Melihat Masalah Seperti Ruang Ujian. (Keajaiban Masalah)

Guru saya cerita tentang masalah lebih ke dalam lagi. Beliau bilang, masalah itu akar katanya سَأَلَ - يَسْأَلُ yang artinya bertanya, menanyakan, meminta, mengajukan permintaan, dan memohon.

Mashdarnya atau bentuk aslinya suaalun, sedehananya artinya bisa pertanyaan, persoalan, permintaan, bahkan permohonan. "Kembali ke kamu, mau melihat masalah sebagai apa? Apakah sebagai permintaan, persoalan, pertanyaan, atau permohonan?" Terang beliau yang kemudian menjelaskan hal-hal dasar terkait masalah.

Kalau masalah saya lihat sebagai bentuk pertanyaan atau persoalan, maka setidaknya pertanyaan ada tiga. Pertama, pertanyaan yang diajukan (seseorang) kepada kita karena ketidaktahuan dan ingin mencari tahu jawabnya. Kedua, pertanyaan yang diajukan (seseorang) kepada kita karena untuk menguji dan ingin tahu seberapa jauh pengetahuan kita. Ketiga, pertanyaan yang diajukan tapi tidak untuk dijawab dan tidak perlu jawaban karena sekadar konfirmasi saja.

Kalau masalah saya anggap sebagai pertanyaan jenis pertama maka yang perlu saya lakukan adalah mencari tahu jawabnya. Maka saya perlu mencari ilmu dan menjadikannya pengetahuan. "Apapun masalah yang kamu hadapi, kalau kamu pandang sebagai pertanyaan jenis ini, maka kamu harus bersyukur, setidaknya dari masalah itu kamu terpacu untuk belajar dan mencari tahu ilmunya, tentu saja, lagi-lagi kemampuan kamu mencari ilmu dan belajar pun atas kehendak-Nya juga," terang guru saya. 

Beliau lalu menjelaskan kalau masalah dianggap sebagai pertanyaan jenis kedua, maka masalah yang dihadapi adalah bentuk ujian terhadap Maqom dan "kelas" saya. "Seperti kata Allah: ahasibannasu an-yutroku an-yaquulu aamannaa wa hum laa yuftanuun. Ini pun mestinya buat kamu syukur. Karena kalau kamu biaa menjawab, menyelesaikannya dengan baik, kamu akan naik kelas. Tentu saja sekali lagi, kemampuan kamu untuk menjawab dan menyelesaikannya pun atas kehendak-Nya juga," lanjut beliau. 

Sementara kalau saya melihat masalah hanya sebagai konfirmasi bahwa segala yang terjadi adalah bentuk konfirmasi dan penegasan bahwa ada kekuatan Maha Dahsyat di balik setiap kejadian, "maka, lagi-lagi yang perlu kamu lakukan adalahenambah rasa syukur kamu. Karena setidaknya, Allah mengingatkan kamu. Allah masih sayang kamu. Kamu masih dianggap hamba-Nya lewat masalah itu," tegas guru saya.

Kemudian guru saya mencoba memberi gambaran lebih sederhana lagi. Beliau bilang masalah itu seperti lembar soal atau pertanyaan ujian. Beliau menganalogikan saya hendak masuk ke ruang ujian. Yang saya bawa ke ruang ujian hanyalah diri dan alat tulis untuk menjawab soal-soal. 

Sebelum masuk ruang ujian, yang perlu ditanamkan adalah sikap para waliyulloh, yaitu laa khoufun 'alaihim wa Laa hum yahzanuun. Alias jangan takut. Jangan sedih. Hadapi. Tenang. Dan saya mesti yakini Allah ada sebelum masalah itu ada. Bahkan Allah telah ada sebelum saya ada. Dan Allah akan terus ada saat saya ada masalah. 

Setelah itu, saya membawa bekal "pengetahuan" di dalam diri saya untuk masuk ruang ujian. Untuk menghadapi masalah. Nah, bekal utama untuk menghadapi masalah, terang guru saya, adalah keimanan: bahwa saya tidak akan dikasih pertanyaan dan persoalan yang di luar kemampuan saya. "Laa yukallifullohu nafsan Illa wus'aha". Tidak mungkin, misalnya, saya yang masih SD dikasih soal atau pertanyaan untuk anak-anak SMA. "Keimanan dan keyakinan akan hal ini adalah modal utama saat kamu masuk ruang ujian. Saat kamu tengah menghadapi masalah."

Selain itu, kata guru saya, ada modal lain yang dibawa ke dalam ruang ujian, yaitu pengetahuan yang tersimpan dalam "al-khoyal" atau memori di dalam diri kamu. Sebelum kamu masuk ruang ujian, bisa dipastikan kamu telah belajar dan mempelajari hal-hal yang mungkin akan jadi pertanyaan dan diujikan. Ilmu dan pengetahuan itulah modal kamu selanjutnya. 

Tapi, ada juga ujian yang memang sebelumnya saya belum pernah pelajari materinya. Misalnya ujian untuk masuk perguruan tinggi. Ujian seleksi. Atau ujian penempatan. Nah, ini terkait dengan kapasitas saya ketika hendak masuk ke Maqom atau level lebih tinggi. Ini berarti yang mesti saya lakukan sebelum-sebelumnya adalah terus belajar dan belajar, mencari pengalaman-pengalaman baru, mencari pengetahuan-pengetahuan yang belum saya tahu. "Ini seperti perintah nabi, bukan? Mencari ilmu itu tidak sekadar wajib tapi wajib banget bagi muslim, laki-laki maupun perempuan," terang Guru.

Modal selanjutnya, kata guru saya, ketika masuk ke ruang ujian, adalah berdoa sebelum mengerjakan, menghadapi, dan menyelesaikan soal-soal. Begitu pun dengan masalah yang saya hadapi. Selalu awali dengan doa setiap kali ingin melakukan sesuatu yang tujuannya menyelesaikan masalah tersebut. "Doa itu bukan sekadar kata-kata kepada Allah. Tapi doa seperti ikatan batin, tali gaib, yang menghubungkan kamu dengan Allah. Dengan doa tersebut, Setidaknya kamu meletakkan harapanmu hanya kepada Allah. Harapan bahwa Allah akan menggerakkan dan memudahkan segalanya," terang Guru.

Ketika kertas ujian atau lembar soal saya terima, ketika masalah datang menghampiri, saya sudah siap secara batin. Setidaknya dengan bekal iman, kepercayaan, dan melimpahkan segala harapan yang baik kepada Allah, terutama harapan dan keyakinan bahwa Allah yang menggerakkan semuanya. "Nah, setelah itu, gunakan kemampuan yang kamu punya, seoptimal mungkin dalam menghadapi soal. Pun begitu dalam menghadapi masalah," terang Guru.

Kemudian guru saya mengingatkan alat tulis yang saya bawa ke ruang ujian itu seperti tongkat Nabi Musa yang membelah lautan. Kertas ujian atau lembar soal tidak akan terisi dan terselesaikan kalau saya tidak menggunakan "tongkat nabi Musa" tersebut. 

Guru saya menjelaskan "tongkat nabi Musa" adalah segala sesuatu yang nempel di diri setiap orang. Itu seperti kelebihan, potensi, skill, atau kemampuan yang sebenarnya ada pada setiap manusia. Bisa kemampuannya membuat sesuatu, memainkan sesuatu, mencipta sesuatu, membicarakan sesuatu, keterampilan bikin sesuatu, dan lain sebagainua. "Ya, apapun yang kamu bisa kerjakan, akan lebih baik jika itu didasari dengan kemampuan dan potensi yang ada dan nempel di diri kamu," tegas Guru. "Gunakan itu! Terus gerak seperti Bunda Siti Hajar dari Shofa ke Marwah!"

Tak cukup sampai di situ, guru saya, lanjut menjelaskan tentang peraturan dan aturan main dalam ruang ujian. Setidaknya, dilarang menyontek dan melakukan hal-hal yang curang. Begitu juga saat menghadapi masalah. Ketika masalah yang dihadapi misalnya soal keuangan, saya dilarang untuk melakukan hal curang. Mencuri, merampok, atau menipu, misalnya.

Termasuk dengan minjam jawaban punya orang lain. Soal ini, guru saya menganalogikannya dengan masalah hutang. Hutang itu sederhananya ada uang atau barang yang saya pinjam ke orang orang lain. Nah, kalau saya menutupi hutang itu dengan pinjam ke orang lain, itu sama saja. Gali lobang lalu tidak menutupnya tapi malah nambah lobang yang lain. "Yang perlu dilakukan adalah terus berusaha menutup lubang itu tanpa minjam ke orang lain dan tanpa menggali lobang yang lain. Kamu boleh pinjam, tapi pinjamnya ke Allah," tegas Guru.

Soal aturan ini, guru mengingatkan soal takwa. Takwa yang secara sederhana bisa diartikan dengan takut. "Kamu bayangkan saja, ketika kamu akan melakukan ini, bayangkan dan perkirakan: kira-kira Allah suka gak yah? Kira-kira Allah marah gak yah? Dan seterusnya. Jadi, ketika kamu menghadapi dan berusaha menyelesaikan masalah, kamu tidak keluar dari koridor dan aturan main yang ada," terang Guru.

Kenapa saya tidak boleh curang dalam ruang ujian? Kenapa saya tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang saat menghadapi masalah? 

Sederhananya, alangkah bagus dan eloknya karena ada kesadaran bahwa sesuatu yang baik tidak bisa dilakukan dengan cara yang tidak baik. Saya yang punya tujuan baik untuk menyelesaikan masalah, seyogyanya tidak melakukan prosesnya dengan cara-cara tidak baik. 

Seperti nahi Munkar, yang tidak boleh dilakukan dengan kemunkaran yang lain. Pun tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lain.

Kalau tidak ada kesadaran seperti itu, setidaknya kita tahu dan sadar bahwa ada pengawas. Bahwa ada yang mengawasi dan melihat saat kita menyelesaikan dan menghadapi masalah. Kata guru, ini terkait konsep Ihsan. "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya, yakinlah Allah melihatmu," terang Guru.

Guru tak berhenti. Beliau lanjut menerangkan tentang sikap saat mengerjakan soal. Sikap saat menghadapi dan berusaha menyelesaikan masalah. Yaitu, tenang, sabar, dan jangan terburu-buru. Meski ada batas waktu. Bukan berarti saya mesti buru-buru mengerjakan soal. Bukan berarti saya asal terabas terobos ugal-ugalan. "Ingat, al-'ajalatu minas syaithon," terang Guru. 

Ketika tenang, kemampuan berpikir saya bisa lebih bekerja dengan efektif. Jadi bisa melihat segala soal dengan lebih jernih. Pun ketika menghadapi masalah, ketika saya tenang, kata guru, saya bisa melihat persoalan dan masalah lebih jernih. Dan kemungkinan jalan keluarnya semakian terbuka.

Ternyata, guru tidak berhenti sampai di sini. Beliau lanjut lagi dengan menganalogikan setelah ujian dan ternyata hasilnya tidak memuaskan. Alias masalah yang ada belum selesai juga. "Masuk lagi! Hadapi lagi! Kerjakan lag! Gunakan pola dari awal tadi. Terus, jangan berhenti sampai kamu dapat skor yang maksimal. Terus gerak sampai masalahmu selesai. Gak usah pedulikan kata orang-orang kalau kamu ujian ulang, berkali-kali. Yang terpenting tujuan kamu adalah menyelesaikan masalah dengan sebaik-baiknya," terang Guru.

Kata guru, mungkin terlihat sulit, berat, dan tidak mungkin, tapi bagi Allah itu semua hal amat sangat kecil. Lagipula Allah sudah menegaskan bahwa "Inna ma'al 'usri Yusro." Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. 

Bukan, Allah gak bilang setelah, tapi bersama. Bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, kata Guru, hal lain yang perlu ditanamkan dalam diri adalah pasti ada kemudahan ketika datang kesulitan. Ada kemudahan pada sesuatu yang saya anggap sulit. Ini berarti, akan selalu ada kemudahan dan jalan keluar dari segala  persoalan yang saya hadapi. Seberat dan sebesar apapun permasalahannya, pasti ada kemudahan dan jalan keluarnya.

Saya kira Guru menyudahi sementara nasihatnya, ternyata tidak. Beliau lanjut mengingatkan soal tawakal. Itu setelah upaya optimal. Setelah usaha jungkir balik. Setelah berdarah-darah. Setelah proses yang dahsyat. Barulah tawakal kepada Allah. 

"Kamu tahu hakikatnya tawakal?" Tanya Guru.

Bersambung...

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru, 18022022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)