulukan dan mana yang bisa dikebelakangkan sepertinya perlu dijernihkan kembali. Terlebih pada tahun politik di negeri ini. Satu sisi, antusias masyarakat akan salah satu pesta demokrasi berbentuk Pemilu semakin meningkat. Tentu ini perlu diapresiasi. Sayangnya, di sisi lain, terkadang cara merayakan dan memeriahkannya malah membawa pada potensi konflik dan permusuhan.
Ini tidak sehat, jelas. Seperti flu atau demam yang mesti ditangani. Karena sepertinya perbedaan pilihan calon pemimpin, yang seharusnya dirayakan dengan gembira, malah menyajikan hal-hal miris. Kulub menyaksikan ini. Sebutan nama hewan seperti cebong dan kampret amat mudah ditemui pada media sosial. Saling menjelekkan bahkan tak jarang fitnah bertebaran seperti rumput di musim hujan. Tumbuh subur.
Berkali-kali Kulub menyaksikan; antar teman saling melecehkan bahkan terkesan menyalahkan, hanya gara-gara soal pilihan dan dukungan kepada salah satu calon presiden. Sangat amat disayangkan, bukan?
Kulub melihat ada beberapa hal yang menyebabkan demikian. Diantaranya; dia atau mereka merasa sudah benar dengan pilihannya. Di titik ini tidak jadi soal. Sayangnya, ini berlanjut ketika dia atau mereka merasa pilihannya adalah yang paling benar. Sekali lagi, merasa paling benar. Ini perlu ditegaskan. Sebab, bagi Kulub, ini hal yang justeru fatal.
Merasa paling benar, meski dengan landasan dan alasan seilmiah, selogis, dan sekuat apapun justeru kekeliruan yang mesti diluruskan jika sudah masuk ranah sosial, hubungan antar masyarakat. Di sinilah titik penyakit yang perlu diobati agar tidak menular dan menggerogoti sistem imun dan mengikis kehidupan bermasyarakat yang sehat di negeri yang multikultur ini.
Merasa paling benar, sah-sah saja. Bahkan perlu. Apalagi terkait soal keyakinan dan kepercayaan. Tapi itu cukup untuk diri sendiri. Cukup dibatasi pada diri sendiri. Memang perlu untuk menyampaikannya ke orang lain, tapi bukan berarti memaksakan dan mengharuskan orang lain mengikuti. Seperti agama yang tak perlu dipaksakan untuk dipeluk dan diyakini seseorang.
Di sinilah letak cara menyampaikan apa yang kita anggap paling benar itu menjadi vital dan krusial. Dalam konteks agama, seperti dakwah. Cara berdakwah terkadang lebih penting dari materi dakwah itu sendiri. Seperti itu pula ketika menyampaikan, lebih tepatnya mengkampanyekan, sosok pilihan calon presiden. Menyebar informasi hoax, profokatif, terlebih fitnah, justeru malah menjauhkan seseorang untuk ikut memilih calon yang didukung, bukan?
Misalnya, pendukung calon Z sering menyebar informasi, gambar, potongan video, dan berita yang tidak jelas sumbernya, juateru malah membuat penilaian negatif terhadap calon yang didukung, bukan?
Bisa jadi, keinginan awal untuk mengajak orang-orang memilih calon yang sama, malah menjauhkan mereka untukbmemilih calon yang sama. Ya, karena itu; sering menyebar hal-hal jelek dari kubu yang lain. Bukankah itu bumerang yang justeru merugikan bukan?
Misalnya lagi, orang-orang yang memang belum menentukan pilihan malah menjadi "ill feel" alias "ilfil" lantaran cara yang tidak tepat dalam menyampaikan pandangan dan pilihan.
Nah, seperti foto, bagi Kulub bukan hanya orang yang ada di dalamnya, tapi momentum apa yang terekam dan tertangkap di sana. Paham mana yang perlu diprioritaskan, bagaimana cara menyampaikan hal yang dirasa paling benar menjadi penting untuk diperhatikan. Terlebih untuk sebuah perayaan akbar. Pesta demokrasi lima tahunan yang semestinya dirayakan dengan riang, gembira, bersama-sama, meski berada dalam perbedaan, bukan?
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar