Tahun Baru
Tahun Baru lekat dengan perayaan, ucapan, bakar-bakaran, kumpul, liburan, jalan-jalan, muhasabah, kembang api, terompet, harapan-harapan, dan resolusi. Selalu begitu. Dari tahun ketika Kulub pertama kali mimpi basah hingga saat ini, tahun ini, 2019.
Karena kebiasaan atau memang tahun baru selalu menyenangkan hingga selalu dirayakan, entah. Padahal polanya, bagu Kulub, ya itu-itu saja. Begitu-begitu saja. Kalaupun ada perubahan, tak jauh bergesernya.
Sebut saja, harapan. Menjadi pribadi lebih baik dari tahun sebelumnya. Ini yang Kulub paling banyak dengar, bahkan dari mulut dan hatinyasendiri. Namun harapan itu bagi Kulub seperti kentut ketika bertemu calon mertua untuk kali pertama. Lantaran menjelang tahun baru, selalu saja ada yang disesalkan.
"Seharusnya kemarin-kemarin beginilah", "seharusnya begitulah", dan ungkapan-ungkapan lain yang mirip-mirip dan mengarah pada penyesalan. Dan,m sayangnya, penyesalan itu akan tertutup oleh suara-suara petasan dan kembang api, serta diburamkan oleh harapan-harapan baru di tahun baru. Ya, kira-kira begitu.
Kemudian, ada yang namanya sedikit ilmiah: resolusi. "Di tahun baru ini, pokoknya gue mesti begini", "mau ngelakuin itu", dan bla bla lainnya. Yah, tidak beda jauh dari tahun kemarin. Dan perlahan, target-target yang sepertinya "wah" itu pun nagi Kulub tak beda jauh seperti kentut di depan calon mertua. Bedanya, ini seperti mules di pagi hari. Begitu terasa sebelum masuk dan langsung amnesia tentang apa yang sudah dikeluarkan setelah keluar WC.
Ini terlihat pesimis dan negatif, memang. Jika dilihat demikian. Harapan, buat resolusi, bikin target-target ke depan, sah-sah saja. Bahkan, perlu dan mungkin penting. Karena harapan, kata sebagian orang, membuat seseorang bisa terus bertahan dan berjuang. Resolusi, pun kata sebagian orang, membuat jalan semakin terang. Demikian pula dengan target, yang lagi-lagi kata sebagian orang, membuat jelas arah dan tujuan. Begitu penting, bukan?
Kulub pun demikian. Punya harapan, resolusi dan terget. Sayangnya, tidak seperti sepuluh tahun yang lalu. Begitu menggebu-gebu. Lalu seiring waktu, berganti bulan, semua itu seperti debu dan abu. Lumayan jika abunya abu vulkanik atau abu gosok. Lah ini abunya abu rokok yang dibuang supir truk berperut buncit di jalan tol. Atau mendinglah jika debunya debu buat tayamum. Lah ini debunya, debu di ujung daun kering yang dua detik lagi akan runtuh ditiup angin.
Saat ini, Kulub melihat harapan, resolusi, dan target-target itu lebih seperti kuku di jemari: yang memanjang dengan sendirinya (sebenarnya, ia ingin analogikan seperti sungai untuk menggambarkan air yang mengalir. Ya, mengalir saja. Tapi kok mainstream banget). Bukan berarti abai dan tak acuh. Bukan berarti membiarkan semua itu berjalan mengikuti takdir. Bukan. Bukan seperti itu.
Seiring waktu, banyak hal yang Kulub pelajari. Diantaranya, apapun yang terjadi dan tersaji dalam hidup ini, akan terus ia nikmati. Ya, menikmati. Banyak hal yang menyebabkan Kulub menjadikan itu sebagai prinsip.
Pasalnya, akan terasa menyakitkan dan mengecewakan jika realitas yang ada, tak sesuai dengan harapan, resolusi dan target yang dibuat. Dan lagi-lagi, kata sebagian orang, hidup itu, di tiap detik dan menitnya, berisi dua hal yang bergandengan. Seperti sepasang kekasih yang baru jadi. Atau seperti suami istri yang baru nikah. Isinya, setengahnya kebahagiaan dan kesenangan, setengahnya lagi ya kesedihan. Jadi, ya tidak perlu terlalu.
Selain itu, tak jarang dan gak sedikit Kulub mengalami kejutan-kejutan yang terjadi setiap harinya. Misalnya, bertemu dengan perempuan cantik, manis, dan seksi. Lalu klik. Kemudian komitmen berpacaran. Tak lama, bertengkar, putus, lalu musuhan dan tak mau lagi bertegur sapa. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian tak terduga yang (akan) terjadi padanya.
Karenanya, Kulub jadi suka dengan kejutan-kejutan yang (akan) terjadi hari ini, esok, dan seterusnya. Jika kejutan-kejutan itu ternyata mengarahkan kepada terwujudnya harapan dan tercapainya target-target, ia anggap itu sebagai bonus.
Kemudian, dari semua hal dan kejadian yang (akan) ada, satu hal yang pasti buat Kulub: kembali ke dirinya bagaimana menyikapi.
Untuk menyikapi apapun, Kulub terus belajar dan berusaha agar yang menjadi landasannya adalah: rasa syukur. Ya bersyukur. (Untuk hal ini, kapan-kapan, jika ingat, akan saya jelaskan). Yang pasti, apapun yang terjadi, Kulub mesti dan fardhu untuk selalu bersyukur.
Syukur dalam arti aktif dan positif. Maksudnya, terus memperbaiki diri atas apapun yang terjadi. Misalnya begini, ketika tidak mencapai target, ia akan bersyukur dengan melakukan evaluasi. Kenapa target itu tidak tercapai? Apa yang kurang? Dan hal-hal lain yang mesti saya lakukan.
Selain syukur, Kulub akan terus berusaha untuk selalu berpikir positif. Bahasa inggrisnya: positive Thingking. Terhadap apapun. Kepada siapapun. Dan dalan keadaan bagaimanapun.
Ditambah, Kulub akan terus berusaha untuk terus dan selalu tenang. Tenang hati dan tenang pikiran. Tenang lahir batin. Tenang fisik dan psikis. Pokoknya tenang. Malah Kulub pernah bilang sedang belajar tentang the art of slow living.
Nah, Kulub yang merayakan tahun baru di Bandung, tepatnya di Lembang, menegaskan hal-hal tersebut kepada Kia. Ya Kia. Perempuan yang menemaninya di detik-detik pergantian tahun. Perempuan yang menyalakan sumbu kembang api yang dipegang Kulub. Perempuan yang duduk menyenderkan kepala ke bahu Kulub ketika menikmati letupan kembang api warna warni di langit Bandung. Dan Perempuan yang akan menjadi pendamping seumur hidup Kulub pada awal tahun ini.
Karenanya, tak banyak yang mereka bicarakan hingga menjelang pagi di tahun baru ini. Tahun baru yang istimewa. Lantaran Kulub dan Kia merayakannya bersama orang tua yang asik dan khusyuk membicarakan tentang pernikahan mereka berdua. Pernikahan yang waktunya dipercepat. Pernikahan yang sepertinya akan penuh dengan kejutan.
Dan dari kejauhan, saya mengucap selamat. Selamat tahun baru. Selamat menempuh hidup baru. Selamat menikmati apapun yang terjadi dan tersaji.
Lembang, 2019
Komentar
Posting Komentar