Demokrasi Cebong dan Kampret?
Beberapa hari yang lalu. Kulub tak merencanakan tapi akhirnya sampai ke Kebun Binatang. Aksi dadakannya terwujud setelah Kia merayu. Begitu manja. "Lagi pengen dimanja, pengen berduan dengan dirimu saja," kata Siti Badriah.
"Ingin jalan menikmati pepohonan," alibinya. Tak pikir panjang, Kulub mengarahkan mobil tuanya ke Ragunan. Tak ada tujuan selain memenuhi keinginan dan membuat Kia senang. Tak ketinggalan, merasa diperhatikan dan "diperlakukan bagai seorang ratu," masih kata Siti Badriah.
Tak butuh waktu lama, setelah masuk pintu utara 3, Kulub dan Kia tiba di kandang gajah. Meski tak berpagar, ada lubang seperti sungai kering yang memisahkan gajah dengan mereka. Kia mengambil gambar. Berkali-kali. "Gambarnya belum sesuai ekspektasi," terangnya. Kulub membiarkan Kia berekspresi. Melihat senyum dan air muka bahagia Kia, sudah menjadi kabahagiaan tersendiri baginya.
Satu persatu binatang yang ditemui dalam kandang masing-masing menjadi objek kamera di handphone Kia. Ibarat fotografer profesional. Ia ambil posisi untuk mengambil kamera. "Bagus gak, kak?" tanyanya berkali-kali pada Kulub.
Tak ketinggalan, beberapa kali Kia pun selfie dengan latar belakang binatang yang mungkin tengah kebingungan melihat tingkah orang-orang yang menontonnya. Siapa yang menonton dan ditonton menjadi rancu dan abu-abu.
"De, kamu gak kasihan dengan binatang-binatang itu? Seharusnya mereka hidup bebas di hutan atau alam liar?" tanya Kulub yang saat itu seakan menjadi pengawal pribadi Kia ketika berkeliling menyusuri kandang demi kandang binatang di kebun Binatang Ragunan yang luasnya lebih dari 14 hektare. "Lumayan buat latihan jalan jauh mas," ucap penjual air mineral yang menjual dagangannya dengan harga dua kali lipat di banding toko atau warung di luar ketika mereka beli air minum setelah dari kandang gajah. "Lain kali, mending bawa bekal makanan sendiri aja ya, De. Lumayan hemat," ucap Kulub.
Kia menjawab pertanyaan Kulub tentang kasihan, bak diplomat ulung; "Kalau Kakak melihatnya dengan sudut pandang itu, tentu saja kasihan. Tapi, kalau dengan perspektif lain, seperti menjaga kelestarian hewan, ilmu pengetahuan dan penelitian, dan pandangan-pandangan positif yang lain, gimana?" Kulub terdiam. Perlahan ia ikut larut melihat para binatang yang menjadi tontonan sekaligus hiburan manusia.
"Kok di sini gak ada cebong atau kampret ya, De? Padahal cebong ama kampret lagi viral di media sosial!?" seloroh Kulub.
"Udah deh, Kak. Gak usah mempolitisir hiburan ini ah."
Kulub tertawa. "Eh, tapi ini perlu dipertimbangkan oleh pengelola dan pengurus Kebun Binatang ini. Keduanya buat Kakak menjadi semacam hiburan loh. Semacam dagelan di dunia perpolitikan Indonesia," ucapnya yang kemudian menjelaskan tentang bagaimana kedua kubu pendukung capres menggunakan akal pikiran dan perspektifnya masing-masing untuk meraih simpati masyarakat. Tentu saja dengan tujuan memilih capres dan cawapres yang dipilih.
Kulub dan Kia terus obrol sana-sini menelusuri satu persatu kandang-kandang binatang. Ketika tiba di kandang Burung. Kulub meminta izin untuk menunggu dan duduk di bangku kayu yang tersedia di dekat situ. Lututnya mulai terasa pegal. Sesekali ia pijit dengkul dan betisnya. Sementara Kia masih asik mengambil foto burung-burung tersebut. Terlihat jelas di mata Kulub, Kia berusaha mengambil foto yang terbaik sesuai angle. Kadang jongkok, kadang membungkuk, kadang mengarahkan kamera handphonenya sejajar dengan tanah.
Ketika duduk, tentu saja sambil melihat Kia. Kulub teringat dengan demokrasi gajah yang pernah ditulis Kuntowijoyo dengan judul Demokrasi Gajah, Demokrasi Kuda, dan Demokrasi Anjing. Esai tersebut ia temui di buku Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, terbitan mizan, Bandung, tahun 2002.
Kuntowijoyo menulis gajah dalam sirkus: sudah ada target yang ditentukan oleh pelatihnya, dan pelatih selalu memberi hadiah kepada gajah ketika berhasil melakukan sesuatu yang diperintah. Kuntowijoyo menghubungkan hal tersebut dengan demokrasi.
"Bila demokrasi sudah ditargetkan seperti itu namanya masyarakat tertutup. Dan itu bertentangan dengan demokrasi itu sendiri," jelasnya.
Pemberian hadiah dapat diartikan sebagai upah yang diberikan atas kepatuhan menjalankan perintah dari pelatih (baca penguasa). Kesimpulannya ialah demokrasi gajah bukanlah demokrasi yang sebenarnya.
Kulub pun teringat dengan istilah sepak bola gajah yang segalanya sudah diatur sebelumnya. Terutama tentang hasil dan skor pertandingan.
Selain demokrasi gajah, Kuntowijoyo pun mengungkap tentang demokrasi kuda. "Mengatur orang tak ubahnya seperti mengatur dan mengendalikan kuda. Kita harus menyatu dengan kuda; kalau kuda ingin merumput,kita harus tahu. Kuda itu kita anggap saudara kita. Kuda itu tahu. Akan tetapi, siapa yang menentukan arah kemana kuda harus menuju? Ya, tentu saja penunggangnya," ungkapnya.
Setidaknya ada dua hal; Pertama, yang menentukan arah, tetap penunggangnya. Kedua, kuda itu tetap menjadi kuda tunggang, tidak bebas seperti kuda liar. Satu-satunya keuntungan bagi kuda adalah ia terbebas dari gangguan satwa liar, seperti harimau.
Tak ketinggalan, Kuntowijoyo menyebut pula demokrasi anjing. "Menghubungkan anjing dengan demokrasi tidaklah sulit," tegasnya. "Seperti diketahui, anjing butuh jalan-jalan. Dalam hal ini, yang empunya anjing terpaksa menurut. Jadi, seolah-olah anjing berada di atas angin. Akan tetapi, anjing itu tetap dimiliki. Dan jangan lupa anjing itu harus pulang ke rumah tuannya," tambahnya tentang demokrasi anjing.
Kulub pun tak ketinggalan. Dalam diamnya sambil melihat Kia yang masih sibuk mengambil gambar burung-burung, keisengan di otaknya membisiki: demokrasi ala cebong dan kampret, mungkinkah?
Sayangnya, Kulub urung menghubungkan demokrasi dengan cebong dan kampret. Karena ia melihat, cebong dan kampret hanya istilah negatif yang seharusnya tidak ada. Sebab, pendukung dua capres dan cawapres yang ada semuanya manusia. Terlebih teman-temannya sendiri.
Kulub terbayang wajah teman-temannya yang saling adu argument. Lalu menyayangkan ketika kata cebong dan kampret terlontar dalam adu gagasan dan argument tersebut.
"Bagaimanapun mereka adalah manusia. Toh kalaupun kelakuan mereka seperti cebong atau kampret seperti yang dilontarkan masing-masing kubu, sepertinya tidak etis dan tidak bermoral jika sebutan itu terus terlontar. Cebong tetaplah cebong. Kampret tetaplah kampret. Manusia tetaplah manusia, walau kelakuan terkadang seperti binatang, bahkan lebih buruk," pikir Kulub.
Jika Kuntowijoyo menyebut demokrasi dengan nama-nama binatang, itu lebih kepada gambaran tentang bagaimana demokrasi dilaksanakan. Dan di akhir tulisannya pun ditegaskan tentang demokrasi pancasila yang mesti terus dijaga. Ya, Kuntowijoyo lebih menekankan pada bagaimana bukan siapa pelakunya. Walau ujung-ujungnya, itu akan mengarah pada pelakunya, pada siapanya.
Kulub pun seperti "abege" yang labil. Antara mau menyebut demokrasi cebong dan demokrasi kampret atau perayaan demokrasi ala cebong dan kampret untuk menggambarkan fenomena di media sosialnya pada tahun politik ini.
Tiba-tiba Kulub tertarik kepada bagaimana kedua nama binatang ini ikut serta meramaikan perayaan pesta demokrasi di negeri ini. Bukan. Bukan pada kenapa kubu yang ini bilang kampret ke kubu yang itu. Pun sebaliknya kubu itu bilang cebong pada kubu ini. Bukan. Bukan itu. Kulub lebih melihat dibalik semua itu; permainan dan skenario para (oknum) pelaku politik dalam upaya meraih kekuasaan.
Kulub teringat Buku Thick Face Black Heart, karya Chin Ning Chu. Buku yang judulnya kalau diartikan secara tekstual ke dalam Bahasa Indonesia menjadi; Bermuka Tebal Berhati Hitam.
Dari judulnya, sekilas, berkonotasi negatif. Namun, buku ini konteksnya justeru positif: bagaimana agar seseorang bermental baja dan pantang menyerah dalam mencapai sesuatu yang diinginkan.
Kulub curiga (semoga bukan su'uddzzhon alias buruk sangka) teori-teori dalam buku yang terinspirasi dari buku Thick Black Theory ini dipakai oleh mereka; para (oknum) pelaku politik.
kata-kata Lee Zhong Wu; "Bilamana anda menyembunyikan kehendak anda dari orang lain, itu namanya mental baja. Bilamana anda memaksakan kehendak anda kepada orang lain, namanya pantang menyerah", mengawali kalimat-kalimat selanjutnya dalam buku yang dipahami Kulub sebagai buku "how to".
Kecurigaan Kulub bukan tanpa alasan. Bukankah menyembunyikan maksud meraih kekuasaan dan berusaha memaksakan kehendaknya pada masyarakat, adalah kelakuan yang identik dengan politisi? Meski dengan cara-cara yang seolah-olah tidak memaksa, keinginan berkuasa dan meraih kekuasaan, adalah maksud dan tujuan para politisi, bukan? Berbagai cara pun akan dilakukan. Bahkan Machiavellism yang sebagian orang mengartikan sempit dengan menghalalkan segala cara, pun akan dilakukan. Selama itu bisa membantu mewujudkan meraih kekuasaan.
Sekilas, pernyataan Lee Zhong Wu pada awal buku tersebut terlihat negatif. Terlebih ketika Pantang menyerah yang dimaksud adalah kesanggupan untuk bertindak atau bereaksi tanpa mempedulikan akibat yang akan mempengaruhi orang lain. Negatif, bukan?
Sekali lagi, perspektif negatif ini ditekankan pada kata tidak peduli akibat. Karena pantang menyerah yang dimaksud penulisnya adalah fokus pada tujuan dan tidak terpengaruh oleh akibat yang ditimbulkan.
Jika melihat cara-cara para (oknum) pemain politik membangun opini dan mempengaruhi pola pikir masyarakat, terutama menyembunyikan maksud meraih kekuasaan, sepertinya teori inilah yang dipakai. Tentu saja secara negatif.
Lihat saja, isu SARA, terutama agama, seperti jamur di musim hujan. Memenuhi beranda media sosial. Sepertinya para pemain politik (oknum) tersebut benar-benar tidak peduli dengan akibat yang akan muncul. Misalnya sentimen dan Konflik antar umat beragama bisa meruncing.
Padahal pantang menyerah yang dimaksud dalam buku tersebut adalah sikap bijak. Sikap pantang menyerah untuk meraih sesuatu. Seperti cerita seorang pendekar kungfu bernama Han yang dihadang dua penjahat biasa dalam perjalanannya ke suatu tempat, di buku tersebut.
Dua penjahat itu memberi dua pilihan pada Han, pendekar yang terkenal tidak terkalahkan; yaitu berduel sampai mati atau menyerah dengan berjalan merangkak melewati rentangan kaki kedua penjahat tersebut. Han malah memilih menyerah. Tentu saja berita tersebut langsung tersebar ke seantero negeri. banyak penduduk mempertanyakan perihal tersebut. Bahkan tak sedikit yang mencibir. Semuanya berdasar pendapat dan pandangan masing-masing.
Seiring waktu, Han akhirnya menjelaskan bahwa ia melihat dua penjahat itu hanya penjahat biasa. Bukan tandingannya, tidak selevel dengannya. Ia hanya akan membuat pandangan lain orang-orang bahwa ia melawan yang bukan tandingannya. Ia menghindari hal-hal yang lebih kejam: ibarat orang dewasa berantem dengan anak TK. Dan ini lebih memalukan. Nah, dari cerita tersebut, pantang menyerah yang dimaksudkan adalah mampu menentukan sikap untuk tetap berada di jalur mencapai tujuan.
Di buku ini dijelaskan pula salah satu prinsip pantang menyerah adalah mengetahui rasa takut. Ya, rasa takut. Rasa takut yang mengajari menghormati hukum alam. Seperti tidak menari-nari di atas kobaran api, kecuali sudah kebal api dan sakti. Dan lagi-lagi agama adalah salah satu hal sakral dan vital kalau tidak boleh menyebutnya sebagai sesuatu yang ditakuti. Para oknum pemain politik sepertinya mengetahui hal ini.
Makanya, Kulub begitu gerah melihat agama mulai dijadikan alat dan dipolitisir untuk meraih kekuasaan. "Andai masyarakat bisa lebih kritis dan tidak menelan bulat-bulat informasi dan pesan-pesan yang masuk di media sosial mereka, mungkin agama tidak akan bisa dipermainkan," Kulub berandai-andai.
Kia masih berjalan ke sana ke mari membidik burung-burung dengan kamera handphonenya. Kulub masih berandai-andai. "Andai saja masyarakat mengetahui tentang dharma pada buku tersebut," lanjut Kulub. Ya, buku yang juga terinspirasi The art of war karya Tsun Zu ini juga menjelaskan tentang Dharma; bertindak sesuai kewajiban.
"Andai kewajiban yang katanya membela agama diiringi juga dengan kewajiban belajar seumur hidup, tentu isu-isu yang mengait-ngaitkan serta membawa-bawa agama sebagi isu dalam politik, sepertinya masyarakat akan tetap jernih dalam menentukan pilihan capres yang ada," lanjut Kulub.
"Pun bekerja menggunakan otak yang di tulis dengan 3P; purpose (tujuan) perseverance (kegigihan) dan patience (sabar) dalam buku tersebut, sepertinya, akan membuat masyarakat lebih bijak dalam bersikap. Tidak ada lagi kata cebong dan kampret yang menghiasi media sosial. Tidak ada lagi sentimen agama. Tidak ada lagi yang renggang persahabatan dan pertemanannya hanya karena beda pilihan. Dan tidak ada lagi masyarakat yang terjebak dan 'kemakan' isu-isu buatan para (oknum) pemain politik, terutama isu agama".
Kia tampak puas dengan jalan-jalannya. "Kak, kapan-kapan kita ke Taman Safari yuk," ujar Kia yang ditanggapi dengan "insya Allah, ya De," oleh Kulub.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar