"Inna ma'al 'usri yusro"

Dikasih waktu tiga hari. Belum ada bahan sama sekali, kecuali lintasan-lintasan kata-kata di otak Kulub. Seperti tumpukan buku di kamarnya dulu, mesti dibongkar satu persatu. Tentu butuh waktu, tenaga, dan keikhlasan diri untuk bersin-bersin. Lantaran banyak kumpulan debu.

Pun dengan memori-memori di otaknya. Mesti dibuka satu persatu, lalu dipilah-pilah mana yang bisa diambil dan diterapkan lalu ditetapkannya jadi bahan. Ya, itu baru tahap pengumpulan bahan yang masih abstrak di otaknya.

Seharian, Kulub mencoba mewujudkan bahan-bahan yang abstrak itu jadi nyata. Buku-buku, jurnal-jurnal, hingga berbagai artikel di internet menjadi hidangan utama untuk mata dan otaknya. Tak ketinggalan tangannya menggerak-gerakkan pulpen di kertas. Mencatat hal-hal yang relevan.

Hal-hal penting sudah dicatat. Masih berbentuk draft. Tak terasa asar sudah sudah lewat. Waktunya Kulub istirahat sejenak. Sudah bisa ditebak, perempuan hebat dan ajaib, menghubungi. Istirahat sambil obrol sana sini. Meski lewat telepon, suaranya memberi kekuatan.

Sering komunikasi, membuat perempuan yang Kulub panggil Gugu itu mulai paham. Ia bertanya Kulub tengah memikirkan apa. Kulub pun mengutarakan kesulitan yang tengah dihadapi. Ia malah ngajak ketemuan. Alasannya ia punya solusi. "Bilang aja kangen ama saya," ledek Kulub padanya.

Usai magrib, di tempat biasa mereka bertemu. Di lantai dua sebuah kafe di Cinere. Tempat yang buat mereka sangat nyaman untuk bertemu dan ngobrol berdua.

Kia pesan makanan dan minuman tanpa perlu bertanya lagi ke Kulub. Sepertinya ia sudah paham betul jenis makanan dan minuman apa yang bakal Kulub pesan.

"Begini, kalau saya jadi kamu, kak..."

"Gak mungkin ah, masa kamu jadi cowok. Nafsu saya masih ke perempuan."

"Ih... Aku serius. Ini umpama aja. Misal. Andakata. Andai. Pokoknya gitu ah. Udah deh, kakak jangan interupsi. Ini aku punya solusi buat kakak, jarang-jarang kan, aku ngasih solusi," ucapnya.

"Tumben, sadar. Hahahaha.." Kulub tertawa.

"Ih... Udah. Sekarang dengerin!" ia pun bicara panjang lebar. Perlahan debu-debu di otak Kulub seperti disapu. Bayang-bayang mulai berbentuk. Kerangka-kerangka mulai tersusun. Kulub benar-benar mendapat solusi.

"Ini Kia, kan? Kok tumben," ledek Kulub.

Benar kata pepatah, di setiap persoalan pasti ada jalan keluar. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. "Inna ma'al 'usri yusro".

Hal yang dipikirkan Kulub berjam-jam diselesaikan tak lebih dari sepuluh menit oleh Kia. Sisanya, bicara segala hal. Dan malam ini ada yang berbeda. Mereka bicara rencana masa depan. Tentu saja, wajah Gugu makin sumringah.

Lebih dari empat jam mereka bicara soal rencana ke depan. Lebih tepatnya rencana di bulan februari 2019. Paling lambat Maret. Ya, Kia meminta di bulan Maret.

Kia orat oret keperluan dan kebutuhannya apa saja. Termasuk tanggal berapa ingin melakukan apa. Ini kekuatan Bismillah. Kekuatan ajaib. Selain bismillah adalah saling percaya. Senin, adalah hari pertama melangkah. Pasalnya, besok, Kulub mesti menyelesaikan tugas yang ada.

"Kita usahakan ini berdua ya, Kak. Orang tua, nanti saja pas hari-H. Yang terpenting kita berduanya dulu," jelasnya penuh semangat. "Kak, makasih ya, akhirnya Kakak mau bahas tentang ini. Kia sangat amat seneng. Kia sayang banget ama Kakak."

"Kia tau kan?"

"Iya, iya. Sayang itu tidak hanya di ucapan, tapi di sikap dan perilaku. Tapi, sekali aja, Kak. Kia mau denger dari kakak."

Kulub menatap mata Kia. Begitu dalam. Lama. Begitu lama. Belum ada kata-kata. Kia pun menatap Kulub. Menunggu kata-kata.

"Kia," Kulub mulai bersuara. "Dari awal, Kia tahu keadaan saya. Apa yang saya alami dan saya rasakan. Nah,"

"Kia tahu, Kak. Kia cuma mau denger Kakak bilang kata itu."

Kulub senyum. Menarik nafas perlahan. "Ki... Kakak..." Kulub menghentikan kata-katanya. Menatap mata Kia lebih dalam. "ki, saya...." ada jeda. "Saya ngerokok dulu ya."

"Ih Kakak ngeselin. Susah banget sih buat bilang sayang aja. Apa jangan-jangan Kakak masih sayang ama mantan Kakak ya," suara Kia mulai meninggi. Kesal mulai menguasai.

"Enggak. Saya sudah tidak berharap lagi ke dia."

"Tidak berharap, tapi masih sayang," ucap Kia. Wajahnya wajah kesal.

"Ki, menurut Kia, tadi kita bicarain apa?" kia tak menjawab. "Menurut Kia, kenapa saya bicarakan hal itu?" Kia masih diam. Matanya tak lagi menatap Kulub.

"Ki, coba lihat Kakak." Perlahan, Kia menatap Kulub kembali. "Ki. Kakak sayang Kia. Kehadiran Kia tepat waktu. Kehadiran Kia mulai mewarnai hidup Kakak. Terimakasih ya. Ya, Kakak juga sayang Kia. Terus hadir ya buat kakak. Biar sayang ini semakin memenuhi hati Kakak. Biar gak ada ruang lagi buat yang lain."

Kia hanya mengangguk sambil senyum. Benar-benar senyum. Wajahnya kembali bersinar.

Sawangan Baru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)