Menghadapi Masalah Ala Nabi Musa
Guru saya lalu cerita tentang nabi Musa dan jamaahnya yang dikejar Fir'aun dan pasukannya. Nabi Musa dan jamaah terpojok. Di depan mereka adalah lautan. Sementara di belakang mereka Fir'aun dan pasukannya. Tidak ada jalan lagi. Mentok. "Maju kena, mundur kena," ucap guru saya.
"Kamu gitu juga kan? Kalau ada masalah, apalagi masalahnya terlihat besar dan terasa berat. Sepertinya tidak ada jalan keluar. Sana sini mentok. Gitu kan? Tanya Guru saya. Lagi-lagi saya hanya diam.
Ya, saat beliau bertanya seperti itu, saya hanya membayangkan sikap pasrah karena tidak tahu mesti gimana lagi. Tidak tau mau kemana lagi. Bahkan mungkin: "terserah dah, gue mau diapain. Dipenjara. Ditonjokin. Bahkan dibunuh sekalipun, gue udah pasrah" atau "apa gue jual ginjal aja ya kayak orang-orang yang di berita", atau "hidup gue kok kayaknya susah dan gak berguna banget ya, apa sekalian aja gue akhirin hidup gue", akan terbersit di pikiran saya.
"Tahu gak apa yang dilakukan Nabi Musa?" Tanya guru saya. Kali ini saya pun menjawab bahwa nabi Musa memukul tongkatnya ke laut.
"Tapi, itu kan nabi Musa. Itu salah satu mukjizat yang dikasih Allah ke nabi Musa," ucap saya. Guru saya hanya senyum, lalu kembali mengajak saya membayangkan dan melihat Nabi Musa sebagai manusia biasa.
"Ketika Allah nyuruh nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut, sebagai manusia biasa, sepertinya logika Musa pun akan menolaknya. Sebab yang dibutuhkan nabi Musa adalah jalan keluar. Adalah jalan yang bisa ia lalui untuk kabur dari kejaran Fir'aun, kan?" Terang guru saya.
Saya pun mengiyakan. Siapapun, manusia manapun dan manusia jenis apapun, selama ia punya logika, pasti akan menolak dan mikir lalu bilang: "yang gue butuh itu jalan. Bukan malah disuruh mukul tongkat." Seperti kebanyakan orang yang seringkali ketika ada masalah akan bilang: "yang gue butuh itu jalan keluar. Yang gue butuh itu solusi. Yang gue butuh itu uang. Dan seterusnya."
"Tapi apa yang terjadi? Ketika akhirnya Musa melawan logikanya sendiri dan mengikuti perintah Allah, keajaiban terjadi. Laut terbelah. Memberi jalan kepada nabi Musa. Allah memberi sesuatu yang benar-benar dibutuhkan. Itu artinya apa?" tegas guru saya. Lagi-lagi saya hanya diam. Tapi pikiran saya makin terbuka.
Guru saya pun kemudian dengan tegas menjelaskan bahwa: ketika ada masalah kembali pada Allah. Deketin lagi Allah. Dan ini lagi-lagi terkait keimanan. "Tapi, inget, bukan berarti diam dan pasrah!" Tegas beliau lalu menjelaskan bahwa solusi itu sangat amat dekat dengan diri sendiri.
"Seperti tongkat yang dipegang nabi Musa," terang beliau.
Untuk nabi Musa solusinya ada di tangannya. Pun begitu dengan siapapun yang punya masalah. "Termasuk kamu!" Deg, lagi-lagi saya seperti ditonjok.
Misalnya saya punya hutang ratusan juta atau miliaran. Kisah nabi Musa seakan ngasih tahu bahwa solusi itu ada di diri kita. Bisa dengan melihat kembali potensi dan bakat yang ada dalam diri lalu mengasahnya. Bisa dengan keterampilan tangan kita membuat sesuatu. Bisa dengan kemampuan kita membicarakan baik-baik masalah yang kita hadapi dengan orang yang bersangkutan. "Atau apapun, yang intinya kamu bisa lakukan dan kerjakan," tegas guru saya.
Ya, bedanya mungkin di waktu. Karena Musa adalah seorang nabi, saat itu juga Allah kasih jalan keluar. Tapi kita yang manusia biasa, maka hal keluarnya butuh waktu. Ada yang cepat dan ada yang lambat. "Yang terpenting adalah solusi itu ada di diri kamu sendiri," ucap guru saya.
Dan itu berarti, yang harus saya lakukan adalah terus sabar dan terus ikhtiyar melakukan apapun yang saya bisa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
"Kamu tahu gak, kisah nabi Musa ini pun ngajarin kamu bahwa seringkali jalan keluar dan solusi yang kamu butuhkan justeru dari hal yang awalnya kamu kira gak masuk logika. Itulah yang dibilang rejeki dan karunia Allah buat setiap orang yang datangnya dari arah yang tidak diduga-duga, dari arah yang tidak pernah dikira," terang guru saya yang kemudian cerita soal bagaimana agar saya dan setiap orang mendapat rejeki dari arah yang tidak pernah diduga-duga.
Saya pun langsung menyebut takwa. Guru saya hanya senyum. "Ya, betul. Tapi takwa yang bagaimana?" Tanya beliau. Saya pun kembali diam dan beliau mulai menjelaskan.
Bersambung
Allahu a'lam bisshowab
Sawangan Baru, 11022022
Komentar
Posting Komentar