Asal Ada Rokok dan Kopi
Semua hari istimewa. Terlebih jika terjadi hal luar biasa. Apakah itu sesuatu yang membahagiakan atau yang menyedihkan, jika tak biasa, pastinya akan memberi kesan yang berbeda. Keduanya tentu memberi kesan, bukan?
Hari libur atau hari kerja, sama saja. Semua hari pasti diisi dengan berbagai kegiatan. Mulai melakukan kerjaan rumah, urusan kantor, berlibur, hiburan, hingga tidur-tiduran.
Begitu juga dengan Kulub. Dua hari kemarin ia seperti ombak di lautan. Tak bisa diam. Tak sedikit yang ia lakukan di Sabtu dan minggu yang bagi sebagian orang adalah hari untuk liburan dan hiburan.
Sabtu hingga minggu, bahkan sampai menjelang senin pagi, Kulub mengurangi tidur. Ia mengakrabi kata-kata di laptop. Tak peduli matanya merah hingga berair. Tak soal pinggang dan pantatnya panas karena terlalu banyak duduk.
Kulub punya target. Ia ingin mencapainya. Tentu dengan usaha dan bulat tekad. Berbekal laptop, otak, air minum, kopi susu, listrik, jari jemari, mata, detak jantung, dan masih berfungai seluruh organ tubuhnya, ia ingin sampai di tujuan dan target yang ia buat sendiri.
Target itu ia buat setelah bicara dengan temannya. Seorang perempuan yang bekerja pada salah satu penerbit besar di negeri ini. "Minimal delapan puluh persen. Harus sudah selesai," terang temannya yang beda agama tapi terkadang meyakini hal yang sama.
Kalimat itulah yang membuat Kulub seperti kesambet setan dan jin "segera". Ya, ia mesti segera menyelesaikan naskah ceritanya menjadi kumpulan yang utuh. Seperti Indonesia. Seperti Bhineka Tunggal Ika.
Hal pertama yang ia lakukan adalah menyatukan semua cerita yang terpisah. Tentu saja setelah ia menyalakan laptop dan membuka folder cerita di situ. Lebih dari lima menit waktu yang ia butuhkan untuk ini.
Setelah terkumpul semua tulisan itu, yang ia lakukan adalah menyelakan korek api. Merokok. Kemudian perfi ke dapur: membuat kopi susu. Tak lama, ia kembali ke kamar. Kembali menjamah laptopnya.
Lebih dari dua jam ia habiskan untuk membaca dua ratus tujuh halaman tulisan yang ia buat. Biar lebih santai, ia lalukan itu sambil merokok dan menyeruput kopi. "Aha," batin Kulub setelah menentukan cerita yang ia tulis akan dibagi menjadi 33 bagian.
Setiap bagian memiliki judul dan cerita tersendiri. Tapi tiap judul dan bagian saling berkaitan. Sebab semuanya satu kesatuan. Seperti tubuh adan anggota bafan yang saling menguatkan.
Sesekali jemarinya menekan tombol-tombol hurup setelah matanya bergerak meggikuti kata-kata yang terpampang di layar laptop. Tombol menghapus, tombol arah kiri kanan atas bawah, adalah hal yang paling sering ia lakukan pada tahap ini.
Kulub benar-benar tak peduli pada perutnya yang lapar. Kecuali sudah benar-benar lapar, ia akan menghentikan kencannya dengan laptop. Pergi mencari yang bisa dimakan. Setelah perut terisi, ia lanjut kembali menghadap laptop. Seperti pesakitan yang mesti menghadap hakim di pengadilan.
Pun ketika waktu shalat datang. Meski tak bertampang ustadz, untuk urusan shalat, ia akan utamakan. Setidaknya menjalankan dan mengerjakan. Paling tidak, menggugurkan kewajiban. Jika tidak ada hal genting yang mesti dilakukan, ia akan terus bermain-main dengan laptop.
Pagi berganti siang. Siang berganti sore. Sore berganti malam. Hingga tengah malam. Hingga dini hari. Kulub isi dengan kata-kata yang ia ketik di laptopnya. Hingga matanya tak sanggup lagi terbuka. Ia tertidur di depan laptop yang masih menyala setelah shalat subuh.
Jam tujuh kurang dua menit, ia terbangun. Seorang perempuan tua dengan suara khasnya membangunkan. Tidak, perempuan yang dipanggil Enyak Haji tidak berniat membangunkan Kulub. Enyak haji mengingatkan jamaahnya untuk hadir pada Muludan.
Meski tak sengaja, Enyak Haji berhasil membangunkan Kulub. Sungguh tak biasa, Kulub langsung menggerakkan badan. Bangkit. Ke kamar mandi; buang air kecil. Karena tanggung, ia pun buang air besar.
Urusan buang air selesai. Ia pergi ke dapur. Membuat kopi susu. Setelahnya, bisa ditebak. Ia kembali ke depan laptop.
Jam dua kurang tiga belas menit, ia menyudahi kegiatannya. Lalu menelepon dan meminta saya agar subuh datang ke rumahnya. Setelah diceritakan sabab musababnya, saya pun menyanggupi. "Asal ada rokok dan kopi," canda saya.
Sawangan Baru
Komentar
Posting Komentar