Pulang
13.56 waktu masih di Indonesia bagian barat barisan kendaraan roda empat hingga roda sepuluh di depan biji mata. Berusaha saling mendahului. Salip kanan, salip kiri, tambah kecepatan. Semua demi satu: sampai tujuan. Tentu saja dengan tubuh masih utuh. Pegal-pegal sedikit tak soal, memang konsekuensi dari perjalanan, bukan?
Siang ini perjalanan saya sedikit berbeda. Pandangan tak seperti biasa. Biji mata ini bisa melihat bagian atas kendaraan SUV. Bahkan, muatan tronton yang tak ditutup terpal bisa terlihat. Pasalnya, pantat saya kebagian kursi untuk duduk di bagian atas bmpada bis yang punya dua kabin.
Sudah lama bis macam gini hadir. Hanya baru kali ini bisa merasakannya. Dan tak tanggung, sekitar 18-20 jam akan saya habiskan waktu layaknya teman karib dengan bis ini. Tentu saja, selain melihat jalan, laju kendaraan, dan segala hal yang ada di pinggir jalan, saya bisa tidur, baca "Dimana Ada Cinta Disitu Ada Tuhan" karangan Leo Tolstoy yang saya selipkan di tas ransel, ngobrol dengan orang di samping. Dan yang paling saya suka, saya tetap bisa ngopi dan merokok. Ya, di antara fasilitas yang ada adalah ruang merokok dan air panas.
Ini hal menggembirakan. Terutama bagi para pelaku bisnis dan usaha: selain keselamatan, kenyamanan dan kepuasan konsumen mesti diutamakan. Terlebih bagi para pengusaha yang bergerak di bidang jasa. Fasilitas-fasilitas macam ini perlu diperhatikan. Sebab usaha tak melulu soal untung dan rugi.
Saya jadi teringat omongan Kulub; "untung itu hanya bonus. Tapi bagaimana memberikan yang terbaik pada konsumenlah yang kudu dan wajib", ketika kami bicara soal usaha di depan rumah. Di dekat kami ada meja bambu. Di atasnya ada asbak, tiga bungkus rokok, beberapa gorengan, handphone, dan korek api.
Kulub memang sedang intens bicara soal usaha dan bisnis dengan Kia. Saya pun kebagian berkat. Ikut menerima ilmu tentang dunia usaha. Dari manajement hingga tetek bengeknya. Dari obrolan Kulub, perlahan menjadi semacam teori-teori usaha. Menyusul bayangan tentang usaha. Kemudian rencana usaha apa. Dan akhirnya, seperti dua pendekar yang tengah sabung, saya akan bergelut dengan dunia usaha. Dunia yang penuh tantangan, peluang, sekaligus kesempatan untuk menjadi diri yang edan.
Untuk beberapa hari ke depan saya hanya akan ngobrol dengan Kukub lewat HP. Sedih sih, tapi mau bagaimana lagi, terkadang hal menyedihkan memang mau tak mau mesti dirasakan. Ya, saya mau Pulang ke Madura.
Kok pulang? Iya, karena Madura ibarat rumah saya. Terlebih Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Inilah rumah saya dilahirkan untuk ke sekian kali. Berkali-kali. Dilahirkan menjadi diri yang mesti banyak bekal dalam kehidupan. Di sinilah saya ditempa dengan berbagai macam hal berguna. Dan sampai detik ini, 6 tahun lebih di Al-Amien Prenduan lah saya merasa diri saya terbentuk. Dasar-dasar dan sendi-sendi kehidupan saya terbentuk di sini.
Ya, pondok pesantren Al-Amien laksana ibu kandung. Karenanya ketika perjalanan ke madura, saya selalu merasa saya tengah pulang ke rumah, ke ibu. Seberapa jauh pun kaki melangkah, sesekali, sewaktu-waktu, jiwa ini ingin kembali ke rumah, bukan?
Selain itu, dalam perjalanan ini, ketika melihat truk-truk kontainer melaju dengan beban bawaannya, ada keisengan di otak dan dada; "suatu saat, yang dibawa truk-truk berbadan bongsor itu adalah produk-produk usaha saya dan teman-teman Kayakita. Ya, teman-teman yang senang nyanyi-nyanyi, ngopi, ngobrol, ketawa-ketiwi hingga diskusi di komunitas pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tengah merencanakan kegiatan di 2019.
Lagi nyantai melihat deretan kendaraan sambil dengar alunan dangdut yang diputar awak bus, tiba-tiba Kulub mengirim pesan vua Whatsapp. "Fan, ada salam dari Neneng." Saya melotot hingga dahi agar berkerut.
Tol Cikampek KM 40.
Komentar
Posting Komentar