Catatan Pertama tentang Kisah-Kisah Banser yang Mendebarkan

"Assalamu'alaikum... Pakeeeet!" Sayup-sayup suara dari luar membangunkan siang saya tidur. Eh, tidur siang saya. Bukan, bukan karena ingin melaksanakan qolullah, tapi ya, beginilah, kapanpun saya mau, ya langsung tidur. 

Seperti siang ini, setelah merasakan makan paling nikmat, makan setelah solat Jumat, tak berapa lama mata saya ngantuk. Lihat jadwal dan agenda di kalender; kosong melompong. Tak ada kegiatan atau janji apapun setahun ke depan. 

Meski ngantuk, ritual merokok setelah makan, mesti dilakukan. Ini perkara kenikmatan yang tak boleh dilewatkan. Tuntas dua batang rokok, saya ke kamar. Rebahan di kasur. Perlahan, tertidur. Sayangnya, baru beberapa saat tidur, suara orang memberi salam paket, membangunkan. "Duh, siapa si yang belanja online?" Batin saya yang langsung mengarah ke Umi dan adik perempuan saya. 

"Dengan M Irfan Kurniawan?" Ucap laki-laki yang masih memakai helm dan jaket sambil melihat sebuah nama pada paket di tangan kanannya.

"Ya saya sendiri," jawab saya masih dengan mata yang belum utuh terbuka.

Laki-laki di depan rumah langsung menyerahkan paket. "Maaf ya ganggu tidurnya, Kiayi, assalamu'alaikum," ucapnya yang langsung pergi. Mungkin ia melihat saya yang masih sarungan, dan ada beberapa tumpuk buku di meja di depan rumah yang belum saya rapikan. 

Mendengarnya, saya pun langsung timpali dengan keras: "saya gak punya bau Kiayi. Waalaikum salam." 

Saya langsung duduk di bangku bambu di depan rumah. Sambil mengingat-ingat kapan saya pernah belanja online. Aplikasi marketplace aja gak ada di HP. Saya lebih suka belanja offline, walau setahun sekali: menjelang lebaran. 

"Oh iya, Gus 'Dobol' Nadhief." 

Saya langsung teringat beberapa hari yang lalu pesan buku yang ia tulis, dan menjelang sore ini, kesal karen tidur saya terganggu, Alhamdulillah berganti senyum dan ketawa-ketiwi sendirian. 

Pasalnya, sejak pertama buka Kisah-Kisah Banser yang Mendebarkan, saya langsung senyam-senyum sendiri. Malah terkadang sampe ketawa cekikikan. Dan tak sadar, buku ini saya baca sampai tamat sekali duduk dengan ditemani dua batang rokok. Tak ketinggalan segelas kopi. 

Selain bikin gila, buku ini nambah pahala saya, karena senyam-senyum itu sedekah kan? Meski senyam-senyum sendirian. Ditambah, bayangan sosok penulisnya yang memenuhi benak saya, makin menambah lucu suasana.

Ya, Nadhief Shidqi adalah teman seangkatan saat saya mondok di Al-Amien Prenduan, Madura, dulu.

Saat nyantri, Gus yang satu ini, memang sudah mahir nulis. Cerpennya saat itu pernah dimuat di majalah Horison. 

Sungguh, ia bukan penulis kaleng-kaleng. Meski badannya sampai saat ini masih setipis kaleng. Mungkin, karena ini juga,  salah satu tulisannya di buku ini pun mencantumkan kata kaleng. Kaleng khong Guan: apapun isinya.

Meski berbentuk humor, sebenarnya buku ini sarat makna dan pelajaran. Dan Saya selalu salut dan hormat pada mereka yang bisa memberi tawa saat nongkrong dan ngobrol bareng. Termasuk mereka yang bisa nulis humor. Terimalah hormat saya Gus Nadhief.

Pasalnya, saya benar-benar tak bisa seperti itu. Kalaupun bisa, paling banter jadi sasaran dan bahan tawa.  

Misalnya soal rambut saya yang bergelombang tapi lebih Deket ke Tsunami kalau lagi panjang. Atau malah seperti temen saya yang bilang: "lu mesti jauh-jauh dari Aer mendidih, khawatir rambut lu yang di rebus." 

Pernah juga, warna kulit saya menjadi sasaran. "Pang, lu sering ke Bali Ama ke Florida ya?" Tanya temen yang saya timpali dengan tidak pernah. 

"Hanya empat kali saya pernah menapakkan kaki di Bali," jawab saya.

"Oh kirain sering, soalnya lu kayak orang yang sering berjemur di pantai," timpalnya. "Lagian, yang mesti dijemur mah cucian, bukan kulit," sambut temen yang lain. 

Lagi-lagi saya tak berkutik. Ingin rasanya menimpali tidak hanya dengan tawa atau menahan dongkol di dada. Tapi, apalah daya, kemampuan komunikasi saya begitu lemah. Apalagi soal humor, lelucon, dan kata-kata yang bisa mencairkan suasana dengan tawa.

Karena sadar akan kekurangan itu, saya pun mencoba mencari cara agar bisa buat orang lain tertawa saat bersama. 

saya mulai cari-cari bahan bacaan. Hingga saya menemukan satu buku yang diberi kata pengantar oleh Gusdur (Allahu yarhamhu). Buku itu berjudul Mati Ketawa Cara Rusia. 

Setelah membacanya, saya berada pada satu kesimpulan sementara. Bahwa, mereka yang bisa membuat humor, lelucon, atau hal lucu adalah mereka yang cerdas. Gus Dobol, ente memang cerdas!

Kedua, humor adalah keterampilan yang bisa dilatih atau berkembang mengikuti pengalaman dan kebiasaan. Semakin sering, akan semakin lihai. "Berarti, saya masih punya peluang."

Sayangnya saya makin terpuruk. Awalnya, saya banyak senyum, bahkan sesekali tertawa dengan suara, saat baca buku Mati Tertawa ala Rusia. 

Tapi, tetap tak bisa mengamalkan apa yang ada pada buku tersebut. Saya yang terlalu bodoh atau buku ini yang tak bisa menjangkau saya, entah. 

Terlebih, kata pengantar di buku tersebut malah bikin saya mikir. Ya, Kata pengantar yang dibuat Gusdur pada buku tersebut malah bikin saya mikir. 

Alhamdulillahnya, di paragraf akhir pada kata pengantar di Buku tersebut ada hal yang bikin saya tertawa dan punya bahan balasan bagi mereka, terutama mereka yang pernah saya pinjam bukunya. 

Gusdur bilang: orang yang meminjamkan buku adalah orang bodoh, tetapi mengembalikan buku pinjaman adalah perbuatan gila. 

Di buku Kisah-Kisah Banser yang Mendebarkan karya Gus Nadhief Shidqi ini pun hampir serupa. Gus Yaqut Cholil Qoumas pun ciamik menyelipkan humor pada kata pengantarnya untuk buku ini. 

"Banser itu berani mati. Meski takut istri," tulisnya. Pun kalimat pamungkas yang menjadi penutup Gus Yaqut yang saat ini menjadi menteri agama pun menulis: "saran saya, sebelum melanjutkan baca, hiruplah dulu aroma kertas buku ini. Nikmat, bukan?"

Edan, kata pengantarnya saja sudah menampakkan NU banget. Malah, di halaman sebelum daftar isi, yang konon katanya halaman ini berisi tentang semboyan atau motto hidup, Gus Dobol nulis: "Hidup itu lucu. Yang tidak lucu hanyalah tafsiran-tafsirannya. Hidup yang tak lucu tak pantas untuk dirayakan."

Deg, lagi-lagi saya seperti mendapat tonjokan. Dan saya semakin mengakui kejeniusan Gus Dobol dalam memberi pelajaran. "Terimakasih Gus, pelajarannya, gue yakin ini berkah."

Ya, membaca buku serta tulisan humor pun saya malah mikir. Padahal tertawa itu spontanitas. Tak perlu berpikir lebih. Ketika ada hal lucu, ya tertawa aja. 

Sepertinya syaraf humor saya memang perlu dicari letaknya. Jangan-jangan waktu ruh saya ditiup saat di perut Umi, Tuhan tengah serius. 

Atau mungkin ayah dan umi saya terlalu serius saat berproses menjadi wasilah terciptanya saya. Tak ada canda dan gurau. Penuh konsentrasi. Hanya ada tegang dan cucuran keringat. 

Ah, sudahlah, saya tak mau berpikir lebih jauh lagi. Saat ini, pikiran saya justeru tersentil oleh bahasan Gusdur tentang humor. 

Gusdur bilang ada beberapa unsur humor yang perlu diperhatikan. Pertama unsur surprise. Kejutan. Di dalam humor selalu saja ada unsur kejutan. Ada hal tak biasa. 

Misalnya cerita tentang seorang pemimpi kejam yang tercebur ke sungai lalu terseret arus. Hingga ia ditolong oleh seseorang. Pemimpin itu berterimakasih lalu menawarkan sesuatu kepada si penolong. Unsur kejutannya adalah saat si penolong bilang, hadiah yang diinginkan adalah agar si pemimpin tak bilang ke siapapun bahwa dia yang menolong. 

Dalam buku karya Gus Dobol ini pun, tersaji hal demikian, bahkan hampir semuanya memiliki kejutan. Kejutan yang bikin saya senyam-senyum dan ketawa sendiri.

Hal Kedua, menurut Guadur, Humor memiliki unsur sindiran halus. Sindiran halus ini laiknya "mengajukan kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tetapi tanpa rasa kemarahan atau kepahitan hati," terang Gusdur. 

Nah, hal ini pun langsung saya rasakan. Buku Gus Dobol ini benar-benar mengkritik diri saya yang masih mencari letak syaraf humornya di mana.

"Hal yang perlu diperhatikan," lanjut Gusdur, adalah kondisi psikologis yang intens dan emosional, sehingga objektivitas sikap terhadap hal yang dikritik itu menghilang. Samar. 

Seperti unsur kejutan pada jawaban sang penolong kepada si pemimpin tadi. Ada unsur kritik dan sindiran halus. 

Unsur ketiga adalah adalah unsur rasionalitas. Humor mesti masuk akal. Rasional. Apa yang disampaikan memang diterima akal. Dan unsur terakhir, atau unsur keempat adalah situasi yang ditampilkan. Situasi yang menjadi bahan humor tersebut. 

Dan membaca buku Kisah-Kisah Banser yang Mendebarkan karya Gus Nadhif Shidqi ini, saya langsung bilang: "semua unsur itu ada di sini."

Pendapat Gusdur soal unsur humor itu sering membuat saya makin berpikir lalu berkata: "Edan! Bikin humor aja, setidaknya mesti menguasai keempat unsur tadi. Bukannya tawa, yang ada malah merengut saya dibuatnya." 

Karenanya sungguh, saya salut dan hormat pada mereka yang bisa buat humor. Termasuk untuk Gua Nadhief. 

Ingin rasanya saya terus bersama mereka (termasuk Gus Nadhief) agar bisa belajar dan memperoleh banyak bahan untuk bikin tertawa. 

Tapi, sepertinya dompet saya belum mampu untuk menjadikan mereka anak asuh agar mau tinggal bersama. 

Atau saya pun masih normal untuk menjadikan mereka pasangan hidup kecuali mereka perempuan. Perawan atau janda, tak masalah. 

Etapi, dalam salah satu ceritanya, Gus Nadhief bilang bahwa Banser biasa tidur dengan pasangan orang lain. Kira-kira Gus Nadhief, gimana ya?

Ah, saya membayangkan, jika punya pasangan yang penuh humor. Sepertinya di malam pertama dan malam-malam setelahnya tak ada tegang-tegangan. Seperti Buku Gus Dobol ini, pun di awali dengan kisah penganten baru bernama Ndan Basyir.

 Saya membayangkan Hanya ada canda dan tawa lalu bahagia. Meski kehidupan setelahnya begitu pahit dan sengsara sebab kami berdua hanya tertawa.

Tapi, Gusdur bilang: "rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan." 

Lagi-lagi saya malah berpikir; jangan-jangan mereka yang banyak tawa dan bercanda, justeru dibalik itu semua menyimpan duka lara yang tak biasa. Lalu mereka membuat humor untuk meredam atau setidaknya menutupi itu semua. Gus Nadhief, gak kayak gitu kan?

Humor memang sepertinya bisa menjadi obat dari pahitnya hidup. Saat tertawa, seperti tak ada masalah. Pikiran yang penuh beban seperti terlupa. dan saya mengamini ini. 

Sebab, ketika kumpul bareng teman-teman, lalu ada yang melontarkan humor. Saya pun larut dalam suka. Tawa meredupkan segala lara. Masalah apapun seperti tiada.

Sepertinya, saya memang mesti belajar untuk menertawakan diri sendiri. Gusdur bilang: " kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain."

Kalimat Gusdur ini kembali membuat saya mengernyitkan dahi. Saya mesti berpikir untuk memahaminya. Dan sampai saya menulis ini pun saya belum cukup umur untuk melakukannya. 

Gusdur hanya bilang bahwa kepahitan akibat kesengsaraan, mesti diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup.

Saya benar-benar tak paham. Saya hanya pahami kata kuncinya: pertama, kepahitan dan kesengsaraan (masalah). Kedua, mesti diimbangi (sikap). Ketiga, pengetahuan nyata (ilmu, pengetahuan, kesadaran, sekaligus syarat). Keempat, keharusan menerima (sikap). Kelima, tanpa patahnya semangat untuk hidup (sikap sekaligus syarat). 

Ketika seseorang melakukan semua itu, di situlah letak kearifan yang tersublimasi pada humor. Jadi, bisa dibilang, lewat humor kita bisa belajar Arif dan bijak menyikapi segala persoalan, masalah, beban serta penatnya kehidupan, hingga sengsaranya.

Kemampuan (humor) seperti itu menjadi salah satu cara untuk seseorang menjadi arif dan bijak. Dan itu mesti diawali dengan mengenal diri sendiri. Sebab, kata Gusdur, orang harus mengenal diri sendiri sebelum mampu melihat yang aneh-aneh dalam perilaku diri sendiri itu. 

Ya, lagi-lagi saya malah dibuat merenung, melihat diri sendiri, lalu bertanya: apakah saya sudah benar-benar mengenal diri saya sendiri? Bagaimana saya bisa membuat humor dan menertawakan diri sendiri lewat hal-hal aneh dalam diri ini, kalau saya belum mengenal diri saya sendiri?

Gusdur sedikit kasih kata kunci, yaitu watak, perilaku dan kegemaran, serta kekurangan diri sendiri. Oh Tuhan, lagi-lagi saya dibuat berpikir. Dan saya mendapat jawab sementara: saya ini keras kepala. Dan sepertinya ini yang membuat saya sulit untuk membuat humor dan canda saat kumpul dengan teman-teman.

Kemampuan mengenal diri sendiri, di antaranya dengan mengenal kekurangan diri sendiri, menjadi modal untuk mengenal orang lain. Tentu saja disertai pengertian akan nasib, keadaan tak berdaya, menghadapi kenyataan. 

Gusdur memberi contoh soal cerita orang San Francisco yang sebenarnya ingin menyatakan betapa luas wilayahnya hingga butuh tiga hari perjalanan kereta api dari ujung ke ujung, tapi malah direspon oleh orang Malaysia dengan bilang begini: "Di Negeri saya, kereta api juga sering rusak berhari-hari seperti di negeri Anda."

Termasuk cerita seorang anak kecil Indonesia yang bertemu anak orang kulit putih (bule) di suatu pasar. Anak Indonesia itu berkata kepada ayahnya: "Yah, itu anak kecil-kecil kok sudah berbahasa Inggris?"

Humor, kata Gusdur, bisa terjadi sekaligus mencatat ketika manusia berusaha menjadi makhluk komunikatif kepada orang lain. 

Gusdur memberi contoh cerita berikut: seorang Arab pergi ke satu restoran Perancis. Sang pelayan menghampiri, lalu bilang "Bonjour, Monsier." Itu untuk memberi penghormatan kepad setiap tamu. Orang Arab itu menimpali dengan: "Ana Abbas Hasan," karena mengira tengah ditanya soal nama. 

Siang harinya, orang Arab tersebut kembali makan di situ. Percakapan seperti tadi pagi pun terjadi lagi. Hingga datang malam. Orang Arab itu makan di tempat yang sama. Karena ingin menghormati sang pelayan, ia pun menegur lebih dulu dengan "Bonjour, Monsieur." Dan pelayan itu menimpali dengan: "Ana Abbas Hasan."

Humor pun, lanjut Gusdur, bisa terekam akibat perbuatan manusia dalam hidupnya termasuk akibat atas dirinya sendiri. 

Gusdur cerita soal seorang wartawan yang melihat seorang tua di pegunungan yang begitu kuat meneguk minuman keras. 

Sang wartawan penasaran akan kegemaran lelaki tua tersebut. Ia pun menanyakannya. Lelaki tua itu bilang: "hobi saya minum. Paling sedikit dua botol Vodka tiap hari, lalu maen cewek di mana-mana." 

Sang wartawan makin penasaran apa yang membuat lelaki tua itu mampu begitu. Ia pun bertanya soal umur lelaki tua itu. Sang wartawan kaget setelah lelaki tua itu menjawab: "Tiga puluh dua tahun."

Ya, Humor memang ajaib. Dan sampai detik ini, saat saya menulis ini, saya masih dibuat berpikir. 

Terlebih, ketika Gusdur bilang bahwa humor adalah senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup.  Dengannya seseorang bisa menjaga jarak dari keadaan yang dinilai tidak benar atau tidak beres. Di antaranya adalah sikap pretensi. Pura-pura.

Bagi Gusdur, sikap pretensi justeru akan selalu menampakkan wajah ketololan, apalagi kalau dilakukan dengan cara tolol pula.

Sepertinya Gusdur tidak suka dengan kepura-puraan. Tidak suka dengan sikap palsu. Hingga Gusdur mengajukan kritik tajam untuk sikap prentensius ini. 

Saya jadi teringat tentang kritiknya Gusdur kepada DPR yang bilang laiknya TK (Taman kanak-kanak). Dan ini dipertegas dengan pernyataan Gusdur yang bilang bahwa pretensi yang paling banyak terdapat justeru di bidang politik. 

Salah satu sasaran empuk dan bisa jadi bahan humor (kritik keras) menurut Gusdur adalah sifat egoistis para politisi. Tetapi, untuk tidak terlalu menjatuhkan martabat kaum politisi, Gusdur menyarankan, ada baiknya dikemukakan lelucon tentang kegoblokan orang dan profesi lain. Di sinilah kelihaian Gusdur.

Ah, saya kok makin merasa tolol dan goblok ya. Sepertinya saya mesti menambah doa: Ya Tuhan, tak perlu garis lucu cukup tunjukan saya humor yang lurus.

Sawangan Baru,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)