Menghadapi Masalah Ala Bunda Siti Hajar dan Nabi Ismail (Keajaiban Masalah)

Guru saya mengingatkan cerita tentang Siti Hajar dan Nabi Ismail bayi saat ditinggal Nabi Ibrahim. "Bisa dibayangkan gimana keadaan Siti Hajar? Seorang perempuan. Ditinggal suami (walau sementara) di padang tandus. Membawa bayi?" Ucap guru saya. Saya hanya mendengarkan lalu coba membayangkan.

Beliau lalu melanjutkan cerita, bekal makanan yang dibawa Siti Hajar, habis. Nabi Ismail yang masih bayi terus merengek, nangis karena kelaparan. Asi Bunda Siti Hajar tak lagi bisa keluar, karena beliau pun belum makan. 

Perempuan manapun, bisa dipastikan akan panik. Mungkin sedih. Atau mungkin, kalau di zaman sekarang, akan curhat di medsos. Atau mungkin, malah mengutuk dan mencaci sang suami. Dan bisa saja, ia pergi dari suaminya. 

Tapi, Bunda Siti Hajar, tidak begitu. Ia mendasari hidupnya dengan keimanan. Dan sangat meyakini bahwa semua yang terjadi pada dirinya atas kehendak Allah.

Lalu apakah Siti Hajar diam saja ketika mendapati kesulitan dan masalah dengan dalih beriman dan meyakini bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah? Apakah Bunda Siti Hajar malah meratapi nasib tanpa melakukan apapun? Apakah Siti Hajar, mengutuk suaminya, Nabi Ibrahim?

"Enggak!" Tegas guru saya. Setelah beriman, mendasari hidupnya dengan keimanan, menanamkan keimanan yang kokoh dalam dirinya, Bunda Siti Hajar tidak berdiam diri meratapi nasib. 

Bunda Siri Hajar tahu pasti apa yang dibutuhkan, yaitu makanan atau minuman. Ya, Siti Hajar seakan ingin bercerita kepada kita, saat ada masalah, yaitu: cari tahu apa yang dibutuhkan. Cari tahu apa sebenarnya masalahnya.

Kemudian, setelah tahu apa masalahnya dan apa yang dibutuhkan, apakah Siti Hajar diam karena secara logika ia tahu sedang berada di daerah yang tandus dan tidak ada seorang pun di sana? 

Siapapun, bisa dipastikan, logikanya akan mengatakan semua itu tidak mungkin. Gak mungkin akan ada makanan di daerah yang tandus itu.

Termasuk ketika kita punya masalah yang sangat amat berat. Misalnya hutang ratusan juta atau bahkan miliaran. Atau masalah lain yang kalau dilihat dan memakai logika akan dipastikan adalah sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin.

Apa yang dilakukan Siti Hajar saat menghadapi sesuatu yang sangat amat berat dan tidak mungkin tersebut? 

Setelah melandasi diri dengan keimanan, lalu mencari tahu apa yang dibutuhkan, Siti Hajar tidak berdiam diri, tidak menyerah dan tidak memilih kalah. Siti Hajar bergerak. Terus bergerak. Terus berjalan mencari makanan atau minuman walau secara logika ia tidak akan mungkin menemukan makanan. 

Ketika memutuskan untuk bergerak, Siti Hajar sadar dan tahu betul, ia tidak akan sanggup untuk menggendong lalu membawa serta nabi Ismail. Sebab dirinya pun sudah begitu lemas. Sudah sangat lapar. Sangat haus. Karenanya, ia memutuskan untuk meninggalkan nabi Ismail sendirian di Shofa. 

"Siti Hajar lagi-lagi seperti ingin bilang: kalau punya masalah, dasari dengan iman, cari tahu yang dibutuhkan, dan tinggalkan sementara masalah itu. Tinggalkan beban itu, sementara kamu mencari yang dibutuhkan," terang Guru saya. "Nabi Ismail bayi, seperti masalah yang tengah kamu hadapi. Kalau kamu bawa terus, sementara kamu sudah tidak kuat, yang ada kamu akan semakin terbebani. Tapi ingat, bukan berarti kamu lari dari masalah. Fokuslah pada solusi, bukan masalah," lanjut Guru saya.

Ya, Siti Hajar yang tahu pasti masalahnya apa, yaitu dirinya dan Ismail bayi tengah kelaparan. Kalau hanya dirinya yang lapar dan haus, mungkin bebannya tidak terlalu berat. Yang buat makin berat adalah, adanya tanggungjawab diri terhadap anak yang terus menangis karena lapar dan haus.

Dan sepertinya, hal ini pun bisa dialami oleh siapapun yang punya tanggungan, seperti anak, istri, orang tua, saudara, atau siapapun yang punya tanggungjawab untuk dipenuhi kebutuhannya.

Siti Hajar seakan ngasih tahu: simpan dulu, lepaskan dulu sementara apapun yang memberatkanmu atau sesuatu yang nambah bebanmu. Sekali lagi, bukan berarti kamu lari dari tanggung jawab. Bukan berarti kamu lari dari masalah. "Ini soal psikologis, pola pikir dan mental kamu," tegas guru saya. Saya terus diam. Tapi pikiran saya makin terbuka.

"Kembali ke Siti Hajar," lanjut guru saya yang kembali menegaskan bahwa yang dilakukan Siti Hajar adalah terus bergerak walau logikanya dibayangi kata mustahil dan tidak mungkin. 

Siti Hajar jalan, tentu saja dengan sekuat dan secepat yang ia bisa dengan tubuh lemas dan lapar, dari Shofa hingga ke sampai ke Marwah. Tiba di Marwah, ia kembali lagi ke Shofa untuk melihat anaknya.

Pun mestinya begitu dengan siapapun yang punya masalah. Cari solusi, fokus pada yang dibutuhkan, kembali lagi lihat masalahnya. 

Setelah tiba di Shofa, ia melihat nabi Ismail masih menangis. Ia melihat masalah masih ada. Ia kembali jalan ke Shofa untuk cari solusi. Untuk cari makanan. 

Siti Hajar bolak balik dari Shofa-marwah hingga tujuh kali. Dan sepertinya Itulah usaha optimal dan maksimal yang bisa dilakukan oleh Siti Hajar. Mungkin, di situ juga puncak letih dan puncak lapar. Dan sepertinya setelah sekian usaha dan gerak mencari makanan. Siti Hajar pasrah. Setelah tujuh kali ia sampai di Marwah, ia memutuskan kembali ke Shofa dengan sikap pasrah.

Siti Hajar telah berjuang dengan usaha yang optimal. Sangat optimal. Ia memutuskan kembali ke Shofa dengan sisa tenaga dan sikap pasrah. Tapi keimanannya tetap terjaga. Di sinilah Allah memberikan Kuasanya. Makanan dan minuman yang selama ini Situ Hajar cari, malah muncul dari tanah di bawah kaki Nabi Ismail yang hingga saat ini masih ada, yaitu Zamzam.

Guru saya menjelaskan setidaknya ada beberapa pelajaran yang bisa diambil ketika Siti Hajar kembali ke Shofa untuk yang ketujuh Kalinya lalu menemukan air zamzam di bawah kaki nabi Ismail. 

Pertama, solusi dan jalan keluar dari masalah yang dihadapi mesti melewati upaya dan usaha yang optimal. Kedua, ketika ada masalah yang sangat berat atau malah tidak mungkin ada jalan keluarnya, Siti Hajar hanya menyontohkan terus bergerak dan terus berusaha. Ketiga, sangat amat mungkin, justeru solusi dan jalan keluar dari masalah yang dihadapi justeru ada di dekat kita. Bahkan mungkin sangat dekat. Keempat, sepertinya pelajaran untuk orang tua, bisa jadi solusi dari masalah yang dihadapi justeru datang dari anaknya sendiri. Kelima, sebagian orang tua mungkin melihat anaknya adalah beban. Tapi sebagai orang tua tugas terpenting adalah terus berupaya mencari jalan keluar. Dan bisa jadi, solusinya justeru ada di anaknya sendiri. 

Deg, lagi-lagi saya seperti "ditonjok" berkali-kali. Wajah saya makin menunduk. Mata saya terpejam. Kulub menepuk tiga kali punggung saya. Saya membuka mata. Guru saya hanya tersenyum. Saya lihat, Kulub pun tersenyum.

Saya menarik nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya dalam sekali hempasan yang kuat. Saya coba untuk senyum. Saya lihat guru saya menyeruput kopi. 

"Kamu tahu nabi Musa?" Tanya guru saya. Tanpa menunggu jawaban saya, beliau pun cerita tentang bagaimana nabi Musa menghadapi masalahnya. Nabi Musa dan jamaahnya yang tengah berada antara hidup dan mati. Di belakang mereka pasukan Fir'aun, sementara di depan mereka lautan. Tidak ada jalan lagi untuk lari dari kejaran Fir'aun. Seakan-akan tidak ada solusi dan jalan keluar dari masalah. "Nabi Musa pun telah menyontohkan bagaimana menghadapi masalah", tegas Guru saya.

Bersambung...

Allahu a'lam bisshowab

Sawangan Baru, 11022022




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)