Pulau Tidung (Catatan Perjalanan, bag-5)






Setelah menapakan kaki di pulau Tidung, rombongan Rihlah PP Ittihadussyubbaan dipandu menuju penginapan yang letaknya hanya sekitar lima puluh langkah lebih. 

Enam kamar disewa. Dari sini, pemandangan dan angin laut bisa langsung terasa, karena letaknya di bibir pantai. Sungguh, sangat memanjakan mata. 

Tanggul yang cukup besar dibangun hampir sepanjang pulau di bagian selatan yang bisa ditapaki oleh setiap pengunjung. Beberapa meter dari tanggul ini pun ada tanggul berupa batu beton yang berlubang-lubang, tapi tidak penuh mengelilingi pulau. Seperti garis putus-putus. Sepertinya itu untuk akses perahu keluar dan masuk menepi ke bibir pantai.

Sungguh, airnya sangat bening. Bebatuan di dasarnya bisa terlihat, pun dengan Ikan-ikan kecil aneka rupa dan warna. Keinginan untuk menjelajahi pulau saya tunda, sebab perut sudah memanggil dan berbisik: lapar.

Alhamdulillah, tak lama, ada instruksi untuk kumpul di saung depan penginapan. Ternyata, tak hanya Umi saja yang bawa bekal, saudara yang lain pun bawa bekal makannya masing-masing. Walhasil, jadilah siang itu kami makan bersama. Selain mengenyangkan, juga menyenangkan. 

"Jangan ambil yang sulit, Islam itu nyediain yang mudah dan gampang, sholat dulu baru makan," ucap mang dadin setelah ada salah satu rombongan yang bilang mau sholat Johor terlebih dahulu. Ah, saya jadi ingat Gusmus yang hampir sama bilang seperti ini untuk perihal solat atau makan dulu. Cerita ini ada di NU Online. (Gusmus mengutip hadits. Mudahan-mudahan nanti saya bisa cantumkan haditsnya di sini).

Perut kenyang. Sholat telah tunai. Angin laut yang semeriwing membuat mata saya ngantuk. Ternyata, ini tidak hanya saya saja, hampir semua peserta rihlah masuk kamar. Dan sepertinya tidur siang. Ternyata, di group sudah ada panduan yang membebaskan semuanya untuk menikmati liburan. 

"Yang mau bareng, nanti sore kita ke jembatan cinta," ucap salah satu peserta.

"Kita mah udah di jembatan cinta nih, sepedaan," balas yang lain lalu menunjukkan foto. 

Saya sendiri, memilih untuk ngopi. Alhamdulillahnya, Bi Tuti, istri Mang Dadin, menyiapkan semuanya, mulai kopi, teh, gula, susu, hingga mie instan yang disimpan di sebuah box besar dan itu diletakkan di depan salah satu kamar. Siapapun yang mau, tinggal ambil. Ah, betapa nikmatnya hidup kalau begini: apapun yang dimau, langsung tersedia. 

Saya memutuskan untuk menelusuri pulau yang menurut Wikipedia luasnya mencapai 1,07 km² ini. Sambil ngopi, saya coba dekati salah seorang yang saya yakini penduduk pulau. 

"Jembatan Cinta adanya di sebelah timur, kalau mau menikmati sunset, ada saung sunset dan pantai cemara kasih di sebelah barat," terang laki-laki yang sudah punya empat cucu dan asli pulau Tidung ini. 

Darinya saya dapat informasi tentang tokoh yang dikeramatkan di pulau ini, yaitu Raja Pandita yang bergelar Pangeran Kaca. Makamnya ada di pulau Tidung besar, tidak jauh dari tempat kami menginap. Satu lagi ada nama Panglima Hitam, makamnya ada di Pulau Tidung Kecil. 

Saya langsung mengirimkan al-fatihah untuk keduanya. Ya, saya terbiasa melakukan ini ketika sampai di manapun. Sebab, saya meyakini di setiap daerah itu punya "paku bumi" salah satunya ya leluhur di wilayah tersebut. Selain untuk menghormati, apa yang saya lakukan itu, bentuk lain dari sowan. 

Selain sepeda, ada juga bentor (becak motor) yang bisa disewa oleh setiap pengunjung kemanapun yang dimau di pulau ini. Berhubung saya ingin lebih merasakan, maka saya memilih jalan kaki menuju bagian timur pulau yang ada Jembatan Cinta yang masyhur.

Ya, saya jalan kaki menuju jembatan cinta. Paving blok tersusun rapi sepanjang jalan. Di kiri kanan, selain rumah penduduk, berbagai toko, warung, dan penginapan pun bisa ditemui. Layaknya di tempat yang lain. Sayangnya, pandemi menghantam pulau ini. 

"Sejak pandemi, sangat sepi di sini, bang, banyak toko dan penyewaan sepeda yang tutup," terang salah satu warga yang saya beli es kelapa di warungnya yang masih buka. 

"Biasanya rame, apalagi weekend. Bisa penuh semua penginapan," lanjutnya. Saya hanya ngangguk lalu berterimakasih dan lanjut jalan kaki.

Kelurahan Pulo Tidung saya lewati,  puskesmas juga. Saya lihat ada ATM BJB dan BNI, ekspedisi pengiriman barang pun ada di pulau ini. Saya masih jalan santai ke arah timur. Tentu sambil merokok. Kemudian ada penangkaran ikan air laut. Lanjut lagi ada Polsek, SMKN 61. Nah, di ujung SMKN inilah say lihat gapura bertuliskan Selamat datang di jembatan Cinta.

Bagi yang tak biasa jalan kaki, lebih baik sewa sepeda atau bentor. Sebab, dari penginapan saya di bagian tengah, jaraknya lumayan. Terhitung empat puluh menit lebih, saya baru tiba di gapura jembatan cinta. 

Bersambung

Sawangan Baru, 14012022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan ++ tentang ++ ( melihat: Nazhoro, Ro-a, dan Bashoro)

Pemahaman "Lughotan" dan "Ishthilahan".

Membaca Sastra, Membaca Diri: mengenal Ilahi (bag-9)