Usaha Bersama
Di antara orang-orang yang saya kagumi adalah mereka yang tak menyerah untuk melakukan hal apapun. Terlebih jika yang melakukannya adalah para perempuan.
Kekaguman saya akan semakin bertumpuk-tumpuk jika yang tak menyerah adalah para perempuan yang sudah berkeluarga yang ikut membantu suami soal urusan keuangan keluarga dan ekonomi.
Perempuan yang sibuk mengurus rumah dan anak, tapi tetap bisa mencari tambahan pemasukan keuangan. Perempuan yang tetap mau berusaha mengembangkan dirinya. Lebih-lebih jika perempuan tersebut adalah orang tua tunggal dengan beberapa anak tanpa suami.
Ketika mereka bekerja, berupaya sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, kekaguman dalam diri saya akan semakin tak terhingga. Sungguh, saya salut dengan perjuangan mereka.
Saya tak jarang menemui para perempuan tangguh ini di berbagai tempat. Mulai bekerja di gedung kantoran, pabrik, perusahaan, pertokoan, hingga di jalanan dan perkampungan. Dari sedikit obrolan, hampir semua akan bilang; apa yang mereka lakukan itu untuk dan demi anak-anak.
Sayangnya, masih banyak yang belum beruntung mendapat pekerjaan. Kalaupun ada, masih serabutan. Jadi tukang cuci, setrika dan bersih-bersih panggilan, hingga akhirnya ada yang mangkal di pinggir jalan. Meski tak mau, mereka tak punya pilihan daripada melihat anak-anak menangis kelaparan.
Bagi sebagian orang, mungkin akan bilang: banyak kok pekerjaan halal. Memang benar demikian, banyak pekerjaan halal dan hal lain yang masih bisa menghasilkan uang. Sayangnya, begitulah kehidupan: kadang kenyataan tak semudah seperti yang dibayangkan serta tak seindah seperti apa yang diharapkan. Dan perlu diingat, tak semua orang memiliki keberuntungan dalam hidup. Tak semua orang punya akses untuk memperbaiki kehidupan.
Mau kerja dan melamar pekerjaan, tak punya ijazah. Kalaupun punya ijazah, umur sudah di atas tiga puluhan. Seperti seorang perempuan yang saya temui. Usianya hampir empat puluh. Suaminya bekerja serabutan. Kadang ada uang, lebih sering pulang hanya bawa baju kotor penuh keringat di badan. Sementara dua anaknya yang masih kecil perlu makan.
Ia dan suaminya tinggal di rumah petakan. Perbulan harus membayar tujuh ratus ribu kepada sang pemilik kontrakan. Belum keperluan makan dan hal-hal lain yang membutuhkan uang.
Suaminya bilang ia tak lulus SMA. Ia bekerja sebagai kenek kuli bangunan. Bayarannya lumayan, 100-120.000/hari. Tapi itu jika ada proyek pembangunan. Kalau tak ada, bisa sebulan lebih ia tak punya pemasukan.
Istrinya saban hari di kontrakan mengurus anak dan kerjaan rumah. Ia pun dengan tegas bilang mau kalau ada kerjaan yang menghasilkan uang. Lagi-lagi kesempatan itu jarang datang.
Keluarga seperti ini tak sedikit. Tak terhitung jumlahnya. Hanya saja, kadangkala saya dan kita luput untuk memperhatikan. Atau mungkin memang kita terlalu sibuk memikirkan diri sendiri? Atau sebenarnya kita ingin membantu tapi tidak tahu bagaimana caranya, sementara kita pun masih pas-pasan.
Dulu, saya membangun unit usaha karena ingin mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Setidaknya bisa memnuhi kebutuhan dan keinginan saya. Tapi, karena terlalu sering menjumpai orang-orang yang seperti itu, perlahan membuat orientasi saya berubah. Saya tak ingin sendiri berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan, tapi bareng-bareng, terutama dengan mereka yang juga ingin memperbaiki ekonomi keluarga.
Setelah mengalami kebangkrutan dan keterpurukan beberapa tahun lalu di jual beli kelapa tua, di produksi nata de Coco serta arang batok, saya seperti mendapat teguran dan pembelajaran: "sepertinya orientasi saya membangun usaha perlu diluruskan."
Karenanya, ketika mendapat kesempatan dan peluang membangun usaha baru tiga tahun belakangan, saya pun mengubah sudut pandang bahwa usaha tidak hanya untuk diri sendiri. Bukan, bukan untuk mencari pekerja atau mempekerjakan orang. Tapi, saya tengah membangun sistem yang pangkalnya adalah: usaha bareng-bareng. Usaha bersama-sama untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga.
Sawangan Baru, 06122021
Komentar
Posting Komentar