Saudara

Gak seru. Kalau dalam perjalanan (hidup) tidak ada hal mengejutkan. Gak ada yang buat jantung deg-degan lebih aduhai. Gak ada yang nyolek sabar. Ganjil, memang. Tapi itulah hidup.

Kalau kata Buya Hamka, begitulah shirotol mustaqim. Kadang ada tanjakan, turunan, belok kanan, belok kiri. Yang penting tetap di jalur menuju "tujuan".

Dunia memang ganjil, bukan. Tak heran, jika hidup di dalamnya pun banyak keganjilan. Mungkin, genapnya hidup ketika sudah tiba di tujuan. Pertanyaannya, dimanakah tujuan itu? Wah, bakalan banyak perspektif.

Setidaknya, jika hidup di dunia ibarat sawah dan kebun untuk menanam, maka bisa jadi, kehidupan sesungguhnya adalah setelah di dunia ini.

Lalu bagaimana dengan tujuan yang dimiliki setiap orang di dunia? Buya Hamka, menyebut manusia dengan "syajarotul hayat". Ya, manusia adalah pohon kehidupan. Namanya pohon, gak lepas dari memberi manfaat, bukan? Buah, bunga, oksigen, dan lain-lain.

Tak ketinggalan batang pohon yang patah menimpa rumah, daun runtuh yang berserakan memenuhi halaman. Hingga durian yang jatuh menimpa batok kepala seseorang. Begitulah, banyak hal tak terduga. Begitu ganjil bukan?

Pun dalam perjalanan saya ke Madura. Perkiraan awal, sampai di tujuan kisaran pukul 9 atau 10 pagi. Tapi ternyata, di jam segitu, baru sampai Lamongan. Pasalnya, dari Alas Roban yang konon dulu terkenal dengan Bajing Loncatnya, laju bus seperti orang yang susah buang air besar. Tapi lebih tepat seperti jalannya kura-kura.

Beruntung, TV menjadi salah satu fasilitas di bis ini. Dan lebih beruntungnya di TV mungil yang disediakan untuk masing-masing penumpang itu, telah disediakan file-file film. Tinggal pilih saja. Meski semuanya sudah pernah saya tonton, tapi ini menjadi hiburan tersendiri. Dokter Strange, film yang saya pilih. Bagaimana alur cerita Film ini, silakan tonton sendiri saja. Saya cuma mau bilang, saya suka Film ini. Mulai alur, aktor, hingga imajinasi pembuat ceritanya.

Lagi asik-asik nonton, tiba-tiba Kulub menelepon. Edannya, Ia hanya bilang; "Fan, gimana, salamin balik gak?", setelah bertanya saya dah sampai mana. Kemudian seperti tukang parkir di mini market, datang dan pergi begitu saja, setelah saya bilang tidak perlu. Ya, Kulub menutup teleponnya.

Tak lama, ia mengirim pesan via Whatsapp. "Sorry, tadi Kia dateng. Mau nemenin umi belanja buat acara hajatan paman." Bukan soal bagi saya.

"Selamat menikmati silaturahmi ke saudara-saudaramu di Madura Fan," ucap Kulub via WA.

Pikiran saya pun langsung terbayang wajah-wajah mereka. Saya bingung menyebut mereka dengan apa. Teman? Kehadiran merek lebih dari teman. Sahabat? Pun sama. Saudara? Tak jarang melebihi saudara. Tapi, untuk memudahkan cerita ini, mesti memiliki arti lebih di diri ini, saya menyebut mereka sebagai saudara. Ya, saudara.

Saya banyak memiliki saudara di pulau garam. Terlebih, mereka yang seangkatan dengan saya keyika nyantren. Ada Ajiz, yang sekarang menjadi bos ayam. Ada luthfi, saudara yang sama-sama aktif di Pramuka. Waduh, pokoknya banyak banget. Bercerita tentang merek mesti satu persatu. Sebab, kehadiran masing-masing memberi arti dan makna tersendiri dalam hidup saya ini. Bagi diri yang masih terus belajar ini. Suatu saat, akan saya ceritakan tentang saudara-saudara saya ini.

Lamongan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)